Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Bukan revisi UU TNI untuk memperluas jatah jabatan di kementerian, tapi manajemen SDM-lah yang jadi kunci.
ADVERTISEMENT
Ruangan berukuran 6 x 6 meter di lantai delapan Markas Besar TNI AD menjadi saksi bisu keluh kesah dan canda para perwira tanpa jabatan . Di sana, kurang dari 50 kursi yang tersedia harus diperebutkan oleh sekitar 70-an perwira.
ADVERTISEMENT
“Tidak ada kantor staf khusus. Cuma ruangan besar, tempat orang datang duduk, menaruh tas. Kadang-kadang kami enggak kebagian kursi,” ujar salah satu perwira kepada kumparan belum lama ini.
Kondisi tersebut membuatnya tak lagi bersemangat untuk datang ke kantor. Jika biasanya ia giat untuk apel pagi, kini ia memilih tidur lagi selepas salat subuh. “Wong kita nggak ikut apel juga nggak ada yang nyari, kok. Kita sakit pun nggak ada orang yang peduli. Kita ini seperti orang yang dihukum secara sosial,” tuturnya.
Ia merasakan perubahan sikap para juniornya ketika terbit surat keputusan yang menunjuknya sebagai salah satu staf khusus. Tak ada ucapan selamat, dan tak lagi banyak sapaan menghampiri.
“Begitu kita jadi pati (perwira tinggi) khusus (tanpa jabatan), nggak ada yang memberikan ucapan selamat satu pun. Mungkin para junior berpikir kalau dikasih ucapan selamat nanti tersinggung.”
ADVERTISEMENT
Jika sedang berkumpul, para perwira tanpa jabatan tersebut kerap berkelakar menertawai nasib yang kadang sulit ditebak. “Disebut staf khusus, kelihatannya keren. Enggak tahunya gak ada tugas, non-job, gak ada pekerjaan,” ucapnya miris.
Alhasil, muncullah istilah pelesetan. Misalnya, Kopassus yang akronim dari Komando Pasukan Khusus, dibuat candaan jadi Komando Pati Khusus—banyolan bagi mereka yang merasa disingkirkan atau tak kebagian jabatan.
Para pati non-job juga kerap mengolok-olok diri sendiri dan rekan senasib sebagai tukang parkir atau sopir untuk mengantar anak dan istri.
“Ada yang berkelakar, ‘Saya nih cuma jadi tukang parkir. Mindahin mobil dari rumah ke kantor, dari kantor pindahin ke rumah,’” seloroh Kepala Pusat Penerangan TNI Mayjen Sisriadi saat berbincang dengan kumparan, Jumat (15/2).
ADVERTISEMENT
Ibarat bermain ular tangga, jika dadu-dadu nasib tak berpihak padanya, maka seorang perwira TNI akan jatuh ke ruang keramat di lantai delapan.
Kondisi tersebut tak hanya terjadi di Angkatan Darat, tapi juga di dua angkatan lainnya—Laut dan Udara. Hanya saja, karena proporsi Angkatan Darat lebih banyak, maka gaungnya lebih nyaring terdengar.
Pada akhir 2017, tercatat 141 perwira tinggi dan 790 kolonel dari tiga matra tak memiliki jabatan struktural. “Hingga 2018, kelebihan perwira menurun. Di Angkatan Darat, Laut, dan Udara total kelebihan kolonel sekitar 500 orang, tapi untuk perwira tinggi dari tiga angkatan itu justru bertambah, total ada 150 orang seperti disebutkan Panglima TNI di rapat pimpinan kemarin,” ucap Sisriadi.
Dalam Rapat Pimpinan TNI yang berlangsung 31 Januari 2019 di Markas Besar TNI, Cilangkap, Jakarta Timur, Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto tak hanya memaparkan masalah ratusan perwira setingkat jenderal dan kolonel yang menganggur. Ia juga mengusulkan untuk merevisi Undang-undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia sebagai salah satu solusi banjirnya perwira tinggi di tubuh TNI.
ADVERTISEMENT
Usul revisi UU TNI itu khususnya untuk mengubah bunyi Pasal 47 yang membatasi ruang gerak militer untuk masuk ke kementerian atau lembaga pemerintah. Panglima menginginkan posisi eselon I, II, dan di bawahnya bisa diisi personel TNI. “Sehingga kolonel bisa masuk ke sana," kata Hadi.
