Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.1
Tsunami Anyer (1): Teriakan Hilya Bangunkanku, Air Laut Genangi Kamar
24 Desember 2018 19:22 WIB
Diperbarui 15 Maret 2019 3:51 WIB
ADVERTISEMENT
“Papa, aku takut, aku takut!” Teriakan anak sulung, Hilya Ramadhania, membangunkan tidurku. Saat itu, sekitar pukul 21.20 WIB, Sabtu, 22 Desember 2018. Saya langsung bangkit dan turun dari tempat tidur. Ternyata air laut yang berarus cukup deras sudah menggenang di lantai kamar hotel saya. Saat itu, sebatas mata kaki.
ADVERTISEMENT
“Sekarang berkemas, bawa semua tas Hilya dan Chacha!” perintahku saat itu kepada kedua anakku. Chacha adalah nama panggilan Shabhi Aliyya, anak bungsuku. Kami bertiga berada di Salsa Beach Hotel, sekitar 3,5 km dari Pantai Karang Bolong, Anyer, Serang, Banten.
Keberadaanku di Anyer bukan untuk liburan atau wisata. Tapi, mengantarkan anak bungsuku mengikuti tes masuk sebuah SMA boarding school di kawasan Serang. Tanggal 22 Desember tes kesehatan, kemudian esoknya, 23 Desember, anak bungsuku harus mengikuti tes psikologi dan tes akademik. Istriku, Lia Amalia, tidak ikut karena sedang ada tugas ke Shanghai dan Beijing, China.
Satu-satunya kawasan penginapan yang paling dekat dengan kampus SMA boarding school itu adalah kawasan Pantai Anyer. Hotel yang paling dekat sebenarnya adalah kawasan Hotel Aston, yang berjarak sekitar 11 KM dari kampus. Tapi, hotel-hotel di kawasan itu sudah fully booked sejak jauh-jauh hari. Tiga hari sebelum 22 Desember, akhirnya saya sewa sebuah kamar di Salsa Beach Hotel, karena setelah mengecek Traveloka dan Tiket.com, hanya hotel itu yang masih available. Jarak Salsa Beach Hotel dengan kampus SMA boarding school sekitar 17 KM.
ADVERTISEMENT
Saya tiba di Salsa Beach Hotel sekitar pukul 14.30 WIB, seusai mengantar anak tes kesehatan dan mampir ke sebuah rumah makan seafood di kawasan Anyer. Saya dan dua anak saya mendapat kamar di sebuah cottage yang paling dekat dengan bibir pantai. Cottage ini bertembok batu bata dan setiap kamarnya berdinding kayu jati. Karena itu, nama kamarnya pun, Jati 1 hingga Jati 6. Saya pilih Jati 5, karena berada di paling belakang.
Salsa Beach Hotel ini memiliki area yang cukup luas. Ada beberapa bangunan. Bangunan utama adalah bangunan bertingkat, yang sepertinya terlihat baru selesai direnovasi. Resepsionis ada bangunan ini. Juga ada bangunan berderet kamar-kamar di seberang bangunan utama. Di bagian tengahnya adalah halaman dan tempat parkir mobil.
ADVERTISEMENT
Kamarku berada di belakang, dekat pantai, dekat juga dengan restoran dan Salma Kafe. Salma Kafe ini merupakan kafe yang juga tempat karaoke. Sederet dengan cottage saya juga ada beberapa cottage rumah panggung, yang sepertinya juga baru saja direnovasi. Dari depan cottage, saya sangat dengan mudah melihat laut dan Gunung Anak Krakatau yang sedang erupsi.
Di cottage ini, saya bertemu dengan dua keluarga yang juga sedang memiliki tujuan yang sama dengan saya: mengantar anak ujian masuk ke SMP/SMA Boarding School. Satu keluarga terdiri dari seorang ibu dan dua anak lelaki. Keluarga ini datang ke hotel dengan menaiki mobil Nissan Xtrail warna putih. Satu keluarga lagi terdiri dari suami-istri dengan anak lelaki datang dengan menaiki Toyota Avanza warna silver. Saya tidak sempat berkenalan dengan mereka, termasuk menanyakan namanya. Yang pasti sebelumnya, saya melihat keduanya saat berada di kampus SMP/SMA Boarding School itu.
