
Duduk beralas bale bambu di sebuah gubuk reyot, Salim memandangi tambak ikan bandeng dan udang miliknya di Kecamatan Kemiri, Kabupaten Tangerang , Kamis sore (11/7). Ia ditemani kawannya yang baru selesai menjaring ikan mujair di tambak lain. Keduanya sedang asyik berbincang ketika ponsel Salim tiba-tiba berdering.
Di sambungan telepon, seorang mantan aparatur desa ingin bertemu Salim untuk menegosiasikan jual beli lahan. Namun Salim menolaknya secara halus.
Beberapa bulan terakhir ini, Salim terus diburu makelar tanah yang mengincar lahannya, baik tambak maupun sawah. Para makelar tanah itu bilang, lahan-lahan tersebut dibutuhkan untuk proyek Pantai Indah Kapuk (PIK ) 2.
“Setiap hari calo cari saya terus,” kata Salim. Ia meminta kumparan menyamarkan namanya.
Lelaki yang sudah memasuki usia senja itu berujar, sawah dan tambaknya yang sudah berstatus sertifikat hak milik (SHM) dihargai amat rendah oleh para calo. Sawahnya yang tak jauh dari jalan raya ditawar hanya Rp 50 ribu per meter, padahal harga pasarannya di atas Rp 100 ribu sampai Rp 200 ribu per meter.
Sementara tambaknya cuma ditaksir dengan harga Rp 30 ribu per meter sekalipun harga normalnya di atas Rp 50 ribu per meter.
“Dari sana (pengembang), katanya [harga yang ditawarkan] Rp 80 ribu per meter, tapi dibayar [makelar] Rp 50 ribu. Makanya calo pada kaya-kaya,” kata Salim.
Rendahnya harga yang ditawarkan dan banyaknya makelar yang bermain membuat Salim belum bersedia menjual tanahnya. Ia ingin mewariskan sawah dan tambaknya kepada anak cucunya.
Namun, penolakan Salim berujung intimidasi terhadapnya. Tak jarang ia ditakut-takuti makelar yang menyebut bahwa harga tanahnya akan anjlok jika tak segera dijual, sebab tanah-tanah lain di sekitar lahan Salim sebagian besar sudah dibeli pengembang. Itu termasuk akses menuju lahan-lahan tersebut.
“[Ditakut-takuti], ‘Ini (tanah) mau dijual, gak? Kalau gak mau, kamu nanti kekurung, dipagar. Jalannya mau ke mana?’ Tapi saya bodo amat,” tegas Salim.
Ekspansi Masif PIK 2
Pantai Indah Kapuk 2 merupakan proyek pengembangan kawasan kota mandiri di pesisir utara Jakarta dan Kabupaten Tangerang, Banten. Proyek besutan kongsi bisnis Agung Sedayu Group dan Salim Group ini telah ditetapkan sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN ) oleh Presiden Jokowi pada Maret 2024.
PSN salah satunya bertujuan untuk meningkatkan aktivitas ekonomi masyarakat dan mendorong pertumbuhan ekonomi nasional lewat akselerasi penyediaan infrastruktur. Menurut Menparekraf Sandiaga Uno, PIK 2 masuk daftar PSN karena berpotensi menjadi destinasi wisata strategis dan bisa membuka lapangan kerja bagi masyarakat.
“Ada effort yang luar biasa dari pengembang. Mereka telah membangun infrastruktur sendiri. Maka pemerintah harus hadir memfasilitasi,” kata Sandiaga, April lalu.
Usai ditetapkan sebagai PSN, pembangunan PIK 2 semakin menggeliat, termasuk pembebasan lahannya. Berdasarkan amatan kumparan di lapangan, denyut pekerjaan pengembangan PIK 2 terasa dari Kecamatan Kosambi hingga Kronjo, Kabupaten Tangerang.
Aparat desa di Kecamatan Kronjo bahkan mengatakan, upaya pembebasan lahan untuk PIK 2 sudah sampai perbatasan Serang, yakni di Kecamatan Tanara.
“Di wilayah Serang sudah mau dimulai [pembebasan lahan]. Banyak tambak yang mau dijual,” kata Sugeng, aparat desa yang meminta namanya juga disamarkan, Kamis (11/7).
Sementara di Kecamatan Kosambi, akses Tol Kataraja Seksi 1 yang menghubungkan Tol Bandara Soetta ke Kosambi (PIK 2) sedang dibangun. Tol Kataraja (Kamal–Teluknaga–Rajeg–Balaraja) Seksi 1 itu memiliki panjang 6,7 km dari total 38,6 km yang direncanakan.
