Titi Anggraini dkk Gugat Ambang Batas Pilpres ke MK

23 Agustus 2024 11:19 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Titi Anggraini berpose usai melaksanakan podcast A1 saat berkunjung ke kantor Kumparan di Pasar Minggu, Jakarta, Selasa (9/8/2024). Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Titi Anggraini berpose usai melaksanakan podcast A1 saat berkunjung ke kantor Kumparan di Pasar Minggu, Jakarta, Selasa (9/8/2024). Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Yayasan Jaringan Demokrasi dan Pemilu Berintegritas (Network for Democracy and Electoral Integrity atau NETGRIT) yang diwakili oleh Hadar Nafis Gumay dan aktivis kepemiluan Titi Anggraini menggugat presidential treshold atau ambang batas pencalonan presiden.
ADVERTISEMENT
Pada Kamis (22/8), sidang kedua atas permohonan uji materi itu berlangsung di gedung MK.
Agendanya adalah perbaikan perkara 101/PUU-XXII/2024 soal uji materi atas ketentuan Pasal 222 UU 7/2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) yang berbunyi “Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya”.
Dalam perbaikan permohonan, para pemohon menjelaskan beberapa alasan pengujian tambahan.
Pertama, menambahkan batu uji pengujian, yaitu terhadap Pasal 6A Ayat (3) UUD NRI 1945.
"Hal tersebut menurut Para Pemohon penting untuk menjaga nilai yang terkandung dalam Pasal 6A Ayat (3) UUD NRI yakni menjamin adanya pemilihan presiden yang juga mengakomodasi keragaman politik, kultural, dan demografis di Indonesia," kata Titi Anggraini melalui siaran pers, Jumat (23/8).
ADVERTISEMENT
Pemohon menilai Pasal 6A ayat (3) UUD NRI 1945 mengandung semangat untuk menjamin presiden yang terpilih mendapatkan legitimasi kuat secara kedaerahan. Syarat persebaran suara 20% pada lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia akan meminimalisir fokus perolehan suara hanya di pulau Jawa yang memiliki populasi lebih dari setengah pemilih di Indonesia.
"Sayangnya, Pasal 222 UU Pemilu membuka peluang besar terjadinya pemilihan presiden yang hanya diikuti oleh 2 calon seperti 2014 dan 2019. Dalam kasus hanya terdapat 2 (dua) calon, maka ketentuan persebaran suara Pasal 6A ayat (3) UUD NRI 1945 diabaikan. Ke depan, hal tersebut akan mereduksi representasi politik, kultural, dan demografis dalam pemilihan presiden," jelas Titi.
Masih berkaitan dengan keberagaman, lanjut Titi, Pasal 222 UU Pemilu juga dinilai menghambat keterwakilan perempuan karena terbatasnya saluran nominasi. Banyaknya partai politik (multipartai) yang sebenarnya menjadi peluang munculnya kader-kader perempuan untuk berkontestasi nyatanya tidak terwadahi karena terbatasnya kanal pencalonan presiden dan wakil presiden.
ADVERTISEMENT
"Keterbatasan yang mengakibatkan ketidakadilan tersebut memberikan dampak lebih terasa bagi kelompok marjinal seperti perempuan. Padahal, munculnya figur perempuan dalam pencalonan presiden dapat menjadi pemantik perbaikan partisipasi perempuan dalam politik yang sangat rendah hari ini."
"Hal ini bertentangan dengan asas keadilan dalam pemilu yang dijamin Pasal 22E ayat (1) UUD NRI 1945," kata Titi.
Kedua, para pemohon dalam perbaikannya juga mengulas keberlakuan norma a quo yang menghambat fungsi dan tugas partai politik yakni untuk melakukan kaderisasi berjenjang sehingga diharapkan dapat menciptakan pemimpin terbaik melalui mekanisme pemilihan internal partai politik.
Sejalan dengan hal tersebut, keberlakuan norma a quo juga sebagai bentuk pemaksaan terhadap partai politik untuk memenuhi ambang batas persyaratan pencalonan presiden, hal ini juga mendorong terjadinya politik kartel dalam proses pembentukan perundang-undangan serta politik dagang sapi dalam proses pencalonan presiden.
Sejumlah pengunjuk rasa melakukan aksi menolak RUU Pilkada di halaman Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Kamis (22/8/2024). Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
Ketiga, Pasal 222 UU Pemilu tidak sejalan dengan agenda perbaikan demokrasi Indonesia. Saat ini, demokrasi Indonesia masih digolongkan pada kategori demokrasi cacat (flawed democracy) yang secara tren peringkat menurun sejak 2 tahun belakangan (peringkat 56 dari 167 negara).
ADVERTISEMENT
"Jika dibandingkan dengan negara yang dikategorikan demokrasi efektif (full democracy), umumnya tidak ditemukan adanya ambang batas pencalonan presiden. Justru, banyaknya partai politik di negara seperti Finlandia, Korea Selatan, Prancis, Uruguay, dan Kosta Rika diwadahi dengan berbagai cara pengusungan presiden dan wakil presiden (oleh partai politik, senat, dan jalur independen)," urai Titi.
Padahal menurut pemohon, negara-negara tersebut serupa dengan Indonesia, yakni menganut sistem presidensial/semi-presidensial seeta sistem multipartai. Alhasil, muncul banyak calon pada setiap momentum pemilihan yang merepresentasikan pluralisme politik dan prinsip free and fair election dalam konteks multipartai. Hal tersebut mendorong peningkatan indeks demokrasi negara-negara tersebut.