ADVERTISEMENT
Sesampai di hotel, saya membiarkan dua anak saya istirahat di kamar. Sementara saya memilih melakukan orientasi lokasi kawasan hotel. Di pagar belakang yang berbatasan dengan bibir pantai, hotel ini dilengkapi dengan pagar beton, yang tingginya kira-kira 1,2 meter dari batas air laut. Saat melihat lokasi ini, saya sempat terpikir, pagar beton ini cukup tinggi. Kalau ada gelombang pasang, air laut juga tidak akan bisa melewati pagar betonnya. Selain itu, untuk masuk ke dalam cottage, juga ada dua anak tangga, yang kira-kira tingginya 60 cm. Aman!
Bertemu Kawan Lama
Saat saya mengecek pintu belakang cottage, ternyata di belakang cottage saya juga berdiri deretan kamar dengan bangunan permanen, dengan ada halaman yang tidak terlalu luas. Ada taman kecil dilengkapi dua buah ayunan. Tiba-tiba ada seorang pria berperawakan tinggi berkaca mata lewat halaman belakang. Saya pun sapa dia, “Siang Pak”.
ADVERTISEMENT
Bukannya dia jawab ‘selamat siang’ ke saya, tapi dia malah menatap mata saya. “Asydhad kan?” kata dia. “Lah, Yulianto? sorry, aku pangling,” jawabku setelah saya mengingat-ingat dia beberapa detik. Dia adalah teman lamaku saat sekolah di SMA Negeri 1 Jepara. Kami dulu satu kelas di kelas jurusan IPA dari kelas 2 hingga 3, A12.
Yulianto bersama keluarganya, istri dan anak-anaknya. Dia menempati cottage panggung di sebelah cottage saya. Namun, dia tidak berniat bermalam. Dia hanya ingin rehat hingga habis magrib saja, setelah itu berencana pulang ke rumahnya di Cilegon.
“Yang mengelola hotel ini, teman istriku. Aku tadi ke sekolah anakku, ambil rapor. Sekolahnya dekat sini, hanya beberapa kilometer dari sini,” kata Yulianto.
ADVERTISEMENT
Yulianto bekerja di Jakarta, tapi tinggal di Cilegon. Dia bekerja di perusahaan yang bergerak di bidang pembangunan kabel optik bawah laut. Dia di Cilegon sudah lama, sejak ia kuliah di sebuah akademi teknik. Dia disekolahkan oleh Siemens, selepas lulus SMA. Karena itulah, dia sangat paham Cilegon, termasuk paham juga mengenai Gunung Anak Krakatau.
Saya ajak dia ngobrol-ngobrol sambil duduk di pagar beton di bibir pantai. Salah satu obrolan kami: Gunung Anak Krakatau. Kami sempat mengabadikan dengan foto berdua dengan latar belakang Gunung Anak Krakatau. Saya menanyakan ke dia, mengenai erupsi Gunung Anak Krakatau yang sangat jelas terlihat dari hotel. Saya juga menanyakan ke dia apakah dentuman Gunung Anak Krakatau saat ini terdengar biasa saja dibanding hari-hari sebelumnya.
ADVERTISEMENT
Saya terus terang baru pertama kali mendengar dentuman gunung yang sedang erupsi. Suaranya seperti dentuman meriam: DUMM! “Jarak gunung Anak Krakatau ke sini, kira-kira 30 km,” kata Yulianto. “Ini tidak seberapa. Beberapa hari lalu, dentumannya lebih keras. Bahkan, kaca hotel saya, bergetar!” ujar dia. “Kalau malam, nanti kamu lihat ke arah gunung, kamu akan lihat warna merah seperti api di puncaknya. Indah sekali,” sambung dia lagi.
