Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.87.1
ADVERTISEMENT
Pendidikan di Indonesia terus berkembang. Lain sekarang, lain dulu. Mari kita tengok 87 tahun lalu saat Indonesia belum merdeka dan masih berada dalam dekapan Belanda.
ADVERTISEMENT
Saat itu, pada era kolonial, pribumi sulit memperoleh akses pendidikan. Mereka yang dapat menikmati pendidikan hanya segelintir, tak sampai 3 persen.
Wilayah Hindia Belanda memasuki tahun 1930 memiliki penduduk sekitar 60 juta jiwa. Namun dari jumlah itu, hanya sedikit yang mampu mengecap pendidikan. Padahal pendidikan amat penting bagi kemajuan bangsa.
Laporan dari komisi Pemerintah Kolonial, Hollandsch-Inlandsch onderwijscommissie, yang diterbitkan tahun 1931 memuat statistik soal tarif yang ditetapkan oleh Pemerintah Hindia Belanda terhadap rakyat pribumi yang hendak bersekolah di sekolah pemerintah.
Jawa 2,9 persen (39.000)
Luar Jawa 2,9 persen (39.000)
Mesir 3,4 persen (398.000)
India 4,5 persen (94.000)
Syam 5,6 persen (102.000)
Filipina 9,7 persen (182.000)
Biaya tersebut (39.000 gulden) teramat tinggi bagi mereka yang berasal dari kalangan masyarakat kelas bawah. Bahkan biaya terendah untuk sekolah pada masa itu, 900 gulden, masih tak tersentuh oleh rata-rata gaji kaum bumiputra (penduduk asli).
ADVERTISEMENT
Padahal menurut catatan Brugmann, arsiparis pemerintah kolonial, rata-rata pendapatan kaum bumiputera pada 1920-1930 hanya mencapai 5-10 gulden per hari. Jika diakumulasikan, pendapatan mereka selama sebulan hanya mencapai kurang lebih 300 gulden.
Jumlah itu belum dikurangi oleh biaya hidup sehari-hari. Dengan begitu, bagi para orangtua bumiputra, menyekolahkan anak-anak ke sekolah pemerintah hampir mustahil dilakukan.
Tarif sekolah yang demikian tinggi hanya mampu dijangkau oleh masyarakat Eropa. Terdapat dikotomi jelas antara masyarakat Barat dan kaum bumiputera dalam mengakses pendidikan di tanah Hindia Belanda yang sejatinya dimiliki para bumiputera.
Dan jelas terdapat diskriminasi dari pemerintah Hindia Belanda terhadap kaum bumiputera.
Masyarakat Hindia Belanda pada masa itu jelas tertinggal dengan bangsa lain. Data Hollandsch-Inlandsch onderwijscommissie juga menunjukkan, mereka yang dapat mengenyam pendidikan di Hindia Belanda hanya mencapai 3 orang dibanding 100 penduduk.
ADVERTISEMENT
Sementara di negara tetangga, Filipina yang pada masa itu belum mapan dan masih bergantung pada Portugis, perbandingannya mencapai 10 orang dibanding 100 penduduk, alias dua kali lipat dari jumlah pengakses pendidikan di Hindia Belanda.
Mayoritas bumiputera yang tidak bisa bersekolah di Hindia Belanda berasal dari keluarga ekonomi bawah, dengan orang tua berpenghasilan rendah.
Kondisi ekonomi memang amat dominan berpengaruh terhadap tingkat pendidikan masyarakat pada masa itu.
Masih berdasarkan data Hollandsch-Inlandsch onderwijscommissie, dari hampir 25 juta anak-anak yang berumur dibawah 13 tahun, mereka yang dapat menikmati pendidikan tak sampai 5 juta jiwa.
Berat bukan, mencari jalan menjadi pintar pada masa itu?
ADVERTISEMENT