Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
ADVERTISEMENT
Terdakwa penyebar ujaran rasial di asrama mahasiswa Papua di Surabaya, Tri Susanti alias Mak Susi dituntut 12 bulan penjara.
ADVERTISEMENT
Jaksa penuntut umum dari Kejaksaan Tinggi Jawa Timur meminta majelis hakim Pengadilan Negeri Surabaya menghukum Mak Susi karena dianggap bersalah menyebarkan ujaran rasial dan berita hoaks di salah satu televisi nasional.
Lontaran rasial itu menyebabkan timbulnya gesekan di Papua dan Papua Barat. Jaksa Mohamad Nizar menilai Mak Susi terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana sesuai Pasal 14 Ayat (1) dan Ayat (2) jo Pasal 15 UU Nomor 1 tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana.
"Mohon pada majelis hakim agar menjatuhkan pidana selama 12 bulan penjara, dikurangi masa hukuman yang telah dijalani," ujar Nizar saat membacakan tuntutan di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, Rabu (29/1).
Jaksa menuntut Mak Susi dengan dakwaan kedua, bukan dakwaan pertama. Sebelumnya, dakwaan pertama Mak Susi adalah Pasal 28 ayat (2) juncto Pasal 45 ayat (2) UU tentang Informasi Transaksi Elektronik.
ADVERTISEMENT
Dakwaan keduanya Pasal 14 Ayat (1) dan Ayat (2) jo Pasal 15 UU Nomor 1 tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana. Usai sidang tuntutan, Nizar tak menjelaskan alasan jaksa hanya menuntut Mak Susi dengan dakwaan kedua.
"Ya, memang menurut kami, dakwaan kedualah yang dapat dibuktikan," ujar Nizar.
Menanggapi tuntutan itu, Susi menyebut bakal menyampaikan pledoi. "Kami akan ajukan pembelaan yang mulia," kata Susi.
Selain Mak Susi, ada tersangka lain dalam kasus ini. Mereka adalah Samsul Arifin dan Andria Adiansah.
Pengepungan massa ke Asrama Mahasiswa Papua di Jalan Kalasan, Surabaya, berlangsung pada Jumat (16/8). Sejumlah orang datang dan mengamuk di asrama itu karena terprovokasi pesan berantai adanya bendera merah putih yang dibuang ke selokan.
ADVERTISEMENT
Peristiwa ini diduga memicu amarah warga Papua dan Papua Barat. Kerusuhan kemudian terjadi di beberapa kota dua provinsi itu. Masyarakat di Papua dan Papua Barat mengamuk setelah tahu ada ucapan rasis yang dilontarkan saat pengepungan berlangsung.