Gunung Anak Krakatau mulai batuk-batuk sejak Mei 2018. Saya selalu dapat update dari whatsapp Menteri ESDM Ignasius Jonan dan Tim ESDM apabila ada erupsi Gunung Anak Krakatau yang berukuran besar. Update terakhir adalah erupsi yang terjadi pada 22 Desember pukul 13.39 WIB. Update dikirim oleh Freddy Hartono, salah satu tim Pak Jonan
ADVERTISEMENT
“Telah terjadi erupsi G Anak Krakatau, Lampung pada tanggal 22 Desember 2018 pukul 13.39 WIB dengan tinggi kolom abu teramat kurang lebih 1.500 m di atas puncak (kurang lebih 1.838 m di atas permukaan laut),". Demikian sebagian isi dari WA itu. Artinya, saat saya datang ke Salsa Beach Hotel ini hanya satu jam setelah erupsi besar terjadi. Update WA itu baru saya terima pukul 14.49 WIB, yang artinya saya menerima WA itu 19 menit setelah saya sampai di hotel. Ini data fresh from the oven, yang jadi bahan perbincangan dengan Yulianto saat itu. Salah satu yang kami perhatikan: mengapa dentuman Gunung Anak Krakatu terasa lebih sering?
Cukup lama berbincang dengan Yulianto. Sampai akhirnya sekitar pukul 16.45 WIB, Chacha dan Hilya keluar dari cottage menemui saya. Mereka minta diantar beli durian. Saat menuju hotel, mereka melihat banyak penjual durian di pinggir jalan raya. Saya keluar hotel menuju arah Cilegon dan berhenti saat melihat seorang bapak tua berpeci yang menjajakan durian di sebelah kanan jalan. Kira-kira hanya berjarak 2 km dari Salsa Beach Hotel. Terlihat dari tutur katanya, bapak penjual durian ini orang baik. Saya pun tidak menawar harga durian yang ia tawarkan. Dia bilang: Rp 50 ribu per buah. Saya pesan 3 durian dan minta dipilihkan yang terbaik.
ADVERTISEMENT
Sekitar 1 jam saya dan dua anak saya berada di tempat jual durian. Salah satu obrolan sambil kami makan durian adalah aktivitas Gunung Anak Krakatau. Saya bertanya ke bapak itu (saya sempat bertanya nama bapak ini, tapi saya gagal mengingatnya): Pak, dentuman Gunung Anak Krakatau apakah sesering ini?” Bapak penjual durian ini bilang, “Dalam beberapa hari ini, memang terdengar lebih sering. Tapi aman kok, sudah biasa buat warga sini," kata penjual durian tersebut.
Kami tiba kembali di Salsa Beach Hotel sekitar 17.40 WIB, menjelang matahari tenggelam. Saya parkirkan mobil saya di bagian belakang, dekat cottage. Kira-kira berjarak sekitar 5 meter dari pantai. Saya dan dua anak saya ke bibir pantai dan duduk-duduk di pagar beton pantai. Pemandangan yang indah sekali. Saya minta bantuan Hilya untuk membuat foto panorama, yang memperlihatkan air laut, Gunung Anak Krakatau dan Matahari. Kami berfoto-foto sampai matahari tenggelam dan azan magrib berkumandang.
Sekitar pukul 18.30 WIB, setelah bersih-bersih dan salat jamak Magrib-Isya, kami berniat mencari makan. Tapi, Hilya dan Chacha malas makan nasi. Mereka minta sesuatu yang sangat biasa: Indomie rebus. Saya menawarkan, kalau mau Indomie rebus, tidak usah keluar hotel, dan mencoba pesan di restoran hotel yang memang menghadap ke laut. Kami makan mie rebus sambil berbincang, disertai suara deburan ombak yang sangat saya suka. Dari restoran, kami melihat dengan jelas puncak Gunung Anak Krakatau yang memerah, seperti diselimuti api. Dentuman erupsi Gunung Anak Krakatau masih terus terjadi. Saya merasakan, dentuman itu lebih sering dan kencang.
