Tito Ingin Evaluasi Pilkada Langsung: Mau Jadi Bupati Butuh Rp 30 M

6 November 2019 19:11 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Jendral (Purn) Tito Karnavian menjadi pembina dalam apel pertama di Kemendagri, Jakarta, Kamis (24/10/2019). Foto: Helmi Afandi Aabdullah/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Jendral (Purn) Tito Karnavian menjadi pembina dalam apel pertama di Kemendagri, Jakarta, Kamis (24/10/2019). Foto: Helmi Afandi Aabdullah/kumparan
ADVERTISEMENT
Mendagri Jenderal (Purn) Tito Karnavian membuka peluang evaluasi sistem pilkada langsung. Menurut dia, pilkada langsung selama ini malah menimbulkan banyak dampak negatif.
ADVERTISEMENT
Usai rapat kerja dengan Komisi II DPR, Tito mencontohkan berbagai dampak negatif pilkada langsung. Mulai dari biaya politik yang tinggi hingga banyaknya kasus korupsi.
Tito lalu bercerita saat masih menjadi Kapolri kerap menemukan berbagai kasus OTT kepala daerah yang korupsi. Kasus ini terjadi sebagai dampak dari biaya politik tinggi dalam pilkada.
"Itu bukan suatu kejutan buat saya, kenapa? Mungkin hampir semua kepala daerah berpotensi melakukan tindak pidana korupsi. Kenapa? Bayangin dia mau jadi kepala daerah, bupati (butuh biaya politik) Rp 30-50 M. Gaji Rp 100 juta taruhlah Rp 200 juta, kali 12, Rp 2,4 M kali 5 tahun, Rp 12 miliar. Keluar Rp 30 M," kata Tito di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (6/11).
Mendagri Tito Karnavian memberi sambutan saat melantik 1.608 Muda Praja IPDN Angkatan XXX tahun 2019. Foto: Dok. Kemendagri
Tito tak percaya calon kepala daerah mau merugi hanya karena mengabdi untuk bangsa. "Mau rugi enggak? Apa benar saya (calon kepala daerah) ingin mengabdi untuk nusa dan bangsa mesti rugi, bullshit saya enggak percaya," jelasnya.
ADVERTISEMENT
Dengan dampak negatif tersebut, Tito menilai sistem pilkada seperti ini sudah tak lagi relevan. Sistem ini seakan memaksa seorang calon kepala daerah menghalalkan segala cara untuk mencari modal besar.
"Pertanyaan saya adalah apakah sistem politik pemilu pilkada ini masih relevan setelah 20 tahun? Banyak manfaatnya, antisipasi demokrasi, tapi juga kita liat mudaratnya ada, politik biaya tinggi," jelasnya.
"Kepala daerah kalau enggak punya Rp 30 miliar, mau jadi bupati, mana berani dia," sambungnya.
Ilustrasi politik uang dan uang dalam pusaran pemilu. Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
Saat ditanya pandangannya apakah perlu dilaksanakan pilkada tidak langsung alias melalui DPRD, Tito belum bisa menyimpulkan. Menurutnya, solusi saat ini yang terbaik adalah kajian mendalam terkait dampak negatif dan positif dari pilkada langsung.
"Kita survei, laksanakan riset akademik, riset tentang dampak negatif dan positif pemilihan pilkada langsung. Kalau diangkat positif fine, tapi bagaimana mengurangi dampak negatifnya, seperti politik biaya tinggi. Potensi konfliknya, bayangin," terangnya.
Ilustrasi pemilihan umum Foto: Aprilio Akbar/Antara
Tito pun mendorong agar riset akademik terkait pilkada langsung tak hanya dilakukan Kemendagri, namun juga bisa dilakukan LSM dan organisasi sipil lainnya. Sehingga dapat menghasilkan suatu solusi untuk mengurangi dampak negatif dari pilkada langsung.
ADVERTISEMENT
"Lakukan riset akademik boleh kami dari kemendagri akan melakukan itu, bagi yang lain institusi sipil, LSM, mari evaluasi. Bisa opsi satu tetep pilkada langsung tapi bagaimana solusi untuk mengurangi dampak negatif supaya enggak terjadi korupsi, supaya enggak kena OTT lagi," pungkasnya.