Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Thrifting dan Solusi Limbah Fashion yang Mengkhawatirkan
28 Februari 2023 16:56 WIB
·
waktu baca 4 menitADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
"Karena murah dan walaupun barangnya secondhand tapi masih layak pakai. Sebelumnya sih karena emang murah aja, tapi semakin kesini ketemu berita kalau beli barang thrift itu bisa mengurangi limbah juga, jadi ya sekalian haha," kata pelaku thrifting, Wildan, kepada kumparan, Selasa (28/2).
Lantas, apakah thrifting bisa jadi solusi dalam menangani limbah fashion yang saat ini jumlahnya sangat mengkhawatirkan?
Limbah Fashion Mengawatirkan
Awal kepopuleran thrifting terjadi di masa-masa revolusi industri pada abad ke-19. Saat itu, produksi massal dalam bidang fashion jumlahnya semakin tak terkendali atau yang saat ini dikenal dengan industri fast fashion.
Industri ini kerap mendapatkan kritikan dari penggiat lingkungan, lantaran turut meningkatkan limbah tekstil yang jumlahnya semakin melebihi ambang batas. Problematika fast fashion memang tak dapat dipungkiri, produksi pakaian massal dengan waktu yang cepat ini dilakukan untuk menekan biaya produksi. Salah satu caranya adalah menggunakan bahan berkualitas rendah dengan tujuan pakaian yang diproduksi itu tidak akan bisa bertahan lama.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan data dari labfresh.eu tahun 2020, Italia menjadi negara dengan penghasil limbah tekstil tertinggi. Dalam setahun mereka menghasilkan sampah fashion sebesar 465.925 ton. Disusul dengan Jerman dengan besaran limbah sebanyak 391.752 ton. Kemudian, Prancis dengan jumlah 210.001 ton limbah plastik.
Dari banyaknya limbah fashion yang tersebar di berbagai negara tersebut, UN Conference of Trade and Development (UNCTD) 2019 juga mengungkapkan fashion menjadi industri paling berpolusi kedua di dunia setelah industri perminyakan. Sepuluh persen dari emisi karbon yang memengaruhi krisis iklim dihasilkan dari industri fashion.
Tak cuma itu, jumlah emisi karbon dari industri fashion juga lebih besar daripada total emisi yang dihasilkan dari gabungan industri jasa pengiriman dan penerbangan. Ini berarti industri fashion berperan besar dalam mendorong terjadinya perubahan iklim.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan United Nations Climate Change News (2019), sektor fashion telah menghasilkan 10 persen emisi gas rumah kaca. Menurut statistik dari tahun 2018, industri fashion menghasilkan 2,1 miliar ton CO2eq atau setara dengan 4 persen dari emisi karbon di seluruh dunia.
Tingkat Impor Baju Bekas di Indonesia
Eksposur media sosial menambah kepopuleran fenomena thrifting di Indonesia. Jika melihat era usai revolusi industri, konsep thrifting semakin berkembang saat krisis ekonomi melanda dunia pada 1920-an. Thrifting sebagai alternatif mendapatkan pakaian layak pakai, tanpa harus membeli pakaian dengan produksi baru yang harganya jelas lebih mahal ketimbang pakaian bekas.
Segmen pembeli di thrift shop memang paling banyak datang dari kalangan masyarakat menengah. Sementara, masyarakat kelas atas menjadikannya sebagai medium untuk berdonasi.
ADVERTISEMENT
Goodwill Industries menjadi salah satu thrift shop terbesar di Amerika pada saat itu. Sebelumnya, pakaian hasil thrifting sempat mendapatkan stigma sebagai pakaian "sampah" atau "junk shop". Namun, pergeseran makna pun terjadi, label tersebut berubah menjadi "a different approach to charity"'.
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, peran media sosial sangat mempengaruhi bagaimana cepatnya popularitas thrifting di Indonesia. Wildan mengaku sudah lama mengandalkan thrifting untuk membeli sebagian besar pakaiannya, selain karena terlihat vintage, ia juga menyukai style dari baju-baju tersebut.
"Kalau dibilang punya fashion sendiri kayanya iya rata-rata itu kan barang lemparan dari luar negeri dan dari Amerika, jadi keliatan dari sizing-nya yang gombrong atau oversize," jelas Wildan.
ADVERTISEMENT
"Lebih ke model yang bagus dan cocok dipake sih (dalam memilih), kalau soal brand don't care lah," sambungnya.
Melihat permintaan thrifting yang cukup banyak, hal ini senada dengan data tingkat impor baju bekas di Indonesia yang meningkat jauh jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
Berdasarkan data BPS, peningkatan nilai impor pakaian bekas di Indonesia terlihat sangat signifikan. Pada Kuartal III tahun 2021, angkanya hanya sebesar 37,42 juta dolar AS. Sementara, pada 2022, besarannya mencapai 264,78 juta dolar AS. Peningkatannya menyentuh 227,36 juta dolar AS.
Jenis-jenis pakaian yang diimpor pun bermacam-macam. Mulai dari pakaian jadi, pakaian jadi rajutan, hingga kaus kaki.
Jenis pakaian jadi dari tekstil menjadi paling besar perkembangan impornya, yakni mencapai 332.066 dolar AS. Kemudian, disusul dengan perlengkapan pakaian dari tekstil sebesar 61.816 dolar AS.
ADVERTISEMENT
Persoalannya, besarnya data impor pakaian di Indonesia dinilai bukanlah solusi tunggal dalam mengkontrol limbah fashion. Sebab, jika laju industri fast fashion semakin bertambah dari waktu ke waktu, maka ketersediaan pakaian bekas dalam jual-beli thrifting juga akan semakin menggunung.
Lantas, bagaimana menurutmu?