ADVERTISEMENT
Di tengah kami makan di restoran, sekitar pukul 19.15 WIB, Yulianto menghampiri kami dan pamit untuk pulang ke Cilegon. Sebelum pulang, dia memperlihatkan kepada kami visual Gunung Anak Krakatau. “Itu lihat, kelihatan merah, seperti yang saya ceritakan tadi sore. Tapi sorry Dhad, aku enggak menemani lebih lama. Aku pamit dulu. Semoga sukses anakmu dan semoga kita ketemu lagi,” kata Yulianto.
Kami di restoran hingga pukul 20.15 WIB. Tak ada pengunjung hotel yang makan di restoran ini, kecuali kami. Sementara di seberang restoran, Salma Kafe sudah mulai memutar musik dan lagu. Kami memutuskan kembali ke kamar cottage untuk istirahat, karena besok pagi jam 05.30 WIB, kami harus check out. Pukul 07.00 WIB, waktu paling lambat para calon siswa dan orang tua tiba di kampus SMP/SMA Boarding School itu.
ADVERTISEMENT
Tsunami Datang
Tidak berapa lama di kamar, saya pun tertidur. Sampai kemudian Hilya berteriak “Papa, aku takut..aku takut’. Saya bangun dan saya melihat air laut sudah menggenangi kamar. Arusnya cukup deras. Saya minta Hilya dan Chacha berkemas, bawa semua tas, termasuk HP dan charger. Tas sudah terendam, karena kami letakkan di lantai. Beruntung, iPhone saya juga sempat saya selamatkan, meski sudah tergenang beberapa saat.
Di saat anak-anak saya mengemas barang, saya keluar kamar. Ya Allah, kursi dan meja tamu sudah bergelimpangan. Saat itu, beberapa penghuni juga terlihat baru keluar kamar juga. Semua terkejut dan panik. Saya menuju pintu belakang. Dan ternyata pintu sudah tertutup robohan atap cottage sebelah. Kasur-kasur dari cottage sebelah juga terlihat mengambang di halaman belakang, di dekat ayunan.
ADVERTISEMENT
Saya akhirnya berlari ke pintu depan. Pemandangannya lebih mengejutkan lagi. Mobil Honda CRV milik salah seorang penghuni sudah naik ke teras cottage dan tertimpa beberapa puing. Sementara mobil saya, Toyota Fortuner yang berbobot 2.700 kg terlihat bergeser dari posisi parkir semula, terseret arus dan sirine-nya berbunyi. Dari pintu cottage, saya bisa melihat jelas mobil saya menghantam pohon kelapa yang terletak di halaman belakang, mendekati bibir pantai.
Saya bilang ke sesama penghuni cottage, “Kita harus segera pergi dari sini, ini tsunami.” Akhirnya, saya ajak dua anak saya bersama penghuni cottage lainnya, untuk segera meninggalkan cottage. Satu-satunya jalan melewati pintu depan dan melipir melalui Salma Kafe. Saya melihat jelas, Salma Kafe porak poranda, tidak berbentuk lagi. Kursi dan meja terbalik dan rusak. Pintu dan jendela terlepas, dan kaca-kacanya pecah. Saya minta dua anak saya untuk hati-hati dan mengikuti langkah saya, agar tidak menginjak pecahan kaca. Saat itu, kami berjalan tanpa alas kaki, karena sepatu sudah tak tahu pergi ke mana.
ADVERTISEMENT
Salma Kafe kami lalui dengan mulus. Setelah keluar dari Salma Kafe, ternyata halaman hotel sudah dipenuhi barang-barang dan puing-puing yang berserakan. Kursi dan meja dari restoran bergelimpangan di halaman. Genangan air selutut saya. Pemandangannya kacau sekali. Saat kami keluar dari cottage, ternyata penghuni-penghuni hotel di bagian depan sudah menyelamatkan diri. Kami sepertinya yang paling akhir keluar dari hotel. Mobil-mobil yang diparkir di halaman, juga sudah dievakuasi. Saya semakin yakin, ini tsunami, bukan sekadar gelombang pasang.
