Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.88.1
ADVERTISEMENT
Wis Wayahe. Sudah saatnya.
Deret karangan bunga ucapan selamat berjejer di sepanjang jalan menuju rumah Khofifah Indar Parawansa di Jemursari VIII, Surabaya. Sore hari, Kamis (5/7), pintu rumah mantan Menteri Sosial era Joko Widodo itu terbuka lebar.
ADVERTISEMENT
Khofifah menyambut berbagai kelompok pengunjung, mulai dari ibu-ibu pengajian hingga para petinggi partai. Dengan senyum yang senantiasa rekah, ia berfoto dan menyalami tamu-tamu yang bertandang ke rumah.
Pada Sabtu (7/7), Komisi Pemilihan Umum Jawa Timur menetapkan pasangan nomor urut satu, Khofifah dan Emil Dardak , sebagai pemenang Pemilu Gubernur Jawa Timur 2018 . Keinginan Khofifah menjadi kepala daerah di tanah kelahirannya tercapai setelah ia dua kali merasakan pahitnya kekalahan pada 2008 dan 2013.
Di pertarungannya yang ketiga ini, Khofifah berhadapan dengan petahana, mantan Wakil Gubernur Jawa Timur dua periode, Saifullah Yusuf alias Gus Ipul. Berdasarkan data KPU, Khofifah menang dengan mengantongi 10.415.218 suara, sementara Gus Ipul memperoleh 9.076.014 suara. Total suara sah yang yang masuk dari 38 kabupaten/kota se-Jawa Timur sebanyak 20.323.259.
ADVERTISEMENT
“Selisihnya sekitar satu juta suara, atau hampir 7 persen,” kata Ketua KPU Jawa Timur Eko Sasmito usai menggelar rapat pleno terbuka rekapitulasi suara Pilkada Jatim di Surabaya.
Kini Khofifah terpilih dan menjadi gubernur perempuan pertama di Jawa Timur . Meminjam salah satu jargon kampanyenya, Khofifah memang wis wayahe menang.
I.
Tak mau kalah untuk yang ketiga kali, mantan santri KH Hasyim Muzadi itu berjuang ekstra keras merebut hati sekitar 30 juta pemilih di Jawa Timur. Selama 126 hari masa kampanye, Khofifah tak pernah absen blusukan menemui masyarakat, mulai dari Pasar Tradisional Songgolangit di Ponorogo, sampai Pasar Ikan Pindang di Bondowoso.
Anggota tim sukses Khofifah-Emil, Renville Antonio, bercerita bahwa dalam satu hari, Khofifah bisa tiga kali mengunjungi pasar-pasar tradisional. “Alhamdulillah, selama masa kampanye 126 hari beliau nggak pernah sakit,” ujar Renville.
ADVERTISEMENT
Di tengah pasar, perempuan kelahiran Surabaya, 19 Mei 1965, itu tak segan berinteraksi langsung dengan para pedagang. Seperti dalam kunjungannya ke Pasar Tradisional Gedangan, Sidoarjo, ketika Khofifah memotong sendiri tempe yang ia beli.
Dengan turun ke pasar, menurut sosiolog Universitas Airlangga Novri Susan, Khofifah ingin secara terus-menerus menjalin dialog dua arah dengan para konstituennya. “Dia ingin menciptakan medium-medium yang berbasis pada resiprocal interaction, interaksi yang saling timbal balik.”
Ketua Tim Sukses pasangan Khofifah-Emil, Muhammad Roziqi, menyatakan bahwa pasangan yang diusung koalisi gemuk enam partai politik itu memang lebih mengedepankan cara kampanye yang merakyat. Mereka menganggap kampanye model “rapat umum raksasa” yang mengundang ribuan massa sudah ketinggalan zaman.
ADVERTISEMENT
“Rapat umum cuma dilakukan dua kali. Selebihnya, turun langsung ke masyarakat atau pertemuan tertutup di gedung, lapangan-lapangan, yang tamunya nggak boleh lebih dari 3.000 orang,” tutur Roziqi.
Selama masa kampanye, Khofifah dinilai Suko Widodo, pakar komunikasi politik Universitas Airlangga yang juga konsultannya, “Tidak sekedar mendengar, tapi juga mendengarkan. Jadi duduk dan menyentuh.”
Strategi Khofifah ini dibaca pengamat politik Universitas Airlangga, Airlangga Pribadi Kusman, sebagai model kampanye bercorak populisme elektoral.
Dengan blusukan dan turun langsung ke masyarakat, Khofifah ingin menegaskan bahwa ia tidak berjarak dengan rakyat jelata. “Itu yang membuat publik merasa nyaman dengan Bu Khofifah,” jelas Airlangga.
