Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Survei Menunjukkan Minim Polarisasi Sosiologis Antarwarga di Jakarta
8 Oktober 2022 15:19 WIB
·
waktu baca 4 menit
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Sulfikar Amir selaku peneliti dalam survei tersebut menggunakan premis bahwa polarisasi terjadi ketika suatu masyarakat terbagi menjadi dua posisi yang berlawanan. Polarisasi ditunjukkan dengan adanya sosial jarak antara kelompok dan masyarakat.
Selain itu, analisis kohesi sosial dalam survei tersebut dapat mendeteksi gejala dan polarisasi yang ada di masyarakat. Jika semakin kuat kohesi sosial, semakin lemah polarisasi muncul atau sebaliknya.
Kohesi sosial sendiri berdasarkan KBBI merupakan keterikatan antaranggota suatu kelompok. Sementara menurut Emile Durkheim (1897), Kohesi sosial memiliki dua sisi.
Pertama, tidak adanya konflik sosial laten di tengah masyarakat, baik itu konflik karena ketimpangan kesejahteraan, konflik ras atau etnis, agama, maupun yang lainnya.
Kedua, kohesi sosial berarti adanya ikatan sosial yang kuat yang ditandai oleh kekuatan masyarakat sipil, demokrasi yang baik dan responsif, serta penegakan hukum yang adil dan tidak memihak.
ADVERTISEMENT
Lantas bagaimana hasil dari survei mengenai hal tersebut di Jakarta?
Dalam hasil yang dilihat kumparan pada Sabtu (8/10), survei tersebut dilakukan dengan metode Stratified Random Sampling di 5 kota madya di Jakarta dengan total populasi 8,4 juta. Survei sendiri melibatkan 2.052 responden dengan margin of error sebesar 2,2 persen dan tingkat kepercayaan mencapai 95 persen.
Kohesi sosial ini diukur dengan 5 variabel yakni kepercayaan, pengenalan, timbal balik, partisipasi dan insersi.
Berikut pertanyaan untuk mengukur masing-masing variabel:
Kepercayaan
Pengenalan
Timbal Balik
Partisipasi
ADVERTISEMENT
Insersi
Hasilnya, secara keseluruhan, survei ini ini menunjukkan bahwa 67,6 persen masyarakat di Jakarta memiliki tingkat kohesi sosial yang relatif kuat, berdasarkan variabel pertanyaan di atas.
Berikut datanya:
Data di atas menunjukkan hasil gabungan survei lima indikator yang digunakan. Hasilnya, bahwa 0,4 persen (sangat tidak percaya), 5,3 persen (sering tidak percaya), 26,7 persen (kadang percaya, kadang tidak), 49,5 persen (sering) dan 18,1 persen (sangat sering). 67,6 persen adalah gabungan dari jawaban sering dan sangat sering.
"Masyarakat Jakarta memiliki kohesi sosial yang tinggi, ini secara agregat," kata peneliti Sulfikar Amir saat mempresentasikan hasil survei seperti dilihat dari Youtube Nagara TV yang tayang Selasa (20/9).
ADVERTISEMENT
"Kita bisa mengatakan kohesi sosial di kalangan warga DKI itu relatif kuat dari data agregat yang kita pakai. (Sementara) peran identitas keagamaan itu penting, tetapi korelasi terhadap kohesi sosial tidak berperan secara statistik," sambungnya.
Survei ini juga melihat sejumlah indikator lain. Seperti salah satunya soal keagaaman berdampak atau tidak terhadap kohesi sosial. Hasilnya, tingkat religius seseorang ternyata tidak berpengaruh signifikan terhadap kohesi sosial. Artinya, seberapa religius seseorang atau sebaliknya, ternyata tidak berdampak pada keharmonisan masyarakat.
Meski disebut tingkat kohesi masyarakat di Jakarta relatif kuat, terdapat beberapa daerah yang memiliki potensi terbelah.
"Ada beberapa area di mana kita bisa melihat indikasi keterbelahan dalam hal keagamaan dan etnisitas. Tetapi ini tidak terlalu kuat, tapi potensi itu ada. Misalnya tentang kenyamanan tinggal bersama komunitas dan sebagainya," katanya.
ADVERTISEMENT
Temuan menarik dari survei ini juga menunjukkan bahwa ternyata pendapatan warga Jakarta berkorelasi negatif dengan tingkat kohesi sosialnya. Artinya, semakin tinggi pendapatan seseorang, semakin rendah tingkat kohesi sosialnya.
Sementara itu, bila tingkat religius tidak ada korelasi dengan kohesi sosial, berbeda dengan identitas etnis. Survei ini menunjukkan semakin kuat identitas etnis seseorang, maka tingkat kohesi sosialnya semakin tinggi juga.
Survei ini kemudian berkesimpulan bahwa polarisasi di Jakarta minim. Artinya, masyarakat di Jakarta secara sosiologis hidup harmonis dengan minim keterbelahan.
"Kita bisa bilang polarisasi di Jakarta itu tidak muncul sebenarnya. It's hardly present di dalam interaksi sosial sehari-hari. Tetapi, tetap ada potensi yang bisa memunculkan polarisasi ini, karena adanya beberapa aspek dalam kehidupan sosial yang mengindikasikan keterbelahan. Tapi secara keseluruhan polarisasi nggak ada sebenarnya, karena kohesi sosial di Jakarta relatif tinggi," tutur Sulfikar.