UU TNI pasal 47 ayat 1 menyatakan prajurit hanya dapat menduduki jabatan sipil bila telah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif keprajuritan. Sementara ayat 2 mengatur prajurit aktif hanya dapat menduduki jabatan pada kantor yang membidangi Koordinator Bidang Politik dan Keamanan Negara, Pertahanan Negara, Sandi Negara, Lembaga Ketahanan Nasional, Dewan Pertahanan Nasional, Search and Rescue (SAR) Nasional, Narkotik Nasional, dan Mahkamah Agung.
Wacana revisi UU TNI ini disambut baik pemerintah, namun ditentang berbagai kelompok masyarakat sipil. Menteri Koordinator Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan, misalnya, memastikan akan maju mengupayakan revisi UU TNI. Kementerian yang ia pimpin bahkan telah berdiskusi dan mengkaji revisi UU TNI sejak Mei 2018.
ADVERTISEMENT
Namun Koalisi Masyarakat Sipil memprotes dan mengadakan petisi tolak revisi UU TNI. Koalisi ini terdiri dari beberapa lembaga independen seperti Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Imparsial, Elsam, Human Rights Working Group (HRWG), Indonesia Corruption Watch (ICW), Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI), dan Setara Institute.
Mereka mendesak DPR dan pemerintah agar tidak mendukung agenda restrukturisasi dan reorganisasi yang bertentangan dengan reformasi TNI. Petisi ini juga didukung beberapa tokoh, antara lain Direktur Amnesty Internasional Usman Hamid, pendiri Museum HAM Omah Munir Suciwati, serta pakar hukum tata negara Bivitri Susanti.
Solusi dan Substansi Masalah Tak Serasi
ADVERTISEMENT
Persoalan kelebihan perwira di tubuh TNI bukan masalah baru. Ia memiliki akar sejarah yang cukup panjang hingga belasan tahun silam saat TNI mereformasi diri setelah Orde Baru tumbang.
Persoalan itu muncul ketika batas usia pensiun perwira bertambah tiga tahun, yang semula 55 tahun menjadi 58 tahun dalam Pasal 71 UU TNI. Perubahan batas usia pensiun perwira itu sayangnya tidak diikuti perbaikan manajemen personalia di internal TNI.
“Dengan penambahan usia pensiun itu, maka terjadi ketidakseimbangan antara ruang jabatan dengan masa guna. Sementara itu, internal Angkatan Darat, Laut, dan Udara tidak melakukan langkah-langkah yang seharusnya dilakukan di bidang manajemen sumber daya manusia,” kata Sisriadi.
Jumlah perwira tanpa jabatan yang awalnya hanya berjumlah tujuh orang pada 2011, semakin bertambah dan membengkak. Penambahan jabatan fungsional berulang kali dilakukan, namun hanya jadi solusi jangka pendek, tanpa menyembuhkan akar masalah.
ADVERTISEMENT
Persoalan lain yang semakin memperburuk keadaan adalah sistem rekrutmen yang tidak proporsional dan tidak sesuai kebutuhan.
Dalam militer, perwira yang akan naik pangkat harus melalui Sekolah Staf dan Komando Militer terlebih dulu. Sesko—baik Sesko AD, Sesko AL, atau Sesko AU—militer menyiapkan kadernya untuk menjadi kolonel dan perwira tinggi. Namun sayangnya, jumlah lulusan Sesko terlalu banyak sementara ruang jabatan yang tersedia tak seimbang.
Sisriadi pernah mengalami masa-masa itu. Ketika ia telah menuntaskan sekolah lanjutan di Sesko AD dan dinyatakan memenuhi syarat untuk naik pangkat, tak ada jabatan fungsional tersedia untuknya. Alhasil, ia terpaksa menganggur selama satu tahun.
“Saya menganggur itu tahun 2010-2011, setelah sekolah. Kebetulan waktu itu saya lihat di rapat ada Pak Gatot Nurmantyo, (dulu) direktur di Kodiklat (Komando Pembinaan Doktrin, Pendidikan, dan Latihan TNI AD). Saya nanya sama beliau, ‘Pak, bisa saya bantu?’ Beliau jawab, ‘Kamu mau bantu apa?’ Saya jawab, ‘Terserah.’ (Katanya), ‘Ya udah, kamu kerja di kantor saya,’” kenang Sisriadi.
ADVERTISEMENT
Tak semua orang mengalami nasib mujur serupa Sisriadi. Transparansi penentuan jabatan bagi perwira tak jarang diam-diam dipertanyakan.
