Mahkamah Konstitusi, sidang perdana PHPU Pilpres 2019

Setengah Hati Menangkan Gugatan Prabowo-Sandi

1 Juli 2019 10:46 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tim kuasa hukum pasangan calon presiden dan calon wakil presiden nomor urut 02 Bambang Widjojanto (kanan) dan Denny Indrayana (kiri). Foto: ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A
zoom-in-whitePerbesar
Tim kuasa hukum pasangan calon presiden dan calon wakil presiden nomor urut 02 Bambang Widjojanto (kanan) dan Denny Indrayana (kiri). Foto: ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A

Saksi dan bukti yang dihadirkan tim kuasa hukum Prabowo-Sandi tak cukup meyakinkan majelis hakim. Seluruh dalil gugatan dimentahkan majelis hakim.

Malam sebelum sidang ketiga pemeriksaan saksi dari kuasa hukum Prabowo-Sandi digelar, eks Kapolsek Pasirwangi Garut AKP Sulman Aziz menerima secarik surat undangan. Permintaan untuk menjadi saksi di sidang esok itu dikirim oleh utusan Hashim Djojohadikusomo, adik Prabowo, langsung ke rumahnya pada Selasa, 18 Juni 2019.
“Saya ini polisi di kerjaan, ya mesti dapat izin dari atasan saya,” ucap aktivis HAM, Haris Azhar, menirukan jawaban Sulman kepada sang utusan.
Sulman diundang untuk menguatkan dalil permohonan kuasa hukum Prabowo-Sandi terkait ketidaknetralan aparatur negara, salah satunya jajaran kepolisian. Sebab pada awal April, Sulman sempat mengatakan adanya pengerahan anggota kepolisian untuk memenangkan pasangan calon 01, Jokowi-Ma’ruf Amin.
Pernyataan ini membuat Bawaslu Garut segera memanggil Sulman untuk meminta keterangan lebih lanjut. Kurang dari 24 jam, pernyataan tersebut dicabut. Sulman mengatakan ucapannya itu keluar karena kesal setelah dimutasi. Terkait kasus tersebut, Haris Azhar—yang sekarang menjabat Direktur Eksekutif kantor hukum dan HAM Lokataru, menjadi kuasa hukum Sulman.
Haris Azhar. Foto: M. Fadli Rizal/kumparan
Haris sejak awal memberi saran pada kuasa hukum Prabowo-Sandi, Denny Indrayana, agar lebih baik mengundang Sulman langsung daripada dia untuk menjadi saksi. “Paling tepat itu (mengundang) Sulman Aziz. Tapi dia harus diundang secara patut dan baik karena dia kan ada institusinya (Polri),” jawab Haris menolak permintaan Denny untuk menjadi saksi beberapa hari setelah lebaran. Namun langkah-langkah formil itu tak kunjung terlaksana hingga menjelang hari H.
Mendengar kabar Sulman menolak hadir, malam itu juga Denny kembali meminta Haris untuk datang sebagai saksi. Haris sempat menjawab iya bahkan telah mengirim KTP (Kartu Tanda Penduduk) sesuai permintaan Denny.
Rabu pagi, Haris memikirkan ulang jawabannya yang terburu itu. “Sambil jogging itu gue mikir-mikir, kenapa jadi gue yang menjadi saksi. Kedua, yang mau gue bela siapa nih. Yang berkonflik siapa, dua-duanya adalah pelanggar HAM, menurut gue,” cerita Haris saat ditemui kumparan di kantor Lokataru, pada Kamis (27/6).
Akhirnya Haris pun memutuskan untuk tak hadir di ruang sidang dan mengirimkan surat pernyataan yang mengatakan ketidaksediaannya menjadi saksi. “Gue nolak karena sebetulnya materi yang mau ditanya materi kesaksiannya si Sulman Aziz. Jadi gak tepat kalau ditanyakan ke gue. Kemudian soal tata cara mengundang, nggak bener, nggak profesional. Manajemen litigasinya, menurut gue, nggak sempurna.”
