Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Lubis menunjuk luka bacok empat jahitan di punggungnya yang masih membekas. Pria 49 tahun itu berusaha mengingat peristiwa mencekam yang ia alami pada awal 2000-an. Hari itu, kawasan Blok M Jakarta jadi arena gladiator bagi dua organisasi masyarakat (ormas ) yang berebut lahan—Pemuda Pancasila (PP) dan Forum Betawi Rempug (FBR).
Pertikaian bermula dari sebuah proyek pembangunan hotel di Blok M. Lubis mengklaim PP lebih dulu mengirim proposal pada kontraktor hotel untuk meminta jatah pekerjaan bagi anggota PP di kawasan tersebut. Pekerjaan yang dimaksud ialah sebagai petugas keamanan, pengelola parkiran hotel, dan penyedia bahan baku bangunan hotel.
Selang beberapa hari, FBR juga ikut memasukkan proposal serupa kepada kontraktor hotel. Padahal, menurut Lubis, sejak 1990-an, beberapa kawasan vital Blok M, termasuk parkiran liar di sepanjang mal, hotel, pertokoan, dan perkantoran, menjadi daerah kekuasaan Pemuda Pancasila. Akibatnya ketika FBR memasuki wilayah itu, bentrokan tak terhindarkan. Massa dari kedua ormas bahkan mencapai ratusan orang—dan membuat Lubis kena bacok.
Masing-masing kubu sama-sama mengangkat senjata tajam untuk memenangi pertempuran. Bising gesekan senjata tajam nyaring terdengar.
“Banyak korban, baik dari kami—PP—maupun FBR,” cerita Lubis kepada kumparan di Melawai, Blok M, Jakarta Selatan, Rabu (27/11).
Lubis yang sempat pulang ke kampung halaman usai perkelahian yang membuatnya terbacok, kini datang lagi ke Jakarta untuk mencari kerja. Ia sekarang menjadi juru parkir di Melawai yang berada di bawah pengelolaan Pemuda Pancasila.
Lubis bukannya tak sadar pertikaian berdarah bisa terulang sewaktu-waktu. Namun ia mengaku tak terlalu khawatir.
“Itu sudah risiko. Yang penting saya bisa dapat uang dan bekerja,” ujar ayah dua anak itu.
Seorang juru parkir di Melawai mengatakan, sebagian kawasan Blok M kini memang menjadi daerah kekuasaan PP. Hal itu terlihat dari bendera berlogo Pancasila yang terpasang sepanjang Jalan Melawai hingga Terminal Bus Blok M. Pemasangan bendera ormas yang cukup masif semacam itu bisa diartikan sebagai simbol teritorial sebuah ormas.
Sementara perebutan pengelolaan lahan parkir antarormas bukanlah barang baru. Hal tersebut bahkan kian marak seiring pesatnya pembangunan di ibu kota. Perebutan lahan itu diperuncing oleh latar sejarah, eksistensi golongan, dan arogansi kelompok di suatu wilayah.
PP dan FBR merupakan dua ormas besar yang sering adu otot di jalanan demi jatah lahan parkir bagi anggota mereka. Entah sudah berapa banyak korban nyawa dari kedua ormas tersebut. Nyatanya, hingga kini PP dan FBR terus menjadi musuh bebuyutan di Jakarta.
Suatu hari di September 2018, misalnya, bentrokan antara PP dan FBR pecah di Cipulir, Jakarta Selatan. Kapolres Metro Jakarta Selatan Kombes Indra Jafar menyebutkan bentrokan itu ditengarai berlatar perebutan lahan parkir.
Tak heran, karena perputaran duit dari parkiran semacam itu lazimnya terhitung besar. Satu orang tukang parkir bisa meraup Rp 1,5 juta per bulan. Jumlah itu, katakanlah bila dikali 20 titik parkir yang dipegang satu ormas di satu wilayah saja, bisa mencapai Rp 30 juta per bulan. Belum lagi bila digabung dengan wilayah lain.
Bentrokan di Cipulir September 2018 itu meluas ke perbatasan antara Jakarta Selatan dan Tangerang Selatan seperti di Pesanggrahan, Kreo, Petukangan Selatan, Pamulang, dan Ciledug. Perkelahian juga terjadi di kitaran Gandaria City, Kebayoran Lama. Akibatnya, beberapa sekretariat milik PP dirusak oleh anggota FBR.
