Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Tangan-tangan 'Malaikat’ yang Menjaga Warga Aceh dari Tsunami
10 Januari 2019 10:32 WIB
Diperbarui 15 Maret 2019 3:50 WIB
ADVERTISEMENT
Di sebuah gedung tinggi besar di tepi Pantai Ulee Lheue, Romi bekisah kala matahari tepat berada di atas kepala.
ADVERTISEMENT
Tahun 2004 silam, pria 45 tahun itu mendekap saudaranya yang menjadi korban tsunami . Napas saudaranya itu tak lagi ada. Romi kehilangan orang yang begitu dia sayangi.
Memori kelam itu terus diingat Romi yang tak menyaksikan langsung gelombang tsunami besar menghantam Aceh. Ketika air menerjang, Romi sedang bekerja di Jakarta. Setelah mendengar kabar tsunami, dia pun langsung bergegas ke Aceh dan mendapati jenazah keluarganya yang menjadi korban.
Empat belas tahun lebih kisah pilu itu membekas dalam hati Romi. Meski tak bisa hilang, tapi Romi tak mau larut dalam duka. Dia justru memutuskan untuk menetap di Banda Aceh dan mengabdikan diri menjaga masyarakat dari tsunami.
Sehari-hari Romi seorang diri mengelola bangunan evakuasi atau shelter tsunami berlantai 4 yang disebut masyarakat sekitar sebagai escape building. Di kampung bernama Aleu Deah Teungoh, escape building itu berdiri dan mampu menampung 2.000 jiwa.
ADVERTISEMENT
Penampakan luar gedung tampak bersih dan terawat. Tembok gedung pun seperti baru di cat. Tak ada corat coret tangan jahil menodai tembok.
Terlihat beberapa remaja mengambil foto di lantai teratas gedung yang menjadi lokasi helipad. Sementara, di lantai 1 beberapa anak kecil bermain bola dengan riang satu sama lain.
Bila dilihat dari sejarahnya, escape building itu dibangun berkat bantuan pemerintah Jepang setahun pascatsunami 2004.
“Setelah tsunami itu 2005 itu sudah mulai dibangun oleh pihak JICA (Badan Kerja Sama Internasional Jepang). Mereka dari Jepang bekerja sama dengan Pemda kita mungkin waktu itu BRR (Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi) kali ya. Mereka berdiri sendiri, mereka langsung ini sendiri dari masyarakat Jepang sana,” cerita Romi kepada kumparan di escape building Aleu Deah Teungoh, Minggu (6/1).
Desain bangunan saat itu semua berdasar pada Jepang. Tanah-tanah milik pemangku kekuasaan kemudian digunakan sebagai lokasi pembangunan gedung evakuasi.
ADVERTISEMENT
Secara keseluruhan, di Banda Aceh--salah satu lokasi terdampak tsunami paling parah-- dibangun 5 gedung evakuasi, yaitu di Gampong Lambung, Gampong Deah Gelumpang, Gampong Aleu Deah Teungoh, gedung TDMR, serta museum tsunami.
Menurut kepala BPBD Kota Banda Aceh, Fadhil, jumlah gedung evakuasi yang ada saat ini masih terasa kurang.
“Kalau digunakan rasio sesungguhnya kami itu membutuhkan escape building itu ada 9. Tapi, yang terbangun sangat komprehensif, sangat luar biasa itu ada 3 di bawah koordinasi dan pengawasan kami,” sebut Fadhil kepada kumparan saat ditemui di kantornya, Senin (7/12).
Meski dari rasio bisa dikatakan kurang, tapi menurut Fadhil yang terpenting adalah bagaimana mendayagunakan bangunan yang sudah ada. Selain digunakan untuk evakuasi saat terjadi bencana, gedung itu juga dimanfaatkan untuk kegiatan masyarakat atau simulasi bencana.
ADVERTISEMENT
Beberapa tahun terakhir, BPBD Banda Aceh gencar melakukan simulasi mitigasi bencana di gedung evakuasi. Edukasi kebencanaan diberikan kepada masyarakat dari berbagai jenjang usia. Memang, tidak semuanya ikut serta. Tetapi, kesadaran itu telah tertanam di masyarakat.
