Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.98.1
TII: Maraknya Korupsi Politik Bikin Skor IPK Indonesia Mengkhawatirkan
11 Februari 2025 15:50 WIB
·
waktu baca 4 menit
ADVERTISEMENT
Transparency International Indonesia (TII) merilis survei Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia tahun 2024. Hasilnya, skor IPK Indonesia adalah 37.
ADVERTISEMENT
Angka tersebut mengalami kenaikan dari tahun sebelumnya. Pada 2023, skor IPK Indonesia adalah 34. Survei IPK ini dilakukan oleh Transparency International (TI). Rentang skor yang digunakan adalah 0 (korupsi yang tinggi) hingga 100 (korupsi yang rendah).
Deputi Transparency International Indonesia (TII), Wawan Heru Suyatmiko, mengatakan masih terdapat tantangan dan tanda tanya besar meskipun terjadi kenaikan pada skor IPK Indonesia.
Terlebih, kata dia maraknya korupsi politik di Indonesia menjadikan skor IPK Indonesia mengkhawatirkan.
"Kita cukup mafhum sepanjang tahun 2024 ada Pemilu, demokrasi berjalan secara prosedural, gitu, ya. Tapi, kalau kita bicara substansial, masih menjadi satu tantangan dan tanda tanya besar," ujar Wawan dalam paparannya, Selasa (11/2).
"Karena apa? Karena maraknya korupsi politik ini menjadikan skors CPI [Corruption Perception Index] kita selalu berada pada posisi yang mengkhawatirkan," jelas dia.
ADVERTISEMENT
Wawan menjelaskan bahwa skor IPK yang diraih oleh Indonesia pada tahun ini juga masih jauh berada di bawah rata-rata untuk skor secara global (43) dan kawasan Asia Pasifik (44).
Bahkan, kenaikan skor IPK tersebut mesti menjadi catatan. Hal itu lantaran peningkatan skor tersebut dalam kurun waktu setahun dinilai tidak signifikan.
"Nah, peningkatan skor menurut catatan kami secara metodologi atau statistik sebenarnya peningkatan skor dalam skala hanya naik 1 poin 2 poin per seratus per tahun, ini tidak signifikan," ucap dia.
"Ya bayangkan hanya naik misalnya 0,01, 0,05 gitu, ya, jadi artinya ya tidak signifikan gitu, ya," imbuhnya.
Lebih lanjut, Wawan menyebut bahwa jika dihitung selama kurun waktu 10 tahun terakhir, skor IPK Indonesia hanya mengalami kenaikan 1 poin.
ADVERTISEMENT
"Dulu [IPK Indonesia] 2015 diawali dengan angka 36, dan sekarang 37. [Selama] 10 tahun artinya kita hanya naik 1 poin," tutur Wawan.
Kondisi itu justru berbeda cukup signifikan jika dibandingkan dengan perolehan skor IPK Indonesia sepanjang tahun 2005–2014. Pada tahun 2005, skor IPK Indonesia adalah 22. Kemudian, pada tahun 2014, skor tersebut naik 12 poin menjadi 34.
"Jadi, artinya bahwa hari ini kenaikan 1 poin [dalam] 1 tahun atau bahkan 1 poin [dalam] 10 tahun ini sangat-sangat tidak signifikan. Meskipun kalau kita bilang angkanya memang naik, ya skornya atau rankingnya jauh lebih bagus," paparnya.
Oleh karenanya, dalam kesimpulan dan rekomendasinya, TII meminta pemerintah dan anggota parlemen di Indonesia perlu terus menjaga partisipasi publik di berbagai sektor.
ADVERTISEMENT
Berbagai sektor tersebut termasuk sektor lingkungan hingga sektor energi yang dinilai penting. Wawan menyebut, menjaga partisipasi publik tersebut misalnya dengan menjaga ruang sipil yang aman bagi tumbuhnya demokrasi yang adil.
"Sebab, kita tahu bersama bahwa jelas sekali, bahwa demokrasi yang substansial adalah prasyarat bagi pemberantasan korupsi yang terarah dan berdampak pada kesejahteraan masyarakat," katanya.
Selain itu, dalam paparan itu TII juga merekomendasikan terkait urgensi tata kelola ekonomi dan bisnis yang integritas. Pasalnya, dalam indikator ekonomi dan bisnis, praktik korupsi masih marak terjadi secara signifikan antara pemegang otoritas kebijakan dan pelaku usaha.
Dalam hal ini, pemerintah perlu untuk membuat kerangka regulasi dalam kebijakan ekonomi yang berorientasi pada pemberantasan korupsi. Termasuk dengan mulai menyentuh praktik kolusi dan nepotisme.
ADVERTISEMENT
Kemudian, TII juga merekomendasikan perlunya mengembalikan independensi dan kewenangan otoritas lembaga pengawas kekuasaan.
TII menilai, bahwa badan peradilan dan badan pengawasan harus kembali mandiri dan bebas dari intervensi kekuasaan mana pun dan diberdayakan untuk mendeteksi dan memberikan hukuman atas pelanggaran.
Di Indonesia, dalam menghitung IPK, digunakan sembilan indikator, yakni:
Indikator ini terkait korupsi dalam sistem politik. Korupsi dalam bentuk patronase, nepotisme, pendanaan partai secara rahasia, dan hubungan dekat antara politik dan bisnis.
Indikator ini terkait dengan suap dan korupsi. Ada atau tidak ada?
Indikator ini terkait risiko penyuapan dalam impor/ekspor, memperoleh kontrak public dan melakukan kegiatan bisnis lainnya.
ADVERTISEMENT
Indikator ini terkait melakukan pembayaran tambahan tau suap yang tidak tercatat.
Indikator ini terkait pencegahan korupsi dan penegakan hukum terhadap Tindakan korupsi.
Indikator ini terkait prosedur dan akuntabilitas yang jelas, penyalahgunaan sumberdaya public oleh pejabat public untuk kepentingan pribadi atau partai politik.
Indikator ini terkait korupsi sebagai masalah di negara tempat beroperasi/bekerja.
Indikator ini terkait korupsi politik yang melibatkan lembaga eksekutif, yudikatif dan legislatif.
Indikator ini terkait penggunaan jabatan publik untuk keuntungan pribadi di cabang eksekutif, legislatif dan yudikatif, serta di militer dan kepolisian.
ADVERTISEMENT