Koordinator Lapangan FBR Wilayah Selatan, Madon, mengatakan gesekan sengit yang kerap terjadi antara ormasnya dengan PP tak hanya perkara parkiran, tapi juga hal-hal remeh. Misalnya, bentrok gara-gara saling ejek di jalan dan saling serang posko.
“Kami pasti jaga nama baik. Gue FBR, gue orang Betawi, gue yang punya kampung. Masa diginiin (diserang) diem aja. Sampai darah penghabisan, maju terus. Kami kalau enggak diusik, enggak akan ngusik,” ujar Madon dengan nada keras saat berbincang dengan kumparan di Permata Hijau, Jakarta Selatan, Rabu (4/12).
Arif Rahman, Sekretaris Jenderal Pimpinan Pusat Nasional Pemuda Pancasila, mengatakan pertikaian terjadi karena anggota ormas di akar rumput harus bersaing untuk mendapat pekerjaan guna menyambung hidup sehari-hari. Tak jarang, otot dipakai saking kerasnya pergulatan hidup mereka demi sesuap nasi.
“Di PP itu kan solidaritasnya tinggi. Satu dicubit, semua terasa. Ketika semua dipanggil datang misalnya, ya beneran kami datang. Dan hampir semua ormas seperti itu,” kata Arif di kantor pusat Pemuda Pancasila, Pejaten, Jakarta Selatan, Kamis (5/12).
Wakil Sekretaris Jenderal DPP FBR, Ibrahim, tak menampik banyak gesekan keras sesama ormas akibat perebutan lahan parkir. Adu kuat di lapangan itu tak jarang jadi jalan terakhir bagi ormas untuk memenangi pertempuran dan—akhirnya—menentukan siapa penguasa suatu wilayah.
“Gesekan itu pasti ada. Enggak mungkin enggak. Ini kehidupan keras di lapangan,” kata Bram, sapaan Ibrahim, saat mengobrol bersama kumparan di Kemayoran, Jakarta Pusat, Senin (18/11).
Bram menceritakan bahwa dalam memperebutkan sebuah wilayah kekuasaan, ormas akan mengandalkan jumlah massa yang banyak. Dengan eskalasi massa besar, tarung fisik jadi penentu siapa berhak menguasai wilayah yang diperebutkan.
FBR yang mengusung slogan “Menjadi Jawara di Tanah Sendiri” menghendaki seluruh anggotanya sejahtera. Pun meski “hanya” menjadi juru parkir di lingkungan mereka.
Setidaknya ada 30-an gardu FBR di Jakarta Pusat. Wilayah administratif itu tak semua dikuasai FBR. Beberapa minim kehadiran anggota FBR. Sebut saja di Sawah Besar, Gambir, dan Menteng yang banyak dihuni pendatang beretnis Tionghoa.
“Mereka lebih banyak ngasih upeti daripada (gabung) jadi anggota (ormas),” ujar Bram.
Sebagai ormas kedaerahan, FBR sudah punya pamor sebagai ormas Betawi yang memiliki banyak jawara. Dalam sejarahnya, jawara-jawara direkrut sebagai tukung pukul dan pelindung daerah mereka masing-masing.
Soal penguasaan wilayah, FBR punya catatan panjang. Perebutan lahan biasa terjadi di titik-titik basah ekonomi seperti pasar, pertokoan, dan terminal. Pada lokasi-lokasi itu, gardu FBR di Jakarta Selatan yang dikenal dengan nama Rajawali Hitam Pasar Minggu, membuktikan eksistensi FBR yang terentang panjang di tanah mereka sendiri.
Pasar Minggu, sebuah wilayah dengan 2.200 kios dan 3.000 lebih pedagang kaki lima yang dilengkapi terminal angkutan kota dan stasiun kereta, mulai tahun 2000 menjadi surga bagi para preman dalam mencari upeti. Pelbagai ormas pun mengambil ceruk rupiah di setiap jengkal pasarnya.
Peneliti Australia Ian Douglas Wilson dalam bukunya, Politik Jatah Preman: Ormas dan Kuasa Jalanan di Indonesia Pasca Orde Baru, menuliskan bahwa di Pasar Minggu, Pemuda Pancasila memungut iuran dari para PKL di sisi selatan pasar dan Forkabi (Forum Komunikasi Anak Betawi) di sisi utara.
