Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.88.1
ADVERTISEMENT
Mendagri Tito Karnavian mengklarifikasi wacana yang berkembang terkait pernyataannya yang ingin Pilkada dievaluasi karena memicu banyak dampak negatif dalam pelaksanaannya. Dia menegaskan evaluasi itu bukan berarti agar Pilkada kembali ke DPRD.
ADVERTISEMENT
"Ini ada beberapa yang menyampaikan di antaranya ada yang menyampaikan tadi usulan agar dikembalikkan kepada DPRD setempat. Ini saya sendiri pernah menyampaikan tapi tidak pernah menyampaikan untuk tidak pernah kembali kepada DPRD, ini saya klarifikasi. Teman-teman media juga jangan salah kutip," kata Tito di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (18/11).
Mantan Kapolri itu menjelaskan, salah satu dampak negatif dari pilkada langsung adalah konflik di antara masyarakat karena beda pilihan.
"Saya sendiri sebagai mantan Kapolri, mantan Kapolda itu melihat langsung, misalnya di Papua 2012 saya menjadi Kapolda di sana, Kabupaten Puncak itu 4 tahun tertunda pilkadanya karena konflik perang suku," ujarnya.
"Potensi konflik karena polarisasi. Polarisasi pilkada membuat masyarakat terbelah. Tapi dalam bahasa saya adalah polarisasi yang dilegalisasi, legal," sambungnya.
ADVERTISEMENT
Selain potensi konflik, biaya politik yang tinggi juga disoroti Tito. Dalam hitungannya, untuk menjadi kepala daerah butuh Rp 30 miliar, sementara dalam lima tahun gaji dan tunjangan hanya mencapai Rp 12 miliar.
Sementara gaji kepala daerah tak seberapa, sehingga memicu dia untuk korupsi. Atas dasar itu, menurut Tito, perlu diadakan evaluasi menyeluruh terkait Pilkada. Dia mendorong adanya riset mendalam terkait hal itu.
"Kita lihat ada dampak positif, ada dampak negatif dari pilkada langsung. Sehingga usulan yang saya sampaikan adalah bukan untuk kembali ke A atau ke B, tetapi adakan evaluasi," ujarnya.
Nantinya, Tito mengharapkan tak hanya kajian empirik yang dilakukan, sebab hal itu berpotensi bias, dia meminta dilakukan kajian akademik untuk mengevaluasi Pilkada.
ADVERTISEMENT
"Evaluasi ini harus dengan kajian akademik, tidak bisa dengan empirik, berdasarkan pengalaman saja. Kenapa kajian akademik? Karena memiliki metodologi yang bisa dipertanggungjawabkan dengan data, data kuantitatif, data kualitatif data gabungan kualitatif dan kuantitatif. Contoh misalnya kita lakukan survei di masyarakat apakah mereka setuju pilkada langsung atau tidak," pungkasnya.