Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
ADVERTISEMENT
Brak…! Brak…! Brak…! Brak…! Brak…!
Kepal tangan Prabowo Subianto menghunjam meja di depannya tiap kali ia merampungkan kalimat. Raut mukanya berubah dan suaranya meninggi. Lima kali tinjunya melayang ke meja pertemuan berbentuk leter U itu.
ADVERTISEMENT
Waktu itu sekitar pukul 20.00 WIB, Jumat 20 Juli 2018 atau sepekan sebelum Ijtima Ulama Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Ulama digelar. Pertemuan sesi kedua tokoh dan penasihat GNPF Ulama baru saja dibuka Amien Rais di ruang rapat Hotel Sultan, Senayan, Jakarta Pusat.
Sebelumnya, Prabowo melenggang masuk ke ruangan pertemuan itu. Ia diantar masuk Amien, dan datang bersama Sekjen Gerindra Ahmad Muzani, Sekjen PAN Eddy Soeparno, serta Sekjen PBB Afriansyah Ferry Noor.
Prabowo diundang Dewan Penasihat dan beberapa tokoh GNPF Ulama―yang berembuk sejak pukul 16.00 WIB―untuk urusan dukungan calon presiden 2019.
Tapi, suasana hati Prabowo digayuti mendung. Kabar tak sedap terlanjur sampai ke telinganya. Sebab ilmu dan laku keagamaannya disinggung oleh sebagian orang dalam ruangan itu.
ADVERTISEMENT
“Selalu dipersoalkan kadar keislaman saya,” kata Prabowo dengan nada tinggi sambil meninju meja―brak!
“Saya memang bukan lulusan pondok pesantren seperti Saudara-saudara sekalian.” Brak!
“Saya dipersoalkan tidak bisa jadi imam salat.” Brak!
“Dipersoalkan tidak bisa mengaji.” Brak! Brak!
Semua itu diceritakan oleh Usamah Hisyam, eks anggota Penasihat Persaudaraan Alumni 212 dan Bendahara Panitia Reuni 212, saat bertemu kumparan di kediamannya di kawasan BSD, Tangerang Selatan, Rabu (19/12).
Tinju Prabowo berdentam kencang, membuat hening seisi ruang. Seluruh Dewan Penasihat dan tokoh-tokoh GNPF Ulama bungkam, termasuk Kiai Haji Maksum Bondowoso yang memakai infus di tangan karena mengidap kanker paru-paru stadium IV―namun tetap melakukan perjalanan panjang ke Jakarta demi menghadiri Ijtima Ulama .
ADVERTISEMENT
Semua mata memandang Usamah yang duduk di samping Ahmad Muzani dan Letjen (Purn.) Syarwan Hamid. Usamahlah orang yang mempertanyakan rekomendasi dukungan GNPF Ulama kepada Prabowo di sore hari sebelum Prabowo tiba.
Usamah berpandangan, Prabowo masih tak laik dapat dukungan ulama jika pakai parameter Al-Quran dan sunah.
“Di Ijtima Ulama, kami harus meninjau, membahas apakah figur ini sesuai dengan nilai Al-Quran dan sunah. Dalam bahasa yang sederhana, dia harus muslim kafah. Itu saja masalahnya,” ucap Usamah.
Jadi, sambungnya, “Apakah memilih pemimpin muslim minimalis atau pemimpin muslim kafah? Kalau pemimpin muslim kafah, setidaknya harus bisa menjadi imam salat, fasih membaca Al-Fatihah dan surah pendek, bisa mengaji.”
Menurut Usamah, ia tak sempat bicara banyak dalam rembukan GNPF Ulama karena keterbatasan waktu. Pun, imbuhnya, ucapan dia mestinya tersimpan dalam ruang rapat karena itu hanya untuk internal.
ADVERTISEMENT
Namun Usamah yakin ada orang yang menyampaikan hal itu kepada Prabowo, karena sang Ketua Umum Partai Gerindra itu menyinggung tema tersebut di hadapan para ulama 212.
Usai pertemuan antara Prabowo dan ulama-ulama 212 pada Jumat malam 20 Juli itu, Usamah pergi meninggalkan koleganya yang masih sibuk selfie bersama Prabowo. Ia mengayunkan kaki ke lounge di bagian belakang hotel, sementara rekan-rekannya lanjut mendengarkan visi dan misi Prabowo.