Tak hanya itu, BPPKB (Badan Pembinaan Potensi Keluarga Besar Banten) serta Geng Betawi pimpinan jawara lokal, Marta, mengambil bayaran dari bongkar muat barang yang masuk ke pasar.
Berikutnya, Geng Jawa Timur menguasai wilayah parkir kendaraan, Geng Batak menguasai parkir angkot di luar terminal, sedangkan Geng Madura menguasai gedung utama pasar. Itu sebabnya, Geng Madura kala itu menjadi yang terkaya karena gedung utama menyimpan perputaran uang dalam jumlah besar.
Mei 2005, FBR Rajawali Hitam di bawah pimpinan jawara lokal Aa dan Marta mulai bergerak. Dengan dukungan jawara FBR Korwil Selatan, mereka melancarkan aksi pengambilan wilayah dari Geng Madura.
Setelah seharian penuh bertempur dan mengakibatkan jatuh satu korban nyawa dari Geng Madura, akhirnya Pasar Minggu dikuasai oleh Rajawali Hitam. FBR pun menancapkan kekuatannya di daerah mereka sendiri.
FBR lantas mulai berkomunikasi dengan ormas dan geng-geng lain di Pasar Minggu. Kelompok-kelompok itu diminta masuk FBR. Kalaupun tidak mau, mereka diminta tidak macam-macam.
“Hal ini mengukuhkan posisi Rajawali Hitam sebagai patron melalui pembagian wilayah dan pekerjaan yang perlu dirundingkan,” tulis Ian Douglas.
Bram berpendapat, gaya FBR zaman dulu dalam menguasai suatu wilayah memang terkesan liar dan kurang elegan. “Jadi kalau di FBR itu kayak kompeni, yaitu daerah jajahan—‘Ini kampung gue, lu mesti bayar upeti ke gue.’”
Proses perebutan wilayah juga terjadi di Pasar Tanah Abang, pusat penjualan kain terbesar di Asia Tenggara. Adalah Hercules Rozario Marcal yang kali pertama menguasai setiap jengkal wilayah Tanah Abang pada medio 1990.
Namun kekuasaan Hercules kandas pada 1996 setelah anak buahnya disebut mengambil televisi dari lokasi bekas kebakaran di Kebon Jati, Jakarta Pusat. Geng Hercules kemudian disingkirkan oleh Kelompok Betawi pimpinan Yusuf Masehi atau Ucu Kambing yang sepanjang hidupnya tinggal di Tanah Abang.
Seperti dikisahkan Ian Douglas, setelah kejatuhan Geng Hercules, Tanah Abang dijaga oleh “putra daerah”, termasuk Abraham Lunggana atau Haji Lulung. Lulung ditunjuk Ucu untuk mengelola keamanan di Blok F, dan peran itu dilakoni Lulung sampai saat ini melalui perusahaan jasa keamanan PT Tirta Jaya Perkasa.
Perlahan, Lulung pecah kongsi dari Ucu Kambing. “Lunggana mampu merebut banyak kontrak penjagaan keamanan di hampir seluruh bangunan utama pasar, juga di kawasan sekitar pusat perbelanjaan kelas atas Plaza Indonesia,” tulis Ian Douglas. Ini menandai runtuhnya rezim Ucu Kambing di Tanah Abang.
Lulung, yang menjabat Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta pada periode 2009-2018, tak merespons panggilan telepon berulang kali dari kumparan. Ia juga tak terlihat di Gedung DPR RI yang kini menjadi tempatnya berkiprah sebagai wakil rakyat dari daerah pemilihan Jakarta III yang melingkupi Jakarta Barat, Jakarta Utara, dan Kepulauan Seribu.
Perebutan lahan parkir dan wilayah kekuasaan terjadi pada semua ormas sejak Orde Baru. Di Bekasi, misal, Aliansi Ormas Kota Bekasi awal November ini berunjuk rasa di depan SPBU Jalan Raya Narogong untuk meminta Pemerintah Kota Bekasi memberikan jatah pengelolaan parkir di minimarket kepada mereka.
Tak ayal, stigma buruk menghampiri ormas-ormas. Mereka dinilai arogan dalam meminta lahan pekerjaan bagi para anggotanya. Untuk mendinginkan suasana, Pemkot Bekasi kemudian memanggil perwakilan sejumlah ormas untuk mencari solusi bersama.