II.
Politik pencitraan dengan blusukan memang penting. Namun, mengandalkan itu saja tentu tak cukup. Terlebih dengan adanya perubahan signifikan pada karakter pemilih di Jawa Timur.
ADVERTISEMENT
Salah satu faktor yang mendasari perubahan itu adalah perkembangan teknologi informasi. Menurut Suko Widodo, di era media sosial seperti sekarang, publik Jawa Timur telah menjadi pemilih rasional. Sebab medsos mengubah pola distribusi informasi menjadi sangat cair.
“Kalau dulu komunikasi itu mungkin two step. Jadi dari kandidat turun ke kiai, dan kiai kemudian menyebarkan ke santrinya atau masyarakat. Tapi sekarang jadi one way, masyarakat bisa berinteraksi lewat media sosial. Itu yang meruntuhkan hubungan-hubungan yang tradisional,” ujar Suko.
Akibatnya, hubungan patronase politik tradisional antara kiai dan santri di tengah masyarakat Jawa Timur perlahan luntur. Fenomena ini, terutama sekali, berlangsung di antara generasi milenial dan melek teknologi di Jawa Timur.
Perubahan karakter pemilih yang meruntuhkan pola-pola patron-klien ini, menurut M. Roziqi, terbukti nyata. Di era keterbukaan informasi seperti sekarang, Roziqi menganggap orientasi pilihan politik masyarakat Jawa Timur lebih ditentukan oleh penawaran program-program yang dapat dipahami masyarakat.
ADVERTISEMENT
Jadi, program Nawa Bhakti Satya yang digagas pasangan Khofifah-Emil, vis a vis program Dik Dilan yang diusung Gus Ipul-Puti Guntur Soekarno. Kedua program kerja tersebut mesti bertarung untuk merebut hati publik Jatim.
Rasionalitas pemilih juga menjadikan tiga kali ajang debat calon gubernur-wakil gubernur sebagai momen yang amat penting. Terutama untuk merebut suara pemilih yang masih belum menentukan pilihan (swing voters).
Menurut Airlangga, Khofifah mampu menunjukkan kemampuannya dalam menyerap aspirasi yang ia dapatkan selama blusukan. “Yang dia (Khofifah) perjuangkan itu ditampilkan dalam debat. Sehingga kemudian ada trust dari masyarakat.”
Itulah yang kemudian membuat Khofifah dan Emil mampu menyalip pasangan Gus Ipul-Puti jelang pencoblosan.
ADVERTISEMENT
Hal lain yang mampu mendorong semangat dan memenangkan Khofifah, yang tak dimiliki oleh Gus Ipul, adalah kehadiran Muslimat Nadhlatul Ulama . Organisasi perempuan NU yang dipimpin Khofifah ini, menurut Suko Widodo, menjadi motor politik utama yang ‘berpengaruh dan mempengaruhi’ kemenangan Khofifah tahun ini.
“Muslimat NU secara institusi sosial, masyarakat sipil, itu kuat pengaruhnya,” ucap Suko.
Jaringan Muslimat NU yang kuat dan loyal ini membantu membumikan program-program dan janji kampanye Khofifah ke masyarakat akar rumput. Bagi mereka, memilih pemimpin yang baik adalah kewajiban.
“Tidak ada tendensi lain. Muslimat NU tidak pernah (meminta imbal jasa), ‘Saya dapat apa?’” ujar Ketua Muslimat NU Jawa Timur, Masruroh Wahid, kepada kumparan di kantornya, Gayungan, Surabaya.
ADVERTISEMENT
Tanpa dikomando, ribuan kader Muslimat NU menyokong Khofifah. Mereka memberi dukungan moral, spiritual, hingga material, dengan membantu kampanye dan menjadi saksi di TPS-TPS.
Wakil Sekretaris Jenderal Partai Golkar, Sarmuji, menilai Muslimat NU sebagai organisasi yang solid, kuat, dan efektif.
Kehebatan sepak terjang Muslimat NU ini juga diakui politisi PDI Perjuangan, Eva Kusuma Sundari. Menurutnya, “Yang menangin Mbak Khofifah kemarin itu Muslimat.”
Dukungan Muslimat NU untuk Khofifah jelas tak aneh. Sebab, Khofifah telah 18 tahun menjabat Ketua Umum Pusat Muslimat NU. Menurut Renville, sosok Khofifah telah melegenda di organisasi tersebut.
Masruroh mengamini sebagian besar anggota Muslimat mendukung Khofifah. Bahkan, saking kuatnya dukungan terhadap Khofifah, para Muslimat NU menganggap, “Memilih Bu Khofifah itu artinya sama dengan memilih kita sendiri.”