Kepal tangan Prabowo berujung dukungan terhadapnya oleh Ijtima Utama, yang diputuskan pada 27-29 Juli. Kala itu para ulama 212 memasangkan Prabowo dengan dua tokoh sebagai wakil untuk dipilih, yakni Ketua Majelis Syuro PKS Salim Segaf Al-Jufri atau Ustaz Abdul Somad.
Keputusan tersebut lantas membuat Usamah kecewa. Ia tersisih dari GNPF Ulama. Padahal sepak terjangnya di Persaudaraan Alumni 212 cukup panjang. Ia menjadi salah satu pendukung 212 sejak gerakan itu menggelar aksi pada 2016. Pada Reuni 212 tanggal 2 Desember 2017 pun ia duduk sebagai bendahara.
ADVERTISEMENT
Berkat kelihaian Usamah pula, Tim 11 Ulama Alumni 212 akhirnya bertemu Presiden Joko Widodo di Istana Bogor pada 22 April 2018. Usamah bahkan pernah membujuk Jokowi untuk menemui Habib Rizieq Syihab di Arab Saudi sembari umrah. Namun saran tersebut tidak dilakukan.
Namun, pasca-Ijtima Ulama pertama di Hotel Sultan, aktivitas Usamah di GNPF Ulama terhenti. Bahkan saat Ijtima Ulama II digelar 16 September 2018, Usamah tak mendapat undangan. Ia tersingkir.
ADVERTISEMENT
Usamah merasa rekan-rekannya di Persaudaraan Alumni 212 tak lagi mengemban kepentingan umat. Ia menuding 212 berubah dari “gerakan umat” menjadi “tim sukses Prabowo-Sandi”.
Padahal Mukernas GNPF Ulama di Gede Pangrango menegaskan netralitas gerakan 212. Namun pada Ijtima Ulama II, ujar Usamah, keberpihakan politik justru kian nyata.
“Lihat saja rekomendasi Ijtima Ulama I yang ke-2, banyak poin terkait syariat yang hilang. Apalagi wakil Prabowo bukan yang diamanatkan dalam Ijtima Ulama,” kata dia.
Usamah yakin Rizieq Syihab yang kini berada di Arab Saudi, tak menginginkan gerakan 212 menggelinding liar dalam politik. Ia bahkan menyebut beberapa rekannya memanfaatkan kondisi Rizieq yang tak bisa pulang ke tanah air. Usamah menuduh mereka sengaja menghalangi kepulangan Rizieq ke Indonesia agar dapat bermain politik.
ADVERTISEMENT
Kekecewaan Usamah pada Gerakan 212 memuncak pada 27 November 2018. Ia mengajukan surat pengunduran diri kepada Ketua Umum Persaudaraan Alumni 212, Slamet Maarif, yang tengah bertandang ke kantornya. Surat itu ia tembuskan kepada Amien Rais dan Rizieq Syihab.
Slamet Maarif membenarkan Prabowo sempat mendaratkan kepalan tangan ke meja saat bertemu ulama 212. Tapi, menurut dia, latar politiknya tak seperti dituturkan Usamah.
Rapat 20 Juli 2018 di Hotel Sultan, ujar Slamet, digelar sebagai agenda resmi GNPF Ulama untuk memberikan rekomendasi kepada Panitia Ijtima Ulama. Rapat mengundang perwakilan lima partai politik, di antaranya PKS, PAN, Gerindra, dan PBB; sementara Presiden PKS Sohibul Imam tak dapat hadir karena menghadiri acara partainya sendiri.
ADVERTISEMENT
Pada rapat itu, Kiai Maksum Bondowoso duduk sebagai fasilitator, dan Prabowo datang untuk memberikan pandangan. Hanya saja, ia tak nyaman dengan berbagai anggapan yang menyudutkan dia soal ilmu agama.
Tinju Prabowo, menurut Slamet, bukan bermaksud menghina. Hanya bentuk ketegasan.
“Kalau meninju (sungguhan) pasti pecah (mejanya). Jadi itu reaksi (Prabowo) saja. Reaksi dari ungkapan hati dia, untuk menunjukkan sikap―keseriusan dan ketegasan,” kata Slamet kepada kumparan di MidPlaza, Jakarta Pusat, Kamis (19/12).