Tol senilai Rp 23 triliun itu dibangun PT Duta Graha Karya yang merupakan konsorsium bentukan Agung Sedayu dan Salim Group.
Saat kumparan meninjau lokasi, pilar-pilar beton tol sudah berdiri kokoh membelah permukiman kumuh di Kelurahan Dadap, Kosambi, yang jalannya masih berupa tanah bergelombang.
Bergeser ke Kecamatan Teluknaga, berbagai bangunan sudah berdiri megah di area PIK 2, misalnya apartemen Tokyo Riverside. Bangunan-bangunan ini mengapit Jalan Pipa yang merupakan akses satu-satunya menuju hutan mangrove Desa Muara.
Dari Jl. Pipa yang seperti lorong, pengendara tak bisa melihat aktivitas di dalam area PIK 2 karena terhalang tembok beton setinggi 4 meter. Dari situ, tak ada pula akses bagi pengendara atau pejalan kaki yang ingin memintas lewat PIK 2.
Namun, penghuni PIK 2 yang hendak menyeberang ke area mereka di sisi lain Jl. Pipa dapat melewati jalan layang atau jembatan penyeberangan orang yang melintang di atas Jl. Pipa dan menghubungkan dua kawasan PIK yang terbelah oleh jalan sempit itu.
Jalan seperti lorong yang menjadi satu-satunya akses warga di tengah pembangunan PIK 2 juga ada di Tanjung Pasir. Bedanya, jalan menuju Pantai Tanjung Pasir itu lebih lebar, meski penuh lubang.
Di jalan itu, truk-truk proyek lalu-lalang untuk menguruk tanah sehingga jalanan jadi berdebu.
Sama seperti di Jalan Pipa, di Jalan Tanjung Pasir yang berlubang-lubang itu pun tak ada akses bagi warga untuk masuk ke area PIK 2 yang sudah beraspal mulus.
PIK 2 dan kawasan di luarnya bak dua dunia yang berbeda.
Usai melewati Jl. Tanjung Pasir yang penuh lubang itu, tim kumparan berhenti di Dermaga Tanjung Pasir, lantas melanjutkan perjalanan dengan perahu untuk melihat intensitas pembangunan PIK 2 di pesisir Desa Tanjung Pasir dan Tanjung Burung.
Dari atas perahu, tampak jajaran bambu tertancap di perairan Tanjung Pasir layaknya pagar. Jarak pagar bambu dengan pesisir sekitar 50–100 meter.
Menurut nelayan di Tanjung Pasir, pagar itu sudah ada sejak 2022. Imbasnya, nelayan kesulitan mencari ikan di perairan dekat pantai yang ada di dalam pagar tersebut.
Perahu yang ditumpangi tim kumparan kemudian masuk ke Sungai Cisadane. Di dekat muara, terlihat jembatan layang PIK 2 kokoh membentang di atas sungai.
Dari sungai, terlihat pula proyek perumahan PIK 2. Di sana tampak para pekerja lalu-lalang beserta beserta alat-alat beratnya.
Di sepanjang bantaran Sungai Cisadane, tinggal warga Desa Tanjung Burung yang bersebelahan dengan tembok tinggi PIK 2.
Berbeda dengan penghuni PIK 2 yang memiliki akses jembatan layang yang membelah Sungai Cisadane, warga Tanjung Burung masih menyeberangi sungai itu dengan perahu eretan.
Ranto, warga yang dulu memiliki 20 hektare tambak di Tanjung Burung, mengatakan pembangunan masif di wilayah itu dimulai sejak 2013. Ketika itu, ujarnya, pihak yang mengatasnamakan Agung Sedayu terus menawar tambak keluarganya agar dilepas.
Keluarga Ranto pun bersedia menjual tambaknya, tetapi hanya 1 hektare, dengan harga Rp 250 ribu per meter. Sementara sisanya tak dijual karena tambak-tambak itu masih produktif dan sudah jadi lahan pemancingan.
Berikutnya, lahan tersebut ternyata hanya hendak dibayar Rp 125 ribu per meter. Kesepakatan terjadi, dan keluarga Ranto melepas lahan tambak 1 hektare sesuai harga yang ditawarkan pengembang.
Tak disangka, setelah itu keluarga Ranto malah dilaporkan ke polisi atas tuduhan penipuan dan pengemplangan pajak. Pada akhirnya, mereka terpaksa menjual 19 hektare lahan tambak sisanya ke pengembang dengan harga serupa.