ADVERTISEMENT
Strategi menggerakkan relawan perempuan yang berasal dari Organisasi Muslimat NU patut diacungi jempol. Sebab, berdasarkan Data Penduduk Potensial Pemilih Pemilu (DP4) KPU Jawa Timur, dari 30.747.387 total pemilih, 51 persen di antaranya adalah pemilih perempuan.
III.
Jika di dua pilkada sebelumnya Khofifah hanya didukung PPP pada 2008 dan PKB pada 2013 dengan beberapa partai kecil, maka pilkada kali ini, peran enam mesin politik yang mengusung Khofifah tak bisa dikesampingkan.
Menukil data Litbang Kompas tentang “Pilihan Responden Berdasarkan Partai Politik” di Pilgub Jawa Timur, persentase dukungan pemilih yang berafiliasi dengan enam partai koalisi pendukung Khofifah kepada calon nomor urut satu tersebut tergolong tinggi.
ADVERTISEMENT
Itu artinya, mayoritas kader partai politik koalisi pengusung Khofifah-Emil satu suara mendukung garis partai. Rincian persentase dukungan kader partai politik koalisi calon nomor urut satu adalah sebagai berikut: Partai Demokrat (75,2%), Golkar (56,8%), NasDem (70,6%), PAN (91,7%), PPP (73,2%), dan Hanura (66,7%).
Sebaliknya, kader empat partai politik pengusung Gus Ipul-Puti justru berbeda, kalau bukan tidak patuh terhadap garis kebijakan partai. Hanya PDIP yang mayoritas kadernya (56,4%) mendukung Gus Ipul-Puti.
Sekitar 54,5 persen suara kader PKB justru lari ke pasangan nomor urut satu. Begitu pula dengan 50 persen suara kader PKS. Bahkan, 62,3 persen suara kader Gerindra juga beralih ke Khofifah.
Angka-angka tersebut menunjukkan satu hal: kader koalisi partai politik pendukung Khofifah kompak. Sebaliknya, suara kader koalisi partai pengusung Gus Ipul justru tidak solid.
ADVERTISEMENT
IV.
Blusukan, Nawa Bhakti Satya, soliditas koalisi partai politik, dan Muslimat NU. Di samping empat strategi kampanye itu, Khofifah beruntung menemukan pasangan yang tepat, yakni Bupati Trenggalek Emil Dardak .
Menurut Airlangga Pribadi, dua kali kekalahan Khofifah sebelumnya disebabkan karena ia gagal menggabungkan dua kekuatan politik besar di Jawa Timur--antara kekuatan marhaen yang berpusat di Mataraman (Ngawi, Nganjuk, Madiun, Blitar, Pacitan, Trenggalek, Ponorogo) dengan kekuatan kaum santri yang berpusat di wilayah Tapal Kuda (Lumajang, Pasuruan, Probolinggo, Jember, dan Banyuwangi) dan Madura.
Emil Dardak merupakan sosok bupati muda yang sangat populer di wilayah Mataraman. Suami Arumi Bachsin ini, dinilai Airlangga, memilki beberapa keunggulan dibanding calon wakil gubernur Gus Ipul, Puti Guntur Soekarno.
ADVERTISEMENT
Dibanding cucu Bung Karno tersebut, Emil punya kualifikasi lebih mumpuni, dilihat dari rekam jejaknya sebagai Bupati Trenggalek maupun kariernya di berbagai perusahaan. Selain itu, Emil punya reputasi sebagai figur muda yang pintar dan bependidikan tinggi. Apalagi, bagi pemilih perempuan, Emil memiliki tampang rupawan.
Sementara Puti, menurut Airlangga, meski menyandang nama besar Bung Karno, tidak populer di Jawa Timur, sebab ia tidak berasal dari basis sosial di Jawa Timur, melainkan Jawa Barat.
Yang tak boleh dilupakan, pada pemilu ini, Khofifah juga untung besar karena didukung oleh mantan gubernur Jawa timur, Soekarwo. Pakde Karwo--sapaan akrab Soekarwo--punya reputasi sebagai seorang marhaen yang begitu populer dan mendapat dukungan mengakar di wilayah Mataraman.
ADVERTISEMENT
Khofifah wis wayahe menang. Keteguhan hati perempuan satu ini memang patut diacungi jempol. Dua kekalahan di pemilihan gubernur Jawa Timur sama sekali tak membikinnya patah semangat. Di pertarungan ketiga, Khofifah akhirnya menunjukkan tajinya.
------------------------
Simak rangkaian laporan mendalam Perempuan Penguasa Timur Jawa di Liputan Khusus kumparan.