“Ada orang yang jelas-jelas melakukan pelanggaran, tiba-tiba duduk di jabatan yang bagus. Ada yang tidak punya background bidang tertentu, tiba-tiba duduk di situ hanya karena kedekatan personal,” ucap salah seorang perwira yang tak mau disebutkan namanya.
Sementara itu, menurutnya, banyak perwira berprestasi di daerah operasi seperti prajurit Kopassus dan Kostrad, malah belum bisa naik pangkat. “Tentara itu kan menerima surat perintah dan tidak bisa membantah. Toh mau nggak mau ya dilaksanakan,” ucapnya.
Pada masa Orde Baru, ketika ada surplus perwira, mereka bisa ditempatkan di DPR, kementerian, hingga pemerintah daerah. Kini, hal tersebut tak lagi berlaku. TNI dituntut mampu merestrukturisasi diri sesuai amanat reformasi melalui penataan komando teritorial, penataan bisnis militer, dan reformasi sistem peradilan militer.
ADVERTISEMENT
Setumpuk persoalan manajerial di internal tubuh TNI, menurut Direktur Imparsial Al Araf, bukan diselesaikan dengan merevisi UU TNI dan memperluas jatah jabatan di berbagai kementerian dan lembaga pemerintahan.
“Solusinya bukan dengan menaruh mereka di jabatan sipil, apalagi sampai merevisi UU TNI. Itu akan menjadi pintu masuk mereka kembali melakukan intervensi jauh kepada ranah sipil,” ujarnya kepada kumparan.
Sisriadi mengamini pernyataan tersebut, menegaskan bahwa institusi tempatnya bernaung mendahulukan perbaikan manajerial personalia sebagai solusi permanen dan jangka panjang. Salah satunya adalah perubahan sistem kepangkatan yang tertuang dalam Peraturan Panglima TNI Nomor 40 Tahun 2018.
“Karena ada perubahan masa guna, maka diikuti dengan perubahan sistem kepangkatan yang menambah rentang Masa Dinas Perwira (MDP) sebelum naik pangkat,” kata Sisriadi.
ADVERTISEMENT
Ada pula penataan ulang jabatan fungsional baru, seperti tenaga pengajar di Sesko yang semula berpangkat letkol akan dinaikan menjadi kolonel. “Kemudian menaikkan grade jabatan-jabatan struktural seperti Danrem (Komando Resor Militer). Ada 21 Danrem yang direncanakan akan dinaikan grade-nya jadi Brigjen.”
Perubahan lainnya adalah rencana pembentukan organisasi baru di dalam TNI, yaitu Komando Gabungan Wilayah Pertahanan (Kogabwilhan) yang berada di bawah koordinasi langsung Panglima TNI. Komando ini bertugas menjaga pangkalan terintegrasi seperti Natuna, Morotai, Saumlaki, dan Biak.
Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto menyatakan, Kogabwilhan akan diisi gabungan dari tiga matra (AD, AL, dan AU) yang nantinya dipimpin jenderal bintang tiga, dengan wakil jenderal bintang dua, plus enam orang asisten bintang satu.
ADVERTISEMENT
Sederet rencana itu dilakukan dalam bingkai pengelolaan SDM TNI berbasis kompetensi yang merupakan bagian dari program 100 hari kerja Hadi Tjahjanto. Mencuatnya persoalan para perwira non-job menjadi salah satu masalah yang jadi prioritas untuk diselesaikan.
“Panglima Hadi Tjahjanto ini kan membuat program 100 hari, salah satunya pembinaan sumber daya manusia, karena banyak yang resah. Perwira-perwira yang menganggur resah karena pendapatannya berkurang, kehilangan tunjangan jabatan, hingga remunerasinya turun dua grade,” ucap Sisriadi.
Kehebohan menolak revisi UU TNI, menurut Sisriadi, seharusnya tak perlu terjadi, sebab perbaikan struktur di internal TNI jadi solusi yang lebih penting untuk dijalankan.
Lagi pula, UU TNI cukup memberi kelonggaran bagi mereka yang ingin berkarier di luar militer dengan mengajukan pengunduran diri atau pensiun dari dinas aktif keprajuritan.
ADVERTISEMENT
“Sistemnya dengan alih status (menjadi aparatur sipil negara /ASN), dan itu lewat open bidding, diminta dari kementerian berdasar kapasitas. Jadi tidak langsung masuk begitu saja,” kata Sisriadi.
ADVERTISEMENT