Situasi menjelang penentuan calon presiden rekomendasi ulama 212 saat itu, ujar Slamet, memang dinamis. Misal saat Rapat Koordinasi Nasional PA 212 di Taman Wiladatika, Cibubur, pada 29 Juli 2018 memutuskan untuk mengajukan lima nama rekomendasi capres 2019, yakni Rizieq Syihab, Prabowo Subianto, Tuan Guru Bajang (TGB), Yusril Ihza Mahendra, dan Zulkifli Hasan.
ADVERTISEMENT
Di kemudian hari, nama TGB dicoret karena mendukung Jokowi. Itu bagian dari dinamika. Pula berbagai forum yang digelar untuk melihat perkembangan realitas politik, termasuk rapat di Hotel Sultan.
Pada akhirnya, Prabowo merupakan nama hasil pemufakatan tokoh dan Dewan Penasihat GNPF. Maka, tegas Slamet, harusnya Usamah menghormati mufakat itu.
“Peta politik juga menjadi pertimbangan ulama. Prabowo itu satu di antara lima nama (rekomendasi capres 212). Saya katakan, ‘Pak Usamah nggak boleh (bersikap seperti itu),’” kata Slamet.
Selepas Ijtima Ulama II, Slamet duduk sebagai Wakil Ketua Badan Pemenangan Nasional Prabowo-Sandi. Ia mengaku ditawari masuk ke dalam tim tersebut melalui salah satu ketua DPP FPI, Sugeng, dan kuasa hukum FPI Munarman.
ADVERTISEMENT
Dua rekan Slamet di PA 212 juga duduk dalam Badan Pemenangan Nasional Prabowo-Sandi, yakni Abdul Rasyid Abdullah Syafi’i sebagai Wakil Ketua Dewan Penasihat dan Yusuf Martak sebagai anggota Dewan Pengarah.
Slamet juga membantah tudingan Usamah bahwa seluruh gerakan 212 menghalangi kepulangan Rizieq dari Arab Saudi. Menurut Slamet, mereka justru ingin Rizieq pulang untuk memimpin perubahan bangsa secara langsung. Kehadiran Rizieq dinilai akan membuat dukungan bagi Prabowo-Sandi makin luas.
Soal keberpihakan politik yang disoal Usamah, Slamet menjawab pedas. Ia menyebut Usamah pun selama ini sudah berada di tim sukses Jokowi meski tak terdaftar resmi.
Tudingan Slamet itu bukan tanpa dasar. Sebab pada Pemilu Presiden 2014, Usamah sudah duduk di barisan pendukung Jokowi. Ia juga dikenal sebagai orang yang dekat dengan Surya Paloh, Ketua Umum NasDem―salah satu partai penyokong Jokowi.
ADVERTISEMENT
Ketika kumparan menyambangi Usamah di rumahnya, BSD, Tangerang, terlihat corat-coret di papan tulis soal tim relawan Jokowi di Tangerang Selatan.
Namun Usamah membantah telah berpihak ke kubu Jokowi. Ia dekat dengan Surya Paloh, tetapi―katanya―tak selalu akur. Sementara corat-coret di papan tulis itu, menurut Usamah, merupakan kegiatan politik istrinya, bukan dia.
Sekjen PAN Eddy Soeparno yang turut hadir pada pertemuan 20 Juli di Hotel Sultan, menganggap kabar yang berembus soal aksi pukul meja, hanya untuk menyudutkan Prabowo. Sebab jika Prabowo sampai menyinggung GNPF Ulama, ujarnya, tentulah ia tak bakal dapat dukungan seperti sekarang
Keriuhan soal tinju meja oleh Prabowo dinilai Eddy muncul untuk memecah-belah koalisi dan dukungan terhadap Prabowo-Sandi. Urusan remeh-temeh seperti itu, katanya, biar dia (Usamah) saja yang sibuk.
ADVERTISEMENT
Eddy bahkan mengatakan, tak ada kepalan tangan Prabowo yang bertemu dengan meja rapat di Hotel Sultan. Menurut dia, nada tinggi Prabowo hanya muncul sebagai penekanan atas pertanyaan terkait pemahaman agama.
“Seingat saya, nggak ada tuh momen menggebrak meja,” kata Eddy.
Dalam politik, ingatan akan suatu peristiwa―sesepele atau sepenting apa pun―memang bisa berbeda pada setiap orang. Semua sesuai kepentingan saja. Tak lebih, tak kurang.