Setelah sampai jalan raya, saya minta kedua anak saya berdiam dulu di tempat agak lebih tinggi. Saya mengajak pemilik mobil yang masih tertahan di bagian belakang, untuk masuk hotel lagi untuk mengeluarkan mobil. Kami bersama-sama menyingkirkan puing-puing agar mobil kami bisa lewat. Saya dekati mobil saya dan ternyata rusak parah di bagian depan. Saya buka pintunya dan nyalakan mesinnya. Alhamdulillah, masih bisa nyala. Genangan air saat itu mencapai ban mobil saya.
Saya mundurkan mobil, dan kemudian melaju membelah genangan air di hotel, menuju halaman kemudian keluar hotel dan menuju jalan raya. Ada beberapa warga sekitar yang berada di jalan raya meminta kami segera naik ke dataran tinggi. Kata mereka, para penghuni hotel Salsa Beach sudah dievakuasi, termasuk hotel-hotel lain. Mereka juga menginfokan banyak hotel yang rusak berat, jalan raya tertutup oleh puing-puing dan warung-warung yang terseret arus ombak. Lebih aman mengungsi ke bukit.
ADVERTISEMENT
Saya kemudian angkut dua anak saya. Kebetulan di seberang hotel, ada jalan berbatu ke sebuah kampung yang datarannya lebih tinggi. Oleh warga sekitar, kami dibantu ditunjukkan jalannya. Dengan kecepatan kencang, saya melajukan mobil. Kira-kira akhirnya kami berhenti setelah 3 km. “Di sini aman, Pak. Di sini saja. Ini kira-kira kita sudah berada 300 meter dari pantai,” kata seorang warga. Saya lihat beberapa mobil lain, baik berplat B, D, dan F, terparkir di pinggir jalan di kawasan ini.
Saat saya menuju dataran tinggi, banyak juga masyarakat yang mengungsi dengan berjalan kaki dan naik sepeda motor. Kepanikan warga dan karyawan dan penghuni hotel terjadi. Kami bersyukur, kami selamat. Sangat beruntung, saat kejadian listrik tidak padam dan sinyal telepon masih ada. Warga dan para penghuni hotel pun menceritakan apa yang mereka alami. Saya sangat yakin ini tsunami, meski warga tidak merasakan gempa sebelumnya. Saat kami mengungsi, suara dentuman erupsi Gunung Anak Krakatu masih terdengar nyaring.
ADVERTISEMENT
Dari kampung, yang entah apa nama kampungnya inilah, saya kemudian menghubungi WA grup ‘Penjaga Malam’, yang merupakan grup para petugas piket malam redaksi kumparan (kumparan.com). “Siapa piket? Telp saya! Tsunami menerjang Anyer,” begitu bunyi WA ke teman-teman redaksi pukul 22.09 WIB. Laporan saya jelas menggunakan kata ‘tsunami’. Sinyal telepon saat itu sangat lambat. Beberapa kali wartawan saya telepon saya, tapi terputus berkali-kali. Akhirnya saya membuat berita dan kirim ke WA ‘Penjaga Malam’.
Setelah itu, kumparan memberitakan berita awal dengan istilah ‘Tsunami di Anyer’ pukul 22.21 WIB, yang ternyata malah di-bully oleh para netizen dan dibantah oleh BMKG maupun BNPB. Tapi saya perintahkan redaksi tetap menggunakan ‘tsunami.’
“Bi, ini tsunami, bukan gelombang pasang. Saya yang ada di lokasi,” begitu kata saya ke Ikhwanul Habibi, koordinator liputan kumparan.
ADVERTISEMENT
Bagaimana dinamika di redaksi kumparan terkait pemberitaan, apakah ini tsunami atau gelombang pasang? Dan bagaimana pula akhirnya kumparan tetap yakin dengan ’tsunami?’. Saya akan jelaskan di tulisan selanjutnya.
Laporan: Pemimpin Redaksi kumparan Arifin Asydhad