Tanpa Ambang Batas

Titi mengajukan alternatif rumusan Pasal 222 UU Pemilu yang lebih rasional dan sejalan dengan agenda demokrasi di Indonesia. Para pemohon mengusulkan agar partai politik atau gabungan partai politik yang memiliki kursi di DPR dapat mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden tanpa ambang batas.
ADVERTISEMENT
Sedangkan bagi partai politik yang tidak memiliki kursi di DPR dapat mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden bila bergabung dengan sesama partai politik non-parlemen paling sedikit 20% dari keseluruhan jumlah partai politik peserta pemilu.
"Misalnya terdapat 18 partai politik peserta pemilu, maka 20% dari 18 diperoleh angka 3,6. Angka 20% diperoleh dari logika perhitungan pembentuk undang-undang dalam Pasal 222 UU Pemilu. Dengan prinsip pembulatan ke bawah, maka partai politik peserta pemilu non-parlemen harus membentuk koalisi sebanyak 3 partai politik peserta pemilu non-parlemen untuk mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden," tutur Titi.
Alternatif ini menurut para pemohon tetap dalam koridor keadilan yang tolerable sekalipun terdapat pembedaan antara partai politik parlemen dan partai politik non-parlemen. Pasalnya, kewajiban partai politik non-parlemen untuk bergabung akan menunjukkan signifikansi dalam kematangan struktur politik dan menunjukkan keseriusannya dalam pengusungan.
ADVERTISEMENT
Selain itu, kondisi ini berbeda dengan pembedaan pada Pasal 222 UU Pemilu karena hilangnya hegemoni partai politik parlemen terhadap partai politik peserta pemilu nonparlemen. Pembedaan ini turut sesuai dengan logika Mahkamah Konstitusi pada Putusan Nomor 55/PUU-XVIII/2020 tentang pembedaan verifikasi partai politik parlemen dan non-parlemen peserta pemilu.
"Dengan alternatif ini, maka para pemohon yakin bahwa upaya mereduksi dan mengenyampingkan ketentuan pasal pemberlakuan ambang batas pencalonan presiden yang berdampak bahwa partai politik pengusul pasangan calon presiden dan wakil presiden terbatas hanya partai-partai politik yang sudah memiliki suara hasil pemilu sebelumnya akan terselesaikan," urai Titi.
Kedua, efek elektoral pilpres yang justru menggerus suara partai-partai yang tidak memiliki kursi di DPR maupun partai baru akibat para kandidat pilpres lebih mendekatkan diri kepada partai politik yang punya kekuatan dukungan lebih dibanding partai-partai kecil akan berakhir.
ADVERTISEMENT
Berikutnya, penerapan ambang batas pencalonan presiden akan memenuhi prinsip kebijakan hukum terbuka (open legal policy) dengan prasyarat-prasyaratnya sebagaimana dikemukakan oleh Mahkamah dalam berbagai putusan.

Petitum Pemohon

Dalam petitum, para pemohon meminta agar Mahkamah:
Menyatakan Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat untuk diberlakukan pada Pemilu 2029 dan pemilu berikutnya sepanjang tidak dimaknai “Pasangan Calon diusulkan oleh:
a. Partai Politik dan/atau Gabungan Partai Politik peserta pemilu yang memiliki kursi di DPR;
b. Gabungan Partai Politik peserta pemilu yang memiliki kursi di DPR dan Partai Politik peserta pemilu yang tidak memiliki kursi di DPR; atau
ADVERTISEMENT
c. Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang tidak memiliki kursi di DPR paling sedikit 20% dari jumlah partai politik peserta pemilu anggota DPR.”
ATAU
Menyatakan Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara 6109) adalah konstitusional bersyarat untuk diberlakukan pada Pemilu 2029 dan pemilu berikutnya sepanjang telah dilakukan perubahan dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik dan/atau Gabungan Partai Politik peserta pemilu yang memiliki kursi di DPR;
b. Pasangan Calon diusulkan oleh Gabungan Partai Politik peserta pemilu yang memiliki kursi di DPR dan Partai Politik peserta pemilu yang tidak memiliki kursi di DPR; dan
c. Pasangan Calon diusulkan oleh Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang tidak memiliki kursi di DPR dengan ambang batas yang ditentukan oleh pembentuk undang-undang;
ADVERTISEMENT