“Ternyata 1 hektare itu bagian dari umpan. Sisanya mau nggak mau harus kami lepas dengan harga sama. Tapi pelunasannya baru selesai tahun 2016 (tiga tahun kemudian). Jadi tidak serta-merta langsung dibayar tunai, tapi bertahap. Kami pakai nagih segala,” kata Ranto.
Turun di dermaga warga di Tanjung Burung, tim kumparan melanjutkan perjalanan ke arah barat menuju Kecamatan Mauk dan Kronjo. Di Mauk, terdapat lahan sawah yang sudah dibebaskan. Letaknya di Desa Banyu Asih.
Pembebasan lahan yang kemudian diuruk juga terlihat di Desa Pagedangan Ilir, Kronjo, yang berbatasan dengan Kecamatan Kemiri.
Di lokasi tersebut plang PIK 2 telah dipasang. Berdiri pula pos penjagaan berupa bedeng yang ditongkrongi beberapa pemuda. Mereka menjaga truk-truk yang hendak keluar masuk area urukan dari jalan Kronjo-Mauk.
Bergeser lagi ke barat, beberapa ekskavator dan truk-truk yang hilir mudik ke area urukan juga terlihat di Desa Muncung, Kronjo. Area urukan itu tak jauh dari Kantor Desa Muncung, dan juga dijaga sejumlah pria di sebuah posko. Bedanya, belum ada plang PIK 2 di tempat itu.
Ketika mobil kumparan mencoba masuk ke area urukan menuju tambak di sisi utara Muncung, seorang pria melarang dan meminta kami putar balik. Menurutnya, larangan melintas di sana merupakan aturan perusahaan.
Ucapan pria itu berbeda dengan keterangan aparat desa setempat yang menyebut tak masalah bila kami menuju tambak melewati jalan urukan tersebut.
Setelah melewati jalur pantura Tangerang sejauh 47 km, penelusuran kumparan berhenti di Tanara, Serang. Apabila ditarik garis lurus dari tembok terluar perumahan PIK 2 yang sudah dihuni di Cluster Alabama sampai perbatasan Serang, proyek PIK 2 diduga terentang sepanjang 30 km.
Konsultan hukum Agung Sedayu Group, Haris Azhar, menyatakan bahwa lahan yang dibebaskan PIK 2 tak seluruhnya bagian dari Proyek Strategis Nasional. Menurutnya, selain atas nama PSN, pembebasan lahan pun ada yang murni atas nama swasta (Agung Sedayu dan Salim Group).
“Saya cari tahu secara mandiri ke struktur pemerintahan di Banten. PSN yang katanya dikasih ke PIK itu cuma 1.700 hektare,” ujar Haris kepada kumparan, Jumat (12/7).
Selain itu, sebagian lahan yang masuk PSN milik Perhutani yang diperintahkan ke PIK 2 untuk dihijaukan kembali.
Adapun Sekretaris Perusahaan PT Pantai Indah Kapuk Dua Tbk (PANI) Christy Grassela menyatakan PSN PIK 2 memiliki luas 1.755 hektare yang di dalamnya akan dibangun eco-park, taman safari, lapangan golf, wisata mangrove, sirkuit internasional, dan ekowisata.
“Perhitungan sementara total investasinya dapat mencapai sekitar Rp 40 triliun. Akan dibangun mulai tahun 2024 dan ditargetkan selesai tahun 2060. Dalam perencanaan, total investasi tersebut akan difasilitasi pihak swasta dan tidak ditargetkan menggunakan APBN/APBD,” terang Christy dalam rilis perusahaan.
Said Didu, mantan Sekretaris Kementerian BUMN yang belakangan menyoroti PIK, tak percaya PSN PIK 2 hanya seluas 1.755 hektare atau 17,5 km². Menurutnya, jika hanya seluas itu, maka proyek PIK 2 tak akan lebih luas dari Kecamatan Kosambi yang memiliki luas 2.900 hektare. Nyatanya, dari hasil penelusuran di lapangan, proyek PSN PIK 2 telah sampai di Kecamatan Kronjo.
Sebelum menjadi PSN, kata Said, kawasan Kronjo merupakan PIK 9 dan Teluknaga adalah PIK 3. Tetapi setelah mendapat status PSN, seluruhnya berubah menjadi PIK 2.
“Jelas-jelas plangnya PIK 2. [Klaim kawasan PSN hanya 1.755 hektare] itu hanya cara agar seakan-akan tindakan di luar 1.755 hektare itu bukan [dilakukan] PIK 2. Padahal faktanya PIK 2 semua itu sampai ke Serang. Jangan kita dibodohi,” ucap Said.
Jika mengikuti garis pantai utara Tangerang yang berkelok-kelok, menurut Said, bentang panjang pengembangan PSN PIK 2 bisa mencapai 80 km dengan luas 100.000 hektare. Luas tersebut melebihi luas Singapura (77.000 hektare), Jakarta (66.000 hektare), dan kawasan inti IKN (56.000 hektare).
Menguatkan dugaan itu, Ombudsman Banten juga mendapat laporan bahwa pembebasan lahan PSN PIK 2 mencapai perbatasan Serang.
“Kalau tidak salah, [pembebasan lahan] itu sampai ujung Kabupaten Serang,” kata Kepala Perwakilan Ombudsman Banten Fadli Afriadi kepada kumparan, Jumat (12/7).
Tanah Warga Dihargai Rendah
Sorotan tajam terhadap PSN PIK 2 juga terkait harga tanah yang dibeli pengembang. Sebagian warga menilai harga yang ditawarkan terlalu rendah, yakni sekitar Rp 50 ribu per meter.
Dalam rilis Ombudsman Banten saat berkunjung ke Kecamatan Mauk pada Mei lalu, Kepala Seksi Pemerintahan Mauk Ahdiyatul Hijah menyatakan bahwa pemerintah desa sering menerima keluhan masyarakat terkait pembebasan lahan untuk PSN PIK 2.
“Yang dikeluhkan terkait harga yang ditawarkan pengembang dan pengurukan lahan warga yang belum dilakukan jual beli,” ujar Ahdiyatul.
Tak cuma di Kecamatan Mauk, harga tawar rendah juga dialami warga Kronjo dan Kemiri. Eni, seorang penggarap sawah di Kronjo, bercerita majikannya sudah didorong-dorong untuk menjual tanah Rp 50 ribu per meter.
Namun, sang majikan yang pemilik lahan belum mau melepas karena sawah itu produktif dan satu-satunya sumber mata pencahariannya. Terlebih, lokasi sawah yang tak jauh dari jalan raya membuatnya bernilai strategis.
Seorang warga di sekitar Pulau Cangkir, Edi, menyebut lahan tambak di wilayahnya hampir semua sudah dibeli pengembang PIK 2. Ia mendengar bahwa Pulau Cangkir akan dijadikan terminal peti kemas.
Sugeng, aparat desa di Kronjo, tak menampik lahan warga di wilayahnya hanya dihargai Rp 50 ribu per meter. Menurutnya, warga memilih menjual tambak dan sawah mereka karena sudah tidak produktif. Hasil produksi tambak bandeng turun beberapa tahun terakhir, sedangkan sawah di sana merupakan sawah tadah hujan.
Lagipula, kata Sugeng, harga Rp 50 ribu per meter sudah sedikit di atas sedikit Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) di kawasannya yang sebesar Rp 48 ribu per meter. Nilai tersebut berlaku untuk semua sertifikat sekalipun sudah SHM.
Sugeng menjelaskan, NJOP di Kronjo memang sempat naik dua kali lipat pada 2023 menjadi Rp 103 ribu per meter. Tetapi kenaikan itu hanya bertahan enam bulan karena menurutnya warga keberatan.
Dampak kenaikan NJOP adalah naiknya Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang harus dibayar warga, padahal hasil tambak dan sawah mereka tidak maksimal.
Pada akhirnya, atas permintaan warga dan Asosiasi Pemerintahan Desa (Apdesi) kepada Pemkab Tangerang, NJOP pada 2024 dikembalikan seperti semula.
kumparan telah meminta konfirmasi kepada Pemkab Tangerang melalui surat yang ditujukan kepada Pj Bupati Tangerang Andi Ony Prihartono, namun belum direspons hingga berita ini diturunkan.
Ombudsman Banten menyatakan NJOP bukanlah penentu harga tanah, melainkan penentu besaran pajak.
“Pemerintah saja tidak menggunakan NJOP, tapi [jasa] appraisal untuk pengadaan jalan tol,” kata Fadli.
Menurutnya, cara menentukan harga tanah dengan jasa appraisal seharusnya juga dilakukan dalam pembebasan lahan PSN PIK 2. Apalagi proyek ini dikomandoi pihak swasta yang seharusnya dalam kesepakatan harga justru lebih baik dibanding pemerintah.
