news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Tekan Ongkos Pilkada, Hadar Gumay Usul Pemerintah Ikut Biayai Kampanye

24 November 2019 17:48 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Diskusi Formappi soal Pilkada Langsung dan tidak langsung di Formappi, Jakarta timur, Mingfu (24/11). Foto: Darin Atiandina/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Diskusi Formappi soal Pilkada Langsung dan tidak langsung di Formappi, Jakarta timur, Mingfu (24/11). Foto: Darin Atiandina/kumparan
ADVERTISEMENT
Ongkos politik yang besar untuk menjadi kepala daerah menjadi salah satu alasan Mendagri Tito Karnavian untuk mengevaluasi sistem pilkada langsung. Lewat Pilkada langsung, Tito menyebut seorang kepala daerah setidaknya harus keluar Rp 25-30 miliar.
ADVERTISEMENT
Peneliti Utama Network for Democracy and Electoral Integrity (Netgrit) Hadar Nafis Gumay memberikan sejumlah masukan untuk menekan ongkos politik yang dikeluarkan calon kepala daerah selama masa kampanye hingga pencoblosan Pilkada.
Pertama, Hadar mengusulkan agar ada biaya kampanye kepala daerah yang dibiayai oleh negara. Selain mengeluarkan modal yang lebih sedikit, cara ini juga bisa mencegah kepala daerah memiliki rasa keinginan ‘balik modal’ yang berujung korupsi saat menjabat nanti.
"Bagaimana supaya adil dan mereka tidak keluar biaya ekstra ketika kampanye? Tentu itu bisa dibiayai oleh negara, (pemerintah) daerah, beli iklan di media misalnya," ujar Hadar usai diskusi di Formappi, Jakarta Timur, Minggu (24/11).
Hadar pun mengusulkan harus ada aturan yang jelas untuk calon kepala daerah dalam mengeluarkan biaya untuk kampanye. Ini bisa menjadi catatan khusus dalam evaluasi pilkada langsung.
Pelaksanaan pencoblosan di TPS 016 Cipedak, Jagakarsa, Jakarta Selatan yang baru dimulai pukul 08.35 WIB. Foto: Nabilla Fatiara/kumparan
“Biaya dari calon atau parpol pendukung ini yang perlu dibenahi, harus ada aturan apa saja yang bisa digunakan, bagaimana pelaporannya dan yang paling penting bagimana pengawasan dan penegakkan hukumnya,” lanjut Hadar.
ADVERTISEMENT
Pengawasan ini penting untuk mencegah calon kepala daerah mengeluarkan uang untuk membeli suara misalnya. Sebab, pengeluaran untuk membeli suara-lah yang membuat dana kampanye membengkak.
“Sehingga pengeluaran calon hanya memang yang betul dibutuhkan. Bukan untuk membeli suara, atau sumbangan dalam rangka mendapatkan simpati dari daerah setempat,” kata Hadar.
Saran lain, Hadar menyarankan KPU menciptakan sistem pemilu berbasis teknologi informasi. Sistem yang dimaksud Hadar adalah KPU harus memiliki sistem yang me-record perhitungan suara mulai di tingkat TPS hingga nasional.
Sistem ini, menurut Hadar, bisa menekan biaya kepala daerah untuk membayar saksi-saksi mereka di TPS. Poin ini harus menjadi catatan khusus dalam evaluasi pilkada langsung.
“Bagaimana biaya untuk saksi-saksi mereka untuk memastikan perhitungan suara bisa lebih terjamin? Tentu penyelenggara kita bisa dorong untuk menggunakan sistem IT di mana hasil-hasil itu harus cepat diumumkan dan secara akurat,” kata Hadar.
ADVERTISEMENT
“Jadi mereka tidak perlu untuk punya saksi di TPS yang harus menjaga betul atau tidak, dia bisa langsung lihat saja dokumen,” tutur Hadar.