Slamet Kini Bisa Tinggal di Dusun Karet, Bantul, Meski Bukan Muslim

3 April 2019 19:26 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Slamet Jumiarto bersama sang istri. Foto: Arfiansyah Panji Purnandaru/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Slamet Jumiarto bersama sang istri. Foto: Arfiansyah Panji Purnandaru/kumparan
ADVERTISEMENT
Senyum merekah tampak di wajah Slamet Jumiarto (42). Pria berambut gondrong tersebut mengaku bahagia setelah Surat Keputusan Pokgiat Tentang Persyaratan Pendatang Baru di Pedukuhan Karet RT 8, Desa Pleret, Kecamatan Pleret, Kabupaten Bantul dicabut.
ADVERTISEMENT
Surat keputusan yang dibuat 2015 lalu dinilai diskriminatif lantaran melarang pendatang baru yang beragama non-muslim tinggal di dusun itu. Hal itu membuat Slamet yang beragama Katolik, sempat tidak bisa mengontrak rumah di Karet.
Namun akhirnya surat itu dicabut usai Slamet mengadu ke Sekretaris Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X. Alhasil, surat dicabut dan Slamet bisa tinggal di dusun tersebut.
"Yang pasti segala sesuatunya sudah berakhir masalah diskriminasi di Dusun Karet ini. Peraturan ini pun sudah dicabut dan dihapuskan saya pun merasa bahagia,” ujar Slamet saat ditemui di Pendopo Pedukuhan Karet, Rabu (3/4).
Slamet pertama kali datang ke Dusun Karet pada hari Jumat (29/3). Menurut dia, respons warga setempat secara umum baik. Hanya saja, peraturan yang ada di situ sempat mengganjal.
ADVERTISEMENT
Ia menduga peraturan tersebut dibuat dengan ketidaktahuan warga dalam menafsirkan Pancasila dan Undang-undang 1945.
"Bisa jadi karena ketidaktahuannya (warga) penafsiran Pancasila dan Undang-undang 1945, terabaikan. Piye toh (bagaimana sih) membuat peraturan, (bagaimana) prosedurnya. Saya memberikan usulan, pemerintah provinsi dan Bantul agar setiap daerah dusun atau wilayah dicek satu per satu, siapa tahu di dusun tersebut ada aturan seperti itu," katanya.
Dia pun berharap ke depan tidak terjadi hal serupa di wilayah DIY. Sebagai seorang seniman dirinya tidak menghendaki adanya intoleransi di DIY maupun Indonesia.
"Jadi jangan sampai hal ini terjadi (lagi). Apa yang saya alami membawa hikmah bagi saya pribadi, bagi dusun Karet, DIY, dan Indonesia," katanya.
ADVERTISEMENT
Dirinya juga berpesan agar apa yang menimpa dirinya ini jangan sampai dipolitisasi. Sebab menurutnya, polemik ini sudah berakhir dengan damai. Tujuannya agar peraturan ini dicabut pun sudah tercapai.
"Apalagi kita menghadapi masa-masa pilpres ya jadi jangan dipolitisasi. Untuk siapa pun juga kita antisipasi jangan menggoreng masalah ini. Ini masalah pribadi saya dan sudah berakhir dengan damai," katanya.
Usai pencabutan surat tersebut, hubungan Slamet dan warga Dusun Karet juga tetap harmonis. "Semalam kita sudah makan-makan bareng. Saling menyalami dan berpelukan," kata dia.
Slamet pun memastikan dirinya akan tetap tinggal di Karet bersama keluarganya. Tak hanya itu, sebagai seniman dia juga siap untuk berkontribusi memajukan Dusun Karet melalui kemampuan yang ia miliki.
ADVERTISEMENT
"Ya saya tinggal di sini saja (di Karet). Saya pribadi suka sosial, meski tak punya uang kalau saya pikiran tenaga rela (berkontribusi)," kata dia.
Terkait polemik Slamet ini, kumparan sempat berbincang dengan salah seorang warga Dusun Karet bernama Sumiati. Secara pribadi, ia mengaku tidak pernah keberatan jika tinggal berdampingan dengan warga non-muslim. Menurut dia, di dusun ini juga ada 1 keluarga non muslim dan telah lama hidup berdampingan bersama.
"Nggih mboten nopo-nopo, mboten masalah sik penting nyrawung (ya tidak apa-apa, tidak masalah yang penting saling tegur sapa)," katanya.
Hal senada juga disampaikan Parji. Perempuan paruh baya tersebut mengatakan bahwa selama ini tetap hidup rukun meski ada warga yang non-muslim. Mereka saling berbaur satu sama lain, saling menjenguk, dan saling datang saat ada yang punya hajat.
ADVERTISEMENT
"Kondangan ya kondangan, layat nggih layat (kalau ada yang menikah ya datang, kalau ada yang meninggal ya datang). Adate tanggane (adat bertetangga)," ujarnya.
Sementara itu, Kepala Kanwil Kementerian Agama (Kemenag) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Edhi Gunawan yang hadir ke Karet bersyukur lantaran masalah ini sudah selesai setelah peraturan dicabut oleh Kepala Dusun.
"Alhamdulillah pada kesempatan ini persoalan yang kemarin muncul ternyata sudah teratasi dan sudah selesai. Yang berkaitan dengan kerukunan umat beragama ini bisa diselesaikan dengan baik," katanya
Dirinya juga berpesan kepada perangkat desa agar memperhatikan persoalan SARA dalam menyusun peraturan. Pihaknya juga ingin mensosialisasikan hal itu melalui perangkat seperti KUA dan dibantu Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB).
ADVERTISEMENT
"Ke depan persoalan menyangkut dengan aturan-aturan ini tolong untuk banyak diperhatikan nuansa SARA. Ini sangat sensitif sekali. Jadi ketika bersinggungan dengan SARA kemudian akan cepat sekali berkembang. Kalau tidak diatasi akan membesar dan sulit diatasi," ujarnya.