Surat Pernyataan Haris Azhar. Foto: Dok. Istimewa
Denny Indrayana membantah soal surat undangan kesaksian telat datang. “Yang diminta oleh beliau adalah panggilan dari majelis. Jadi enggak usah dikatakan surat datang terlambat dari kuasa hukum, bukan,” sanggah Denny saat ditemui kumparan sehari setelah putusan dibacakan.
Lagipula, menurut Denny, komunikasi dengan Sulman dijalin hanya melalui sambungan telepon. Saat ditanya apakah ada upaya langsung menemui Sulman dari pihak BPN Prabowo-Sandi, Denny menjawab, “Enggak ada, enggak diperlukan”.
Ketua koordinator saksi sekaligus anggota kuasa hukum Prabowo-Sandi, Iwan Satriawan, juga membantah surat undangan kesaksian datang terlambat. “Pokoknya 2-3 hari sebelum diperiksa (sidang pemeriksaan saksi), kita udah komunikasi. Cuma, dia bisa enggak kalau enggak ada surat dari Mahkamah Konstitusi,” ucap Iwan.
Meski tak mampu menghadirkan salah satu pihak yang bisa menjadi saksi kunci, Iwan merasa cukup puas dengan penampilan ke-14 saksi yang dihadirkannya. “Kita puas karena mereka sudah mengatakan apa yang mereka ketahui dan itu mengafirmasi dalil kita.”
Saksi dari pihak pemohon saat sidang lanjutan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) presiden dan wakil presiden di gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Rabu (19/6). Foto: ANTARA FOTO
Dalam kurun kurang dari dua pekan tim kuasa hukum Prabowo-Sandi menyeleksi saksi-saksi yang dianggap berkualitas dan mampu menguatkan dalil permohonan mereka. Sebelumnya, hakim konstitusi meminta baik pihak Pemohon, Termohon, dan Pihak Terkait untuk menyiapkan maksimal 15 saksi fakta dan dua ahli. Hakim MK Saldi Isra menegaskan yang terpenting adalah kualitas bukan kuantitas saksi.
Dalam proses seleksi saksi, Iwan dibantu oleh tim kecil tersendiri, BPN Prabowo-Sandi, termasuk Sudirman Said. Tugas BPN dalam mencari saksi fakta antara lain memetakan simpul-simpul kelompok potensial untuk dijadikan saksi serta mereka yang mampu mengkonfirmasi fakta kejadian guna memperkuat dalil.
Sayangnya Iwan merasa dengan sistem persidangan speedy trial, atau persidangan kilat, membuat tim kuasa hukum tergesa-gesa dalam memilih saksi. “Kita dipaksa bergerak cepat dalam waktu singkat. Saya kira itu problemnya,” jelas Iwan.
Iwan mengumpulkan sekitar 30 orang saksi. Tak ada kesulitan berarti dalam mendatangkan saksi-saksi tersebut karena pada dasarnya sebagian besar dari mereka adalah para pendukung Prabowo. Seleksi terakhir dilakukan di sebuah safehouse di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, sehari sebelum sidang pemeriksaan saksi Pemohon digelar.
“Tidak mudah memilih dari 30 itu. Bagi kita 30 itu semuanya sama-sama nendang. Tapi kita juga lihat aspek teritori wilayah, kemudian juga substansinya. Apakah ini cukup nendang? Kemudian koneksinya dengan dalil-dalil. Itu yang kita perhatikan,” kata Iwan.
Akhirnya di hari persidangan, Iwan memilih menggunakan pola piramida terbalik. Saksi-saksi yang dianggap kuat secara substansi dan kuat secara mental berada di urutan awal dan akhir. Sementara urutan tengah diisi oleh saksi-saksi yang dianggap tidak cukup kuat.
“Kita masang strategi barisan pertama adalah yang kuat dan nendang. Mulai dari Agus Maksum, Idham, Hermansyah, kemudian Listiani—walaupun perempuan, karakternya kuat. Kemudian tiga perempuan di tengah, belakangnya baru Hairul Anas,” kata Iwan.
Saksi dari kuasa hukum BPN, Agus Maksum, saat memberikan keterangan dalam sidang lanjutan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) presiden dan wakil presiden di gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Rabu (19/6). Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
Agus Muhammad Maksum yang dinilai sebagai saksi paling kuat memberikan kesaksian terkait sengkarut Daftar Pemilih Tetap (DPT) invalid atau tidak benar. Pria asal Sidoarjo, Jawa Timur, ini tercatat sebagai Direktur IT BPN Prabowo-Sandi.
Dalam kesaksiaannya, ia meyakini ada 17,5 juta data pemilih tak valid dalam DPT Pemilu 2019. Hal itu menurut Agus bisa menjadi potensi kecurangan. Ia mencontohkan ada DPT bernama Udung dari Pengalengan, Bandung, Jawa Barat. Agus meyakini seorang bernama Udung tidak ada dalam dunia nyata karena kode provinsi dalam e-KTP tampak tak wajar.
Akan tetapi kesaksian Agus berubah ketika Komisioner KPU, Hasyim Asyari bertanya. Hasyim menegaskan apakah Agus bisa memastikan bahwa Udung benar-benar tidak ada. Agus justru menjawab tidak tahu.
Mendengar inkonsistensi dari jawaban Agus, Hakim I Dewa Gede Palguna mencecar kesaksian Agus. Palguna bertanya jawaban mana yang harus dipegang oleh mahkamah terkait keberadaan Udung.
“Tadi dituntun Yang Mulai Pak Wakil Hakim Aswanto, Anda mengatakan yakin orang itu tidak ada di dunia nyata. Tetapi ditanya Termohon apakah saudara mengecek ke lapangan atau tidak, Anda jawab tidak tahu. Sehingga ada dua pernyataan Anda yang bertentangan,” cecar Palguna. Agus pun menegaskan bahwa dia sebenarnya tidak melakukan pengecekan ke lapangan.
Saksi dari pihak BPN, Idham Amiruddin, memberikan keterangan pada sidang Sengketa Pilpres 2019 di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Rabu (19/6). Foto: Dok. MKRI
Saksi terkuat kedua yang dihadirkan adalah konsultan analisis database Idham Amiruddin. Idham memberikan kesaksian terkait dugaan Nomor Induk Kependudukan (NIK) rekayasa, DPT di bawah umur, kecamatan siluman, dan pemilih ganda. Kepada mejelis hakim, Idham mengaku mendapatkan data DPT Indonesia hanya dari DPP Partai Gerindra.
Idham menjelaskan bahwa terdapat 437.251 NIK rekayasa di Kabupaten Bogor, Jawa Barat dari total tiga juta pemilih di lokasi tersebut. Mendengar kesaksian Idham, Hasyim langsung mencecar Idham apakah dia mengetahui siapa pemenang pilpres di Kabupaten Bogor.
“Apakah saudara tahu di Kabupaten Bogor siapa pemenang pilpresnya?” tanya Hasyim. “Saya tidak tahu karena target saya adalah pemilihan yang jujur saja,” balas Idham. “Baik kami kasih tahu, di Kabupaten Bogor pemenangnya paslon 02, 70 persen,” tutup Hasyim menyudahi pertanyaannya.
Sadar banyak cibiran terkait keterangan para saksi di ruang sidang, Ketua Tim Hukum Prabowo-Sandi Bambang Widjojanto menerangkan mengapa pihaknya seolah jauh panggang dari pada api terkait substansi pembuktian dari para saksi. Menurutnya, Hakim terjebak dalam paradigma yang salah. “Saksi dan ahli kita membangun argumen itu bukan hanya prosedural tapi juga substansial,” ucap mantan pimpinan KPK itu.
Meski berkata cukup puas, namun nyatanya keterangan para saksi itu kemudian terbantahkan. Dalam pembacaan putusan hakim sebenarnya mempertimbangkan keterangan saksi Agus Maksum dan Ahli Jaswar Koto terkait manipulasi Daftar Pemilih Khusus (DPK). Akan tetapi hal itu gugur setelah keterangan keduanya tidak kuat tanpa alat bukti. Bukti P-144 yang berupa formulir A-5 dan formulir C-7 tidak pernah diserahkan.
“Meskipun dalam keterangannya sebagai ahli dan sebagai saksi keduanya menyinggung DPK, namun tidak ada keterangan serta kesaksian lanjut bahwa DPK tersebut bersifat manipulatif dan menimbulkan kerugian nyata bagi pemohon,” kata Hakim Saldi Isra ketika membacakan putusan.
Prabowo: End Game Foto: Basith Subastian/kumparan
Tak cuma persoalan saksi, tim kuasa hukum Prabowo-Sandi pun kesulitan dalam menyiapkan bukti. Dalam persidangan, Hakim Enny Nurbaningsih sempat mempertanyakan tentang barang bukti P-155 berupa dokumen terkait tuduhan 17,5 juta DPT yang dianggap bermasalah.
Ternyata bukti fisik P-155 tersebut tidak diserahkan ke MK. Anggota tim kuasa hukum pemohon, Teuku Nasrullah menyebut bukti fisik tersebut sebenarnya ada namun tak sempat dibawa ke MK. Total ada sekitar 21 dari 190 item alat bukti yang tak disahkan karena tidak ada bukti fisiknya.
Kesulitan teknis memfotokopi dan mengupingi (memberi tanda) masing-masing alat bukti menjadi dalih tim kuasa hukum gagal menyediakan seluruh alat bukti. “Siapapun yang akan hadir dengan bukti yang sedemikian banyak dalam waktu sedemikian singkat pasti akan kesulitan, tidak hanya Pemohon,” ujar Denny.
Oleh karena itu Denny mengusulkan agar ke depan kerja teknis manual itu dihindari. “Alangkah baiknya persoalan-persoalan pembuktian itu didekati tidak dengan pendekatan manual—fotokopi 12 rangkap dan lain sebagainya, karena banyak sekali—melainkan dengan digital berbasis teknologi.”
Jelang pembacaan putusan majelis hakim Mahkamah Konstitusi, Denny pun memprediksi kekalahan ada di pihaknya. “Kalau RPH-nya cuma Jumat malam dan Senin pagi ya berarti tidak ada perdebatan,” ujar Denny melihat pertanda buruk.
“Siap-siap saja kalau permohonan kita ditolak,” imbuhnya kepada rekan-rekan tim kuasa hukum Prabowo-Sandi lainnya. Meski tak ia sampaikan ke rekan BPN, Denny menyadari bahwa Prabowo dan Sandi juga telah memprediksi hasil serupa.
Usai pembacaan putusan, tak ada senyum menyungging di wajah kuasa hukum Prabowo-Sandi setelah persidangan berakhir. Mereka melingkar berdoa bersama dan segera beranjak menuju rumah Prabowo di Jalan Kertanegara IV, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.
Di sana ia menjelaskan hasil sidang dan menyerahkan kembali mandat kepada Prabowo dan Sandi. Meski dalam rilisnya, Prabowo mengatakan akan mencari celah hukum lain. Namun Denny menegaskan bahwa keputusan MK bersifat final dan mengikat.
Menurut Denny, tak terpancar rona kesedihan meski ada sedikit rasa kecewa. Lagipula, sedari awal target utama dari gugatan sengketa pilpres kali ini bukanlah menang atau kalah. Yang terpenting menurutnya adalah, “menyuarakan aspirasi.”
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten