Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
ADVERTISEMENT
Pengaruh Tuan Guru Bajang Zainul Majdi di Nusa Tenggara Barat sulit disangkal.
ADVERTISEMENT
Buktinya, ia berhasil memenangkan 72,45 persen suara di NTB untuk Prabowo-Hatta pada 2014, lalu sukses mendudukkan Zulkifliemansyah-Siti Rohmi yang mengusung jargon “Melanjutkan Ikhtiar TGB” sebagai penerusnya, serta 10 tahun berada di singgasana nomor satu NTB. Sepuluh tahun kepemimpinan yang sarat prestasi.
Tidak berlebihan jika banyak pengamat mengatakan: titahnya ampuh memengaruhi pemilih di NTB. Di kampung halamannya, sang putra Pancor sangat disegani karena rekam jejak kepemimpinan pun kharismanya sebagai tokoh agama.
“TGB sebagai tokoh di daerah bisa memengaruhi pilihan masyarakat NTB,” tutur Kadri, pengamat politik Universitas Islam Negeri Mataram, kepada kumparan, Rabu (11/7). Ia menjelaskan, “Ketika TGB sudah ngomong, maka Tuan Guru-Tuan Guru dan kiai yang lain juga akan mengikuti.”
ADVERTISEMENT
Latar belakangnya sebagai cucu dari K.H. Muhammad Zainuddin Abdul Madjid, pendiri Nahdlatul Wathan (NW)--ormas Islam paling berpengaruh di NTB, kian memperkuat pengaruh TGB. NW, organisasi Islam tertua di NTB, ini memiliki jaringan hingga ke pelosok desa termasuk di kalangan transmigran dan perantau.
TGB juga dikenal sebagai penghafal Al-Quran, menyelesaikan gelar sarjana hingga doktornya di Universitas Al Alzhar Mesir, dan kini menjadi Ketua Organisasi Internasional Alumni Al-Azhar Cabang Indonesia. Itu semua menurut Direktur Eksekutif Indo Barometer Muhammad Qodari membuat “kredensialnya TGB sebagai ulama itu amat sangat kuat.”
Selain reputasinya besarnya sebagai ulama, TGB juga membuktikan dirinya sebagai pemimpin dua periode di NTB. Penurunan angka kemiskinan dan pengangguran, peningkatan pariwisata, sederet pembangunan baik dari segi SDM maupun infrastruktur, mengganjarnya dengan sejumlah penghargaan.
ADVERTISEMENT
"TGB menjalankan peran sebagai ulama yang memberi pencerahannya kepada masyarakat dan di saat bersamaan dia menyerap aspirasi masyarakat dalam program-program strategis yang ada di provinsi,” ujar Kadri.
Pengaruh ketokohannya di tingkat lokal boleh jadi mumpuni, namun apakah ia cukup patut diperhitungkan di tingkat nasional? Apa tujuan di balik pernyataan dukungannya untuk Joko Widodo ?
Berikut beberapa analisis para pengamat yang telah dirangkum kumparan. Mulai dari Kadri, pengamat politik UIN Mataram; Siti Zuhro dan Wasisto Raharjo Jati dari LIPI; serta Muhammad Qodari, Direktur Eksekutif Indo Barometer.
Menurut Anda, mengapa Tuan Guru Bajang memilih mendukung Jokowi?
ADVERTISEMENT
Qodari: Menurut saya, dia tersentuh karena Jokowi sering ke NTB dan dia merasa Jokowi sebagai presiden punya perhatian yang sungguh-sungguh kepada daerahnya. Ada program-program yang diperkuat oleh pemerintah Jokowi di sana, seperti Kawasan Ekonomi Khusus Mandalika.
Jadi, mungkin dari segi kebijakan dan perhatian pemerintah pusat membuat TGB secara personal merasa tersentuh. Dia juga melihat itu sebagai suatu hal yang harus dihargai.
Jika nanti soal ada peluang jabatan dan semacamnya, ya wajar-wajar saja karena TGB sudah menyelesaikan periode keduanya sebagai kepala daerah. So, what’s next-nya itu.
Menurut saya ini tren yang bagus kalau ada tokoh-tokoh yang sukses dan berhasil di daerah kemudian direkrut di tingkat nasional.
Siti Zuhro: Banyak faktor, saya melihat lebih personal, lebih individual alasannya.
ADVERTISEMENT
Pertama memang bakat jadi kutu loncat, cenderung pindah dari satu partai ke partai lainnya. Secara umum yang saya pahami, kutu loncat itu cenderung punya obsesi tentang dirinya di politik, biasanya oportunistik. Dia melihat peluang-peluang yang belum tentu menguntungkan dirinya.
TGB Zainul Majdi sempat menjadi anggota DPR RI 2004-2009 dari Partai Bulan Bintang (PBB). Pada 2008, TGB maju menjadi Gubernur NTB diusung oleh PBB dan PKS. Pada 2011, ia masuk Partai Demokrat dan menjadi Ketua DPD Demokrat NTB.
Kedua, merasa dizalimi partai atau merasa partai sewenang-wenang dengan menutup peluang karier kader yang dianggap menonjol.
Ketiga, karena merasa partai tak sesuai dengan keinginannya. Dia lebih ada perasaan dissapointed, sementara dia elite di Demokrat. Inikan (TGB) sudah menunjukkan dua kali (ketidaksesuaiannya) ke partai, lalu sekarang secara tidak langsung dia akan vis a vis.
ADVERTISEMENT
Pada 2014, ketika Demokrat memilih netral dalam pemilihan presiden, TGB menjadi ketua pemenangan Prabowo-Hatta di NTB. Kini, saat Demokrat belum menentukan arah koalisinya, TGB yang juga anggota Majelis Tinggi Partai Demokrat telah menyatakan dukungannya untuk Joko Widodo.
Wasisto: Yang beliau katakan sebelumnya kan soal percepatan pembangunan, Kawasan Ekonomi Khusus Mandalika, itu kan semacam alasan normatifnya ya. Namun kita juga belum melihat ada alasan lain yang belum terungkap sebenarnya. Misalnya saja, peluang TGB untuk naik ke pentas nasional.
Kita tahu bahwa sekarang ini sedang tren tokoh daerah menyerbu pusat kan. Karena itu menjadi jalan pintas untuk membangun daerahnya sendiri juga.
ADVERTISEMENT
Apakah dukungan TGB cukup berpengaruh untuk Jokowi?
Qodari: Menurut saya TGB salah satu tokoh yang punya nama, mempunyai pengaruh sebagai opinion maker. Di NTB, kekuatannya itu ada dua.
Pertama dia adalah cucunya pendiri NW (Nahdlatul Wathan--organisasi Islam terbesar dan tertua di NTB), pengikutnya sangat banyak. Posisi TGB di NW itu kira-kira seperti Gus Dur di NU. Kalau Gus Dur skala nasional, kalau TGB ini skala lokal.
Kedua adalah sebagai kepala daerah yang terbilang berhasil selama dua periode. Saya yakin banyak yang mengikuti dan menjadikan TGB sebagai referensi, sikap politik TGB berpengaruh di tingkat lokal NTB.
Tapi mengenai pengaruhnya di tingkat nasional saya kira ada, cuman seberapa luas tentu harus kita cek lagi, lihat hasil survei.
Wasisto: Saya pikir TGB ini kan mewakili suara umat Islam kan ya. Maksud saya, beliau ini kan menjadi semacam lem perekat antara kalangan Islam konservatif dan moderat sebenarnya. Itu model yang pertama.
ADVERTISEMENT
Yang kedua, beliau ini sekiranya mewakili kawasan luar Jawa. Kita tahu selama ini formulasi kepemimpinan nasional itu selalu didominasi paradigma kepemimpinan Jawa-luar Jawa. Menurut saya itu penting dalam menjaga kesimbangan kekuasaan.
Yang ketiga, figur TGB ini kan punya potensi elektabilitasnya naik. Sebagai seorang ulama dan juga seorang cendekiawan, beliau mampu menarik simpati. Tidak hanya bagi umat Islam saja, tapi juga kalangan non-muslim. Kita tahu bahwa TGB mampu mengonsolidasikan beberapa kalangan di NTB, meskipun ada cacat di kasus Ahmadiyah.
Hari ketiga Ramadhan, puluhan orang penganut Ahmadiyah dipersekusi. Beberapa rumah dan kendaraan bermotor penganut Ahmadiyah dirusak sekelompok warga. Meski tak ada korban jiwa, mereka terpaksa dievakuasi di Polres Lombok Timur.
ADVERTISEMENT
Saya kira kharisma TGB masih bersifat lokal saja. Maksud saya kharisma Tuan Guru itu belum mampu meyakinkan umat Islam di Jawa atau bagian lain indonesia.
TGB itu kan hanya memainkan simbol yang selama ini kosong dimainkan kalangan umat Islam lain. Pasca-Cak Nur, misalnya, belum ada lagi sosok cendekiawan muslim moderat yang muncul ke tingkat pusat yang sekiranya mampu menjadi corong Islam moderat.
Kadri: Ya pasti berpengaruh signifikan. Kalau pun sekarang ada hiruk pikuk dari kelompok-kelompok lain yang pro-kontra itu biasa. Tapi akan berbeda ketika TGB memberikan reasoning dan keputusan resminya nanti.
ADVERTISEMENT
Di NTB ini masih didominasi pemilih-pemilih yang paternalistik. TGB sebagai tokoh di daerah ini pasti akan memengaruhi elektabilitas pilihan masyarakat NTB.
Karakter pemilih di NTB masih mendengar dan taat dengan TGB, karena TGB kan punya Tuan Guru-Tuan Guru lagi di bawahnya. Ketika TGB sudah ngomong gitu, maka Tuan Guru-Tuan Guru dan kiai yang lain juga akan mengikuti.
Dan menurut saya bukan hanya NTB. TGB kan sudah diterima di mana-mana, sehingga keberadaan TGB di kubu Jokowi itu menurut saya sangat signifikan pengaruhnya.
Apa mungkin TGB merupakan kandidat potensial cawapres Jokowi?
Qodari: Mungkin saja ya, walaupun saya lihat kemungkinannya agak kecil karena TGB itu datang dari provinsi yang kecil. Jadi kalau kita bicara hitungan elektoral, kecil jumlahnya. Tapi karena dia ulama, kemungkinannya (terpilih) tetap besar, tetap terbuka.
ADVERTISEMENT
Kedua karena dia latar belakangnya Partai Demokrat, itu mungkin jadi kendala juga. Kita tahu bahwa bagaimana pun posisi wakil presiden itu pasti harus mendapatkan persetujuan dari Ibu Mega, PDIP. Dan kita tahu hubungannya banteng dengan mercy ini kan kurang begitu bagus.
Nah saya kira itu menjadi kendala buat TGB, untuk posisi wakil presiden. Tetapi kalau nanti masuk jajaran kabinet akan sangat-sangat mungkin.
Kadri: Dia politisi yang memiliki karakter yang ulama, dalam arti prinsip-prinsip politik dan keputusan-keputusan politik yang diambil oleh TGB saya lihat tidak mungkin bertentangan dengan nilai-nilai dan esensi dasar keagamaan, keislaman yang dianut.
Ketika misalnya ada kelompok yang begitu kanan memaknai kontestasi politik Pilpres ini seperti sebuah perang, TGB begitu lantang menyuarakan, 'Ini bukan perang, ini sebuah kompetisi yang fastabiqul khairat (berlomba dalam kebaikan)’.
ADVERTISEMENT
Ini luar biasa kontribusi TGB dengan statement itu terhadap posisi Jokowi yang selama ini selalu diposisikan lawan oleh kelompok-kelompok yang mengklaim dirinya mewakili umat. Ketika TGB mencoba mencairkan pemahaman-pemahaman itu banyak pula orang yang sadar.
Sehingga menurut saya kalau Jokowi dan partai koalisi sadar tentang hal itu, saya kira kontribusi TGB tidak cukup saat di kontestasi ini saja . Ketika Jokowi memimpin, kontribusi TGB itu tetap harus diharapkan.
Kontribusi yang paling baik, ketika dia bisa mendampingi Jokowi sebagai cawapresnya. Jadi Jokowi yang nasionalis, didampingi oleh TGB yang religius.
ADVERTISEMENT
------------------------
Ikuti aksi Guru Bajang Menyeberang di Liputan Khusus kumparan.