“Prinsip dasarnya: masyarakat terdampak harus mendapat penghidupan lebih baik. Kalau sawah misal dibebaskan 1.000 meter persegi, warga harus dapat sawah pengganti 1.000 meter persegi, kalau bisa malah lebih luas. Tapi [yang terjadi] ini kan nggak begitu—kalau benar harganya seperti yang muncul di publik (Rp 50 ribu/m²),” kata Fadli.
Fadli meminta kepada masyarakat yang merasa dirugikan atas pembebasan lahan mereka untuk tidak takut melapor ke Ombudsman. Terlebih Pasal 1 ayat (1) Perpres Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional menyebut bahwa proyek yang mendapat status PSN harus meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
“Kami butuh informasi dari masyarakat yang lebih klir. Saya enggak tahu kenapa sampai hari ini masyarakat belum melapor. Apakah masyarakat frustrasi, tertekan, atau apa. Kami masih mengkaji semua potensi,” ucap Fadli.
Pengamat kebijakan publik lulusan George Washington University, Agus Pambagio, menyebut bahwa bila benar NJOP diturunkan agar tanah rakyat bisa dibeli murah, itu adalah kebijakan yang kejam.
“Biadab betul,” kata Agus yang pernah duduk sebagai anggota Komite Kebijakan Publik Kementerian Perhubungan.
Sementara soal ganti rugi Rp 50 ribu per meter disebut Said Didu sangat merugikan masyarakat, sebab harga sawah produktif tidak ada yang di bawah Rp 500 ribu per meter.
“Di kampung saya saja di Sulsel harganya Rp 1 juta per meter. Di sini kok Rp 50 ribu per meter? Padahal nanti tanahnya dijual [pengembang] rata-rata Rp 30 juta per meter. Betapa rugi rakyat,” kata dia.
Di sisi lain, Haris Azhar selaku konsultan hukum Agung Sedayu Group menyatakan harga yang ditawarkan adalah harga pasar.
Jika ada yang tidak setuju dengan harga tersebut, tak masalah. Menurut Haris, justru tak sedikit warga yang mendatanginya untuk meminta agar tanah mereka dibeli.
“Kebanyakan orang clash karena ingin harga lebih [tinggi]. Kalau ada yang mau pertahankan tanahnya, ya pertahankan saja. Nggak dijual, nggak apa-apa. Nggak ada yang paksa-paksa. Kalau merasa dipaksa, buktikan; batalkan pembeliannya. Kalau ada yang dirugikan, datang ke saya; saya bantuin,” kata Haris.
Menurut Haris, pihak-pihak yang melayangkan protes perkara harga tak jarang adalah makelar tanah yang memanfaatkan keadaan, bukan warga setempat.
Evaluasi Status PSN PIK 2
Agus Pambagio memandang, berbagai kontroversi seputar PIK 2 muncul karena statusnya sebagai PSN. Menurut Agus, status PSN seharusnya diberikan ke daerah yang masyarakatnya belum sejahtera.
Ia pun menduga status PSN diberikan ke PIK 2 karena bos Agung Sedayu, Sugianto Kusuma alias Aguan, membantu pembangunan IKN.
Agus mengusulkan pemberian status PSN ke PIK 2 dievaluasi bahkan dicabut. Saran serupa disampaikan Said Didu, sebab PSN PIK 2 yang menggusur sawah-sawah produktif tidak masuk akal sementara pada saat yang sama pemerintah kekurangan lahan pertanian.
Alasan lain, menurut Said, keberadaan PSN PIK 2 yang ekspansif bisa mengancam bangsa.
“Lahirnya enclave yang menjadi negara itu banyak. Contoh nyatanya Singapura yang lepas dari Malaysia. Nah, dengan sistem demokrasi Indonesia, siapa yang punya uang bisa menguasai.”
“Terbayang kalau semua orang kaya bersatu menyogok para politisi dan menyatakan kami ingin daerah khusus, otonom bebas, bahkan ujung-ujungnya merdeka,” ujar Said.
Di lain pihak, Haris menilai bahwa secara hitungan bisnis, status PSN justru merugikan perusahaan karena sebagian keuntungan berpotensi diambil negara.
“Apa untungnya orang bisnis yang punya perencanaan pembiayaan tiba-tiba disisipin sama negara. Itu untung apa rugi? Kalau saya menyimulasikan, negara cemburu sama PIK karena Sabtu-Minggu nggak ada [wisatawan] yang ke Ancol; ramean orang ke PIK daripada Ancol,” kata Haris.
Adapun Sesmenko Perekonomian Susiwijono Moegiarso mengatakan evaluasi lengkap PSN akan dilakukan pertengahan minggu ini.