Turban Tak Sekadar Milik Muslim dan Sikh

10 Mei 2017 10:00 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Anies menggunakan turban di Sikh Temple (Foto: Facebook/Anies Baswedan)
Apa yang kamu pikirkan ketika melihat seseorang mengenakan turban? Barangkali kamu akan menyangka orang tersebut berasal dari Arab atau India.
ADVERTISEMENT
Turban, menurut Oxford Dictionaries, didefinisikan sebagai penutup kepala laki-laki yang terbuat dari kain panjang yang dililit di atas kepala.
Tak ada sejarah pasti tentang asal mula turban. Namun banyak orang memercayai bahwa turban berasal dari Timur Tengah.
Salah satu tokoh yang dipercaya menjadi contoh penggunaan turban adalah Nabi Muhammad SAW yang hidup pada tahun 570–632 Masehi.
Dalam perkembangannya, penggunaan turban semakin meluas, baik dari segi warna, bentuk, hingga tujuan. Turban bisa menjadi identitas suatu negara atau wilayah, identitas keagamaan, bahkan kini menjadi fesyen.
Berbagai jenis turban masa lalu (Foto: Wikimedia Commons)
Identitas Daerah atau Bangsa
Penggunaan turban bukan hanya di Timur Tengah, namun juga di Afrika hingga Asia. Turban dikenakan karena berbagai alasan, seperti penanda status sosial atau sekadar tradisi yang diturunkan dari generasi ke generasi.
ADVERTISEMENT
Di Afrika, seperti Ethiopia dan Somalia, turban biasa digunakan oleh golongan aristokrat, pendeta atau pemuka agama, sultan, dan pegawai di pengadilan.
Di Somalia, penggunaan turban bisa dilihat pada masa kepemimpinan Sultan Mohamoud Ali Shire (1897-1960). Sementara di Ethiopia, penggunaan turban dicontohkan oleh Sheikh Abadir Umar ar-Rida yang hidup pada abad ke-13.
Mohamoud Ali Shire, Sultan di Somalia 1897-1960 (Foto: Wikimedia Commons)
Daerah-daerah semenanjung Arab memiliki berbagai jenis penutup kepala laki-laki seperti keffiyeh, ghutrah, shumagh, atau ghabanah. Penutup kepala serupa turban --mereka sebut gabhanah, merupakan tradisi yang hidup di antara kelas menengah.
Turban biasanya berwarna putih. Namun turban berwarna kuning juga kerap digunakan, terutama di Aleppo, Suriah.
Di Oman dan Afghanistan, turban menjadi salah satu pakaian nasional dengan warna dan corak lebih beragam.
ADVERTISEMENT
Sementara Myanmar mengenal turban dengan nama gaung baung sejak 1800-an. Gaung baung dalam bahasa Burma berarti penutup kepala, digunakan oleh berbagai suku seperti Bamar, Mon, Rakhine, Shan, dan Tai Yuan.
Gaung baung biasa dikenakan dalam acara formal atau upacara adat. Bahannya berasal dari sutra atau katun dengan ukuran panjang 1,5 meter dan lebar 30 sentimeter.
Di India, turban disebut dengan nama pagri, yang bermakna penghormatan dan penghargaan. Pagri biasa digunakan pada acara-acara tertentu.
Pagri berwarna kunyit digunakan dalam acara formal seperti rapat-rapat. Pagri berwarna putih menjadi tanda kedamaian dan biasa digunakan oleh orang tua. Sementara pagri warna merah muda menjadi simbol musim semi dan digunakan dalam pernikahan.
ADVERTISEMENT
Beralih ke Eropa, Yunani menyebut turban dengan nama sariki. Sariki diambil dari bahasa Turki, sarikh, namun kini lebih dikenal dengan sebutan kritiko mandili (Cretan kerchief).
Turban di Yunani biasanya digunakan oleh orang tua di daerah pedesaan dengan warna hitam sebagai penanda duka cita dan warna putih yang biasa digunakan dalam pesta.
Indonesia juga mengenal penutup kepala sejenis turban seperti iket, yang berarti mengikat. Iket dianggap muncul sebagai pengaruh turban yang dibawa oleh orang-orang Gujarat, India, ke Indonesia melalui perdagangan sejak abad ke-13.
Penggunaan iket sangat beragam, baik dari kain, corak dan warna, hingga gaya penggunaannya. Iket di Jawa sampai Bali memiliki banyak nama, seperti Udeng, Bendo, atau Totopong.
ADVERTISEMENT
Iket dipercaya sebagai pelindung dari makhlus halus, selain fungsi praktisnya sebagai pelindung kepala. Di Bali, iket atau udeng biasa digunakan saat pergi ke Pura.
Dedy Mulyadi yang hobi mengenakan iket Sunda (Foto: Istimewa)
Identitas Agama
Penggunaan turban di berbagai negara pada dasarnya juga tidak bisa terlepas dari pengaruh agama. Turban barangkali paling banyak dikenal dari Islam dan Sikhisme. Namun, Kristen dan Yahudi juga mengenal turban.
Umat Kristen di Kenya, bernama Akorino, menggunakan turban sebagai bagian dari perintah Tuhan. Turban digunakan baik oleh laki-laki atau perempuan dengan warna putih.
Sementara turban di kaum Yahudi digunakan oleh para pendeta sebagai bentuk ketundukan pada Sang Pencipta. Kepala yang telanjang tanpa penutup apapun, dianggap sebagai bentuk kekurangajaran pada Tuhan.
ADVERTISEMENT
"A Man in a Turban" oleh Van Eyck (Foto: Wikimedia Commons)
Perintah penggunaan turban tercatat dalam kitab suci Exodus (29:6) yang mengatakan, “Put the turban on his head and attach the sacred emblem to the turban.”
Penggunaan turban bagi para pendeta Yahudi pada mulanya juga menjadi identitas yang membedakan mereka dari kelompok lainnya.
Namun, pada abad ke-7, umat Kristen dan Yahudi yang berada dalam kekaisaran Islam, bersepakat untuk tidak menyerupai umat Muslim. Salah satunya dalam cara berpakaian, termasuk penggunaan turban.
Pendeta Yahudi di daerah-daerah lain masih mengenakan turban hingga setidaknya abad ke-20. Para pendeta kemudian mengganti turban dengan penutup kepala lain seperti kippah atau yarmulke.
Umat Islam menjadi salah satu kaum yang paling banyak dilekatkan dengan turban.
ADVERTISEMENT
Penggunaan turban sebagai penutup kepala laki-laki di kalangan umat Islam meluas setelah abad ke-7, terlebih sebagai upaya untuk meniru Nabi Muhammad SAW. Penggunaan turban menjadi sunah di kalangan Muslim, khususnya untuk beribadah.
Warna turban yang biasa digunakan adalah putih, yang dianggap sebagai simbol kesucian.
Dalam perkembangannya kemudian, umat Islam tidak hanya mengenal turