Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Sampah bertebaran di sepanjang jalan Desa Kertarahayu, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat. Betul-betul tak sedap dipandang. Mulai dari kebun pisang, pematang sawah, lahan kosong, jurang, hingga pekarangan rumah warga, semua diseraki timbunan sampah.
Ironisnya, sampah-sampah itu berasal dari negeri asing. Mereka diselundupkan ke Indonesia lewat akal-akalan impor limbah kertas sebagai bahan baku brown paper—kertas berwarna cokelat yang dianggap ramah lingkungan karena diproses tanpa campuran kimia sehingga lebih mudah terurai dibanding kemasan plastik.
Pendeknya, Desa Kertarahayu diserbu sampah impor . Sampah-sampah asal luar negeri itu gampang dikenali. Mereka teronggok terpisah-pisah, tak terikat dalam satu buntelan kantong plastik besar seperti sampah lokal. Sampah-sampah impor itu juga terlihat kering, tak berbau, dan tak dihinggapi lalat. Amat berbeda dengan sampah lokal yang lebih berbau dan basah karena tercampur sisa-sisa makanan.
Bila dilihat lebih dekat, sampah-sampah impor itu terdiri dari kemasan plastik bertuliskan merek-merek asing yang tak dipasarkan di Indonesia. Sebagian kemasan itu masih utuh dan mencantumkan negara asal pembuatnya, semisal Amerika Serikat, Australia, Inggris, Italia, Rumania, dan negara-negara Eropa lain.
Pertengahan Juni 2019, Indonesia mengembalikan lima kontainer limbah kertas ke Seattle, Amerika Serikat, karena tercampur berbagai macam sampah. Kontainer-kontainer itu masuk ke Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya, sebelum ditendang balik ke Negeri Paman Sam.
Itu baru satu dari sekian banyak kasus penyelundupan sampah dan limbah berbahaya lewat jalur laut ke berbagai pelabuhan di Indonesia.
Di Desa Kertarahayu, puluhan truk sampah datang beriringan pada malam hari. Mereka berhenti berjejer di sepanjang jalan kampung. Di tepi jalan, warga sudah menanti. Mereka membawa karung-karung kosong dan mengikat senter di kepala sebagai alat penerangan.
Warga siap berebut sampah untuk kemudian dipilah-pilah sampai pagi. Sampah yang bisa dijual kemudian disisihkan. Jika beruntung, warga bahkan bisa menemukan uang dolar atau kalung-gelang emas terselip di antara timbunan sampah.
Ketika hari telah terang, pengepul sampah akan berkeliling ke rumah warga membawa timbangan. Ia mengendarai truk untuk mengangkut sampah-sampah yang dibeli dari warga.
Sampah-sampah itu punya sebutan khas di Kertarahayu. Penduduk setempat menjulukinya “Sampah Fajar”. Bukan karena ia datang ketika fajar menjelang, tetapi karena ia—menurut warga dan bekas sopir truk di sana—berasal dari pabrik kertas Fajar Surya Wisesa atau FajarPaper yang berbasis di Bekasi. FajarPaper yang berdiri sejak 1988, diakuisisi oleh Siam Cement Group asal Thailand pada Mei 2019.
“Setiap hari bisa 20 sampai 30 truk sampah baris di sini,” kata Septi, warga Kertarahayu yang sering ikut berebut sampah.
Setelah berebut sampah pada malam hari, pagi harinya warga membakar sampah-sampah yang tak laku dijual di halaman-halaman rumah mereka. Alhasil, jalanan kampung sesak oleh asap hitam membubung hasil pembakaran sampah plastik.
“Warga yang tidak setuju dengan kedatangan sampah impor ini tidak bisa berbuat banyak karena uang mengalir dari sampah-sampah itu,” ujar seorang warga yang mengantar kumparan berkeliling ke sejumlah desa di Kabupaten Bekasi, Jumat (28/6). Ia meminta namanya tak disebutkan.
Sampah Fajar menyebar dari Bekasi sampai Karawang. Gundukan tingginya terlihat tepat di sebelah kantor Desa Tamansari, Kecamatan Pangkalan, Kabupaten Karawang. Tumpukan-tumpukan sampah itu juga berserakan hingga ke jalan-jalan di kampung.
“Empat puluh persen (sampah ini) tidak bisa dijual. Sisa sampahnya dijadikan bahan bakar di lio (tungku pembakaran batu kapur),” kata Ade Junaedi, warga Desa Tamansari yang lahannya digunakan sebagai tempat pembuangan sampah impor sebelum sampah-sampah itu diangkut ke lio untuk dibakar.
Ade sudah setahun lebih menjadi pengusaha sampah. Sampah-sampah yang teronggok di lahannya dia ambil dari dua tempat—pabrik kertas Fajar Surya Wisesa di Bekasi dan pabrik kertas Pindo Deli 3 di Karawang.
“Dari Fajar sudah setahun lebih, dari Pindo Deli 3 baru dua bulan,” kata Ade kepada kumparan di kediamannya, Senin (1/7).
PT Fajar Surya Wisesa, ketika dihubungi kumparan, tidak bersedia memberikan keterangan. Pegawai kantor pusat FajarPaper mengatakan hanya mengurusi pencatatan ekspor dan impor, sedangkan pegawai pabrik di General Affair, Human Resources, sampai Legal Department menyebut tak dapat menyambungkan kumparan ke manajer atau direktur pabrik. Mereka pun menyatakan tak punya humas untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan wartawan.
Sementara Humas Pindo Deli, Andar Harihoan, membenarkan sampah impor mereka jatuh ke tangan warga. Namun menurutnya, Pindo Deli tak melakukan jual beli langsung dengan warga.
“Sesuai dengan aturan dan komitmen Sinar Mas (induk perusahaan Pindo Deli), kami tidak membuang sampah ke sungai atau membuang sampah ke masyarakat. Kami pakai vendor. Tapi ternyata (entah) apakah karena volume (sampah)nya besar, membuat mereka (vendor) kewalahan,” kata Andar kepada kumparan di Karawang, Selasa (2/7).
“Dan itu bukan sampah B3 (bahan berbahaya dan beracun). Lalu apa salahnya sih sebetulnya?” imbuhnya.
Ia menjelaskan, perusahaannya masih perlu mengimpor kertas bekas campuran karena harganya lebih murah dibanding sampah kertas yang tersedia di dalam negeri. Pindo Deli mengimpor mixed paper sejak Januari 2019 dari Amerika Serikat, Australia, dan Selandia Baru. Namun, impor kemudian disetop pada Mei 2019 karena ketiadaan Izin Lingkungan dan Surat Keputusan Kelayakan Lingkungan Hidup (SKKLH) dari Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Karawang.
Setiap harinya, tak kurang dari 40 truk hilir mudik ke pekarangan rumah Ade. Namun sejak akhir Mei, aktivitas itu terhenti. Pada saat yang sama, aktivitas produksi PT Pindo Deli 3 disetop oleh Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Karawang.
Bukan karena perkara penyelundupan sampah impor atau jual beli sampah, melainkan karena ketiadaan SKKLH seperti telah disinggung di atas. Nantinya, jika sudah mengantongi SKKLH, Pindo Deli yang berlabel industru hijau ramah lingkungan itu dapat kembali berproduksi.
“Kata pegawai Pindo Deli, (sampah) bakal keluar setelah keadaan tenang,” ujar Andi, tetangga sebelah rumah Ade yang tak tergiur oleh penghasilan dari sampah impor.
Andi bercerita, obrolan warung kopi antarwarga pengusaha sampah menyebut bahwa Pindo Deli akan mulai mengirim sampah lagi ke warga sekitar tanggal 9 Juli, pekan ini. Penduduk yang berbisnis sampah di Tamansari biasanya berhubungan langsung dengan penyuplai sampah dari pabrik.
Jalur Hijau Sampah Beracun
Pengembalian lima kontainer limbah kertas yang tercampur sampah dari Tanjung Perak, Surabaya, tak menghentikan aliran sampah impor . Di Pelabuhan Batu Ampar, Batam, sebanyak 38 dari 65 kontainer limbah plastik impor terbukti terkontaminasi bahan berbahaya dan beracun (B3). Sementara 11 kontainer lainnya terkontaminasi berbagai macam sampah, plastik, popok, jarum suntik, sampah selang infus.
Kontainer-kontainer yang mengandung limbah B3 dan limbah plastik itu sedang diproses untuk dikembalikan ke negara asalnya.
“Proses reekspor akan dilakukan paling lama 90 hari semenjak kedatangan barang. Biayanya akan ditanggung oleh importir yang bersangkutan,” ujarnya Kasubdit Komunikasi dan Publikasi Bea Cukai, Deni Surjantoro, kepada kumparan, Kamis (4/7).
Penemuan 65 kontainer sampah impor di Batam dan 5 kontainer lainnya di Surabaya adalah muara dari praktik impor limbah non-Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) yang masih dilakukan oleh industri kertas dan pengolahan daur ulang sampah di Indonesia.
Ya, impor sampah nyatanya memang diperbolehkan. Aktivitas impor kertas bekas diatur lewat Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 31 Tahun 2016 tentang Ketentuan Impor Limbah Non Bahan Berbahaya dan Beracun.
Berdasarkan regulasi itu, tipe limbah yang bisa diimpor dibedakan menjadi dua kategori, yakni A dan B. Kategori A merupakan limbah kertas yang diperiksa oleh surveyor—perusahaan di bidang inspeksi; sedangkan Kategori B terdiri dari limbah plastik yang harus diperiksa oleh Dirjen Bea dan Cukai.
Pada titik ini, aturan impor limbah kertas memiliki celah penyelundupan sampah. Pertama, permohonan izinnya tak memerlukan rekomendasi dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), tetapi langsung dari Kementerian Perdagangan.
Kedua, pemeriksaan impor limbah kertas melalui jalur hijau yang tak memerlukan inspeksi menyeluruh dari Ditjen Bea dan Cukai. Pengecekan hanya melalui proses verifikasi dan penelusuran teknis, sebelum limbah dikapalkan ke Indonesia oleh surveyor yang ditunjuk Kementerian Perdagangan selaku regulator, yakni Surveyor Indonesia (SI) dan Superintending Company of Indonesia (SUCOFINDO) yang keduanya merupakan BUMN.
SI dan Sucofindo bergabung dalam bentuk kerjasama organisasi (KSO) Sucofindo-SI untuk melakukan kerja inspeksi.
Maka, satu-satunya filter pada impor limbah kertas di Kategori A adalah surveyor, baik SI maupun SUCOFINDO. Ia mesti memastikan limbah yang diimpor ke Indonesia tidak beracun, tidak berbahaya, dan tidak terkontaminasi sampah.
Masalahnya, pada praktiknya surveyor hanya menginspeksi 10 persen dari total muatan, meski mereka lalu berencana meningkatkan inspeksi muatan menjadi 100 persen.
Sejumlah sumber kumparan di kalangan industri dan lingkaran pemerintah menyebut, Menko Luhut Binsar Panjaitan sempat geram dengan proses inspeksi oleh surveyor yang menyisakan celah penyelundupan tersebut.
SUCOFINDO yang dihubungi kumparan menolak berkomentar dan menyerahkan persoalan kepada Kemendag. Sementara sejumlah pejabat Kemendag, mulai dirjen hingga irjen, mengatakan tak bisa merespons pertanyaan kumparan karena sedang dinas ke luar negeri.
Secara terpisah, Manajer Kampanye Energi dan Perkotaan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Dwi Sawung mengatakan, surveyor memang punya peran penting dalam menginspeksi limbah yang diimpor ke Indonesia.
“Kalau dia betul-betul menyurvei, kan nggak mungkin lolos itu kontainer berisi sampah,” ujar Sawung, Senin (14/6).
Permendag 31/2016 tak mengatur sanksi bagi surveyor yang tidak melaksanakan inspeksi secara teliti. Di sisi lain, perizinan impor limbah non-bahan berbahaya dan beracun (B3) dapat dicabut jika importir melanggar regulasi, semisal terbukti memperdagangkan limbah non-B3 kepada pihak lain, dan tidak melakukan reekspor limbah yang mengandung B3.
Importir limbah beracun juga dapat dijerat lewat aturan lain, di antaranya UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan serta UU Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah.
“Sampah maupun limbah B3 tidak boleh masuk ke wilayah NKRI. Itu sudah secara tegas diatur,” kata Direktur Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah, dan Bahan Berbahaya dan Beracun KLHK, Rosa Vivien Ratnawati, kepada kumparan di kantornya, Jumat (5/6).
Regulasi dan realita memang kerap tak sinkron. Sebab, sampah impor plastik masih saja ditemukan di tengah permukiman warga. Untuk itu KLHK mendorong revisi Permendag 31/2016, antara lain dengan menghapus frasa “dan lain-lain” pada klausul pos tarif (HS Code) impor limbah non-B3.
Frasa “dan lain-lain” pada Permendag 31/2016, menurut Vivien, menjadi celah masuknya campuran sampah dan limbah yang tak dapat didaur ulang. Padahal, tegasnya, “Kami ingin barang yang masuk itu benar-benar bersih tidak tercampur sampah limbah.”
Margaretha Quina, Kepala Divisi Pengendalian Pencemaran Lingkungan Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), mengusulkan penghentian sementara impor sampah plastik sebelum Konvensi Basel diratifikasi Indonesia pada 2020 mendatang.
Konvensi Basel ialah rancangan regulasi prakarsa Perserikatan Bangsa-Bangsa soal pengetatan pengawasan pembuangan limbah beracun berikut turunannya.
“Rekomendasi kami yang utama: moratorium impor sampah plastik,” ujar Margaretha.