Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Indonesia tidak pernah absen mengirim jemaah haji setiap tahun sejak merdeka 74 tahun lalu. Namun, pandemi corona yang belum usai—bahkan selalu datang dengan gelombang baru—membuat pemerintah Indonesia memutuskan tidak ikut serta tahun ini.
Menteri Agama Fachrul Razi menyebutkan, pembatalan pemberangkatan haji 2020 berlaku bagi seluruh warga negara Indonesia. Artinya, mereka yang menggunakan visa haji undangan (furada) dan visa khusus juga tidak bisa berangkat.
“Risiko ibadah sangat mungkin terganggu jika haji dilaksanakan saat kasus (virus corona ) di Arab Saudi dan Indonesia masih bertambah,” ujar Menteri Agama Fachrul Razi, Selasa (2/6) lalu.
Sebelum memutuskan untuk tidak memberangkatkan jemaah haji sama sekali, pemerintah RI sempat menggodok tiga opsi, yakni:
Opsi tersebut semula dibuat sembari menunggu kabar dari Arab Saudi terkait pelaksanaan ibadah haji, apakah tetap diadakan atau akan dibatalkan. Kemudian, karena hingga tiga pekan menjelang pemberangkatan kloter pertama haji kabar yang ditunggu tak kunjung datang, opsi terakhir akhirnya dipilih pemerintah Indonesia. Terlebih, pada saat yang sama kasus corona di Saudi melonjak melebihi China.
Pemerintah meminta jemaah yang tertunda keberangkatannya tak risau karena rencana telah dirancang agar mereka tetap bisa berhaji tahun depan, pada 2021.
Berikut hal-hal yang perlu diketahui terkait informasi penundaan haji Indonesia tersebut:
Bagaimana nasib ratusan ribu jemaah haji Indonesia yang gagal berangkat tahun ini?
Sesungguhnya, tahun 2020 ini Indonesia mendapat kuota haji sebesar 221.000 jemaah—yang terbesar di dunia di luar Arab Saudi sendiri. Dari kuota yang disediakan pemerintah Saudi itu, jemaah yang dinyatakan berhak berangkat oleh Kementerian Agama terdiri dari 214.241 orang—198.765 jemaah reguler dan 15.476 jemaah khusus. Mereka ini telah melunasi biaya perjalanan ibadah haji (BPIH) tahun 2020. Sementara sisanya, 6.759 jemaah, belum melunasi pembiayaan.
Menteri Agama Fachrul Razi memastikan jemaah haji yang telah melunasi BPIH tersebut otomatis akan menjadi berangkat pada 2021. Setoran BPIH yang dibayarkan akan disimpan dan dikelola terpisah oleh Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH)—sebuah lembaga pengelola keuangan haji nonkementerian. Nilai manfaat dari setoran itu akan diberikan kepada jemaah paling lambat 30 hari sebelum pemberangkatan kloter pertama haji 2021.
Jika berangkat tahun depan, bukahkah akan terjadi penumpukan dengan jemaah yang sudah terdaftar berangkat tahun 2021?
Itu memang tak terelakkan. Oleh sebab itu, Kementerian Agama mendalami opsi untuk mengajukan penambahan kuota haji kepada Arab Saudi—meski kuota yang diberikan saat ini sebetulnya sudah yang terbesar di dunia. Indonesia berharap, penambahan kuota dapat mengurangi penumpukan jemaah pada 2021, setidak-tidaknya tak sampai dua kali lipat.
Juru Bicara Kemenag Oman Fathurahman menyebut Arab Saudi telah berkomitmen untuk menambah kuota haji Indonesia. Namun realisasinya sangat tergantung pada lobi proaktif dari Presiden Jokowi dan Menteri Agama Fachrul Razi.
Bagaimana jika—semoga tidak—jemaah meninggal sebelum berangkat haji tahun depan?
Kementerian Agama telah menyiapkan skenario pengalihan kuota jika ada calon jemaah meninggal dunia, terlepas dari adanya pandemi atau tidak. Hak jemaah untuk berhaji akan langsung dialihkan kepada keluarga mereka yang telah diberi wewenang tertulis. Wewenang itu dibuat dengan memperhatikan urutan yang diatur Kemenag, yaitu: 1) Ayah; 2) Ibu; 3) Anak-istri; 4) Saudara kandung.
Jadi, nomor pendaftaran hajinya tidak hangus. Keluarga yang menggantikan akan berangkat haji tahun depan, dengan catatan pemerintah Arab Saudi tidak mengurangi kuota haji Indonesia. Namun bila kuota dikurangi, maka penggantinya itu—bila nomor urutnya berada di bawah—bisa jadi berangkat pada 2022.
Apa yang terjadi jika ada jemaah yang memaksakan berangkat haji tahun ini?
Maka mustahil para jemaah bisa saling menjaga jarak ketika beribadah. Padahal kasus corona di Arab Saudi saat ini sedang banyak-banyaknya.
Bayangkan, dalam satu periode haji biasanya sekitar tiga juta orang dari seluruh dunia berkumpul di Arab Saudi selama sebulan atau lebih. Para jemaah akan sulit menjalankan rukun haji dengan kondisi physical distancing. Salah satunya ketika wukuf di Padang Arafah yang menjadi bagian dari puncak dan inti ibadah haji.
Pada saat itu, seluruh jemaah haji berkumpul dari matahari terbenam tanggal 9 Zulhijah hingga fajar terbit tanggal 10 Zulhijah. Berkumpulnya massa haji dalam jumlah besar ini tentu menjadi problem besar di tengah pandemi corona. Sebab rasio antara tempat dan orang di Padang Arafah adalah 1:1—satu orang mendapat jatah tempat 1 meter.
Itu baru di padang Arafah, belum lagi di lokasi lain yang ruangnya lebih sempit seperti di Mina—lembah tempat jemaah menginap tiga hari untuk melempar kerikil atau jamrah. Di Mina, rasio orang dan tempat ibadah adalah 1:0,8 meter persegi. Artinya, satu orang punya tempat untuk tidur tidak sampai satu meter.
Bagaimana kuota haji Indonesia setelah pandemi berakhir?
Bisa berkurang karena pemberlakukan aturan new normal. Tetapi, kemungkinan sebaliknya juga masih terbuka jika pandemi sudah benar-benar reda.
Apakah biaya haji akan naik setelah pandemi usai?
Kenaikan biaya haji mungkin saja terjadi, namun belum ada informasi pasti saat ini. Kementerian Agama biasanya memutuskan besaran biaya haji bersama Komisi VIII DPR dan Presiden karena ini menyangkut kepentingan bersama—kepentingan umat.
Misal BPIH tahun depan naik, maka jemaah diharuskan untuk menutupi kekurangan biaya itu. Tetapi jika biaya haji justru turun, maka kelebihan akan dikembalikan kepada mereka.
***
Simak panduan lengkap corona di Pusat Informasi Corona .
Yuk, bantu donasi untuk mengatasi dampak wabah corona.