Tradisi Dahulu Kala saat Lebaran: Merampog Harimau, Jalan Punah Harimau Jawa

6 Juni 2020 12:25 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Harimau Jawa  Foto: Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Harimau Jawa Foto: Pixabay
ADVERTISEMENT
Seekor harimau jawa baru saja keluar dari kotak. Ia keluar dari kandang, di hadapannya ada seekor kerbau besar berdiri menantang. Sementara, di sekeliling keduanya, manusia berdiri melingkar membentuk arena duel.
ADVERTISEMENT
Keduanya diadu sampai salah satu kalah atau mati. Harimau jawa yang gesit dan ganas tak selalu keluar sebagai juara.
Kira-kira itu gambaran soal tradisi mengadu harimau dan kerbau di masa lalu. Tradisi yang dikenal dengan Merampog Harimau itu disebut-sebut sebagai salah satu penyebab punahnya harimau jawa.
Sudah lebih dari 40 tahun lalu, harimau jawa dinyatakan punah. Semasa hidup, harimau jawa menjadi hewan aduan dalam pagelaran kerajaan di Jawa sejak abad ke-17.
Di masa lalu, orang-orang Jawa senang menyaksikan pertarungan antara kerbau dan harimau. Harimau jawa tersebut merupakan hasil buruan di hutan sekitar Kediri, Blitar dan Tumapel. Kisah ini dimuat oleh Historia dengan judul "Merampog Harimau".
Acara pertarungan tersebut difasilitasi oleh kerajaan dan digelar secara terbuka di sebidang tanah berpagar. Bahkan mengundang orang asing agar turut menyaksikan pertarungan.
ADVERTISEMENT
Kedua hewan itu biasanya dipaksa mengamuk. Kerbau disiram air cabai, sementara harimau disundut besi panas. Kerbau tidak selalu sendiri saat menghadapi harimau. Biasanya apabila ukuran tubuh kerbau yang akan bertarung kecil, harimau dipaksa menghadapi beberapa kerbau sekaligus.
Ilustrasi Harimau Jawa. Foto: ANTARA FOTO/Arif Firmansyah
Pertarungan yang telah diadakan di Mataram sejak abad ke-17 itu mempunyai arti mendalam bagi orang Jawa. Menurut Ann Kumar dalam Prajurit Perempuan Jawa, mereka mencitrakan diri sebagai kerbau (maesa) dan melihat orang asing sebagai harimau (simo). Tapi bagi Robert Wessing, antropolog Universitas Illinois, identifikasi orang Jawa terhadap harimau jauh lebih kompleks, bahkan sangat ambigu.
“Orang Jawa juga melihat harimau sebagai perwujudan leluhur sehingga mereka kerap memanggilnya nenek. Tapi kemudian harimau dapat menjadi bencana atau pengganggu keselarasan sehingga harus disingkirkan,” tulis Wessing dalam “A Tiger in The Heart: The Javanese Rampok Macan,” Journal KITLV 148 (1992) No. 2.
ADVERTISEMENT
Selain itu, harimau dicitrakan serupa dengan niat jahat atau nafsu buruk di dalam diri yang harus ditaklukkan.
Dalam literatur weda, kerbau dipercaya sebagai pengusir kejahatan dan pemurni harmoni. “Dengan demikian, pertarungan antara kerbau dengan harimau di alun-alun utara itu dapat diterjemahkan sebagai pertarungan antara keselarasan dengan kekacauan,” lanjut Wessing.
Pertarungan itu mulai berubah bentuk memasuki abad ke-18. Harimau bukan hanya diadu dengan kerbau tapi juga dengan manusia.
Rampogan di Kesultanan Yogyakarta digelar secara berkesinambungan sejak 1791 kala perayaan Idul Fitri dan Tahun Baru Islam. Waktu ini dipilih karena umat Muslim tengah memulai hari baru dalam siklus hidupnya. Dosa-dosa di masa lalu dianggap telah gugur. Di sisi lain, harimau disimbolkan sebagai dosa-dosa itu.
ADVERTISEMENT
Sebagai perwujudannya, harimau jawa diadu sampai mati dengan manusia. Masyarakat tetap diizinkan menyaksikan acara itu.
Bahkan acara itu terkadang dihelat secara khusus untuk menyambut tamu-tamu asing sultan. Perhelatan di hadapan orang asing ini merupakan simbolisasi kekuatan militer Kesultanan Yogyakarta.
Rampogan menyebar hingga karesidenan Kediri, Blitar, dan Tumapel memasuki dekade 1860-an. Di Yogyakarta, acara itu kian kehilangan makna pentingnya. Sementara Kasunanan Surakarta masih menggelar rampogan sampai abad ke-19.
Namun, meski begitu, Rampog Harimau hanya salah satu penyebab punahnya harimau jawa. Perburuan akibat pembukaan lahan perkebunan di era kolonial juga berperan juga dalam punahnya harimau jawa tersebut.
Ilustrasi hutan di Jawa. Foto: Shutter Stock
Salah satu contohnya seperti yang disebut dalam sebuah tulisan yang dimuat di laman LIPI. Menurut catatan Belanda tahun 1650, disebutkan bahwa untuk berpergian dari Jakarta menuju Bogor saja harus dikawal ketat karena menghadapi serangan harimau Jawa di tengah jalan.
ADVERTISEMENT
Pada tahun 1860-1890, disebutkan ada ratusan harimau Jawa yang dibunuh di kawasan Brebes, Tegal, dan Pemalang (Jawa Tengah). Perburuan itu berlanjut hingga masa orde baru. Pada 1999-2002, saat pergantian penguasa Orde Baru ke Orde Reformasi,banyak hutan yang dibabat dengan dalih pembangunan dan perluasan perkebunan.
***
(Simak panduan lengkap corona di Pusat Informasi Corona). Yuk! bantu donasi atasi dampak corona.