Gedung evakuasi yang dibangun sekitar 100 meter dari garis pantai itu juga dimanfaatkan untuk kegiatan lain. Kegiatan tersebut diharapkan semakin mendekatkan keberadaan gedung secara emosional dengan masyarakat sehingga selaras dengan tujuannya, yaitu sebagai community center.
“Bisa difungsikan kekinian, seperti jadi sarana edukasi, tempat pelatihan, tempat bermain, tempat olahraga, tempat acara-acara kemasyarakatan. Tetapi rentetan kegiatan yang kekinian itu tidak mengubah fungsi-fungsi utama sebagai gedung escape building, yaitu gedung evakuasi,” Fadhil menerangkan.
Sebagai pengelola, Romi menyebut antusias masyarakat sekitar terhadap kegiatan di gedung evakuasi cukup tinggi. Apalagi pada momen-momen tertentu, semisal Bulan Ramadan, biasanya akan dibuka pasar murah.
ADVERTISEMENT
“Kita bekerja sama pemberdayaan ekonomi karena masyarakat pada saat-saat tertentu kayak dekat bulan puasa dia mau bikin kue kita bikin pasar murah,” kata Romi.
Senada dengan yang diucapkan Romi, Atun (32) warga sekitar, mengatakan sudah beberapa kali mengikuti edukasi kebencanaan di escape building.
Menurut Atun, saat gempa mengguncang Banda Aceh sekitar 4 tahun lalu, warga benar-benar memanfaatkan bangunan tersebut.
“Di situ juga biasanya digunakan untuk wirid (doa dan zikir) bersama,” ungkap Atun yang tinggal di sebelah escape building di Aleu Deah Teungoh.
Selain Atun, Zubir (70), juga menyebut hal yang sama. Gedung tersebut kerap dijadikan acara berkumpulnya komunitas. Zubir menyebut, gedung yang merupakan bantuan ini sudah selayaknya dirawat dengan baik.
Tak peduli minimnya dana
ADVERTISEMENT
Romi mengungkap tak ada kendala berarti kala mengelola escape building seorang diri. Baginya, sesulit apapun situasi yang dihadapi, hal itu akan bernilai ibadah.
“Niat kita kan untuk ibadah ini, Jadi dia berjalan sendiri dia. Di saat kita punya niat untuk ibadah segala sesuatu kan kita kembali ke agama ini. Dia berjalan sendiri dia tanpa kita sadari kok dia berjalan sendiri,” Romi menerangkan.
Begitu juga dengan Fadhil yang memiliki jabatan struktural di atas Romi, dia terus mencari alternatif supaya gedung evakuasi terus bermanfaat bagi warga. Tak peduli bagaimana hambatan yang sering dijumpai.
Salah satu upaya yang dilakukan Fadhil adalah dengan mendorong terciptanya peraturan Wali Kota Banda Aceh Nomor 24 Tahun 2018 tentang mekanisme pemanfaatan Escape Building di Kota Banda Aceh.
ADVERTISEMENT
“Itu jelas kalau enggak kan bingung, siapa yang bertanggung jawab, apa tugasnya dan bagaimana pembiayaannya. Karena terus terang gedung ini tidak ada pembiayaan resmi,” ujar Fadhil.
Menurut Fadhil, tidak adanya pembiayaan resmi itu karena tidak jelasnya status kepemilikan gedung. Gedung yang sejatinya merupakan bantuan Jepang ini, setelah dibangun memiliki status yang pasti dan beberapa kali berpindah kepemilikan.
Dengan kondisi tersebut, Fadhil berikhtiar dengan terus mendekati tokoh-tokoh masyarakat sekitar. Dia berharap segenap warga mampu merawat gedung bantuan itu bersama-sama dengan pemerintah.
“Jangan sampai ternoda jadi tempat bersarangnya hal yang negatif. Gedung itu harus kita rawat. Kita harus berterima kasih dengan masa rehabilitasi dan rekonstruksi maupun pemerintah Jepang yang telah membantu,” cerita Fadhil.
ADVERTISEMENT
Lewat tangan-tangan orang baik seperti Romi dan Fadhil itu, risiko bencana tsunami yang mengancam masyarakat Aceh diharapkan bisa diminimalisasi.
ADVERTISEMENT
---------------------------------------------------------------
Simak selengkapnya konten spesial dalam topik Ironi Shelter Tsunami .