Setelah pertemuan, Ketua Gibas (Gabungan Inisiatif Barisan Anak Siliwangi) Kota Bekasi, Deni Ali, meminta maaf atas ketidaknyamanan yang dirasakan masyarakat akibat aksi unjuk rasa ormas. Ia pun menjanjikan bahwa ormas-ormas akan mengikuti peraturan pemerintah.
Pengelolaan lahan parkir, jelas sosiolog UGM Najib Azca, memang secara ekonomi tak bisa dihitung kecil. Penguasaan teritori model ormas itu, lanjutnya, juga membuat ruang untuk melakukan bisnis “abu-abu” menjadi aman.
Seolah mengamini, Ubay, anggota FBR yang berprofesi sebagai juru parkir di satu minimarket di Joglo Jakarta Barat, menceritakan bahwa ia bisa mengantongi Rp 100 ribu sampai Rp 150 ribu dalam sehari. Artinya, dalam sebulan ia mengantongi Rp 3 juta sampai Rp 4,5 juta.
“Itu sudah bersih. Di luar rokok, makan, dan minum,” kata Ubay di Gandaria, Jakarta Selatan, Kamis (31/11).
Singkatnya, jadi tukang parkir memang tak bisa dipandang sebelah mata. Forkabi Depok, misal, beroleh pendapatan besar dari pengelolaan parkiran mulai Stasiun UI sampai Stasiun Cilebut. Khusus di Stasiun Depok Lama, Forkabi bahkan mengelola sedikitnya empat kantong parkiran motor.
Yuda Permana, Ketua Generasi Muda Forkabi Depok, mengatakan bahwa satu kantong parkir saja dalam sebulan bisa menghasikan minimal Rp 30 juta. Bukan cuma besarnya pendapatan yang jadi perhatian, tapi juga penyerapan anggota ormas pada pekerjaan juru parkir tersebut.
“Ya kalau enggak gede (hasilnya), enggak akan kami jalani,” kata Yuda tergelak di Stasiun Depok Lama, Senin (2/12).
Penghasilan besar jadi penting karena kurangnya kesejahteraan anggota ormas, menurut Yuda, menyebabkan gesekan antar-ormas. Pekerjaan juru parkir yang identik dengan orang berstrata rendah atau preman, pun cenderung kasar dan keras.
“Kami itu di ormas tergantung kami sendiri. Mau ke negatif, bisa. Mau ke positif juga bisa, cuma terjal jalannya dan emang susah karena pikiran masyarakat juga pasti kami ini berantem aja,” kata Yuda.
Sekjen Pemuda Pancasila Arif Rahman menilai, sudah saatnya pemerintah hadir dalam menangani masalah gesekan antar-ormas akibat berebut lahan parkir atau pekerjaan. Menurutnya, perubahan bisa terjadi jika anggota ormas di akar rumput diberi edukasi.
“Kami siap bersinergi dengan segala potensi yang ada demi kebaikan masyarakat. Ini harus berproses dan tidak semudah membalikan telapak tangan,” tutur Arif.
Arif meminta masyarakat tak lagi melihat ormas sebagai tukang ribut. Menurutnya, saat ini gesekan antar-ormas akibat berebut lahan parkir sudah berkurang. Ia mencontohkan, di beberapa lokasi yang dominan Pemuda Pancasila, FBR dan Forkabi sudah lebih tenang dan bersedia berbagi wilayah.
Senada, Korlap FBR Korwil Jakarta Selatan Madon mengatakan bahwa FBR dan PP yang dikenal sebagai musuh bebuyutan toh bisa berjalan beriringan di wilayah Gandaria.
“Kami jalan bareng. Kami pegang parkiran di sini, mereka di sana. Dapat berapa, kami bagi dua,” ujar Madon.
Najib Azca sepakat kehadiran negara amat penting dalam mengatur ormas. “Harusnya negara yang mengontrol semua (ormas) itu.”
Akhir November, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian mengemukakan rencananya untuk mengelompokkan 431 ormas di seluruh Indonesia untuk mengetahui mana saja yang bisa diajak berkolaborasi, perlu dibina, atau harus diluruskan.
“Ormas penting sebagai penyeimbang negara. Namun dalam perjalanannya, ada ormas yang positif—mampu mendorong pemerintah selain mengkritik, ada juga yang membawa nilai-nilai yang tak sesuai dengan ke-Indonesia-an. Yang begini harus diluruskan,” ujar Tito.