Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Diberitakan Reuters, kebijakan itu disampaikan Menteri Keamanan Publik Sri Lanka, Sarath Weerasekera, usai meneken proposal untuk meminta persetujuan kabinet terkait larangan burka dengan alasan "keamanan nasional."
“Pada masa-masa awal kami, wanita dan gadis Muslim tidak pernah mengenakan burka,” jelasnya.
“Itu adalah tanda ekstremisme agama yang muncul baru-baru ini. Kami pasti akan melarangnya," lanjutnya.
Selain itu, Weerasekera mengatakan, pemerintah berencana melarang dan menutup lebih dari seribu sekolah Islam madrasah. Menurutnya, sekolah-sekolah ini telah bertentangan dengan kebijakan pendidikan nasional.
“Tidak ada yang bisa membuka sekolah dan mengajarkan apa pun yang Anda inginkan kepada anak-anak,” tegasnya.
Pemerintah Sri Lanka sebenarnya telah melarang pemakaian burka pada 2019 usai insiden bom gereja dan hotel oleh kelompok teroris yang menewaskan lebih dari 250 orang.
ADVERTISEMENT
Namun, larangan itu dicabut awal tahun ini, setelah mendapat kritik dari Amerika Serikat dan kelompok hak asasi internasional.
Sri Lanka di bawah kepemimpinan Gotabaya Rajapaksa tengah berupaya memberantas ekstremisme. Rajapaksa yang sebelumnya adalah Menteri Pertahanan terpilih sebagai Presiden pada 2019.
Ia dikenal sebagai sosok yang bertindak keras terhadap para pemberontak di utara Sri Lanka. Rajapaksa pun dituduh melanggar HAM, namun dia membantahnya.
Kini, rencana pemerintah melarang burkak dan menutup sekolah Islam mengikuti kebijakan tahun lalu yang berdampak bagi minoritas Muslim di Sri Lanka.
Pada 2020, pemerintah menganjurkan jenazah korban COVID-19 untuk dikremasi. Hal ini bertentangan dengan keyakinan para Muslim, yang memilih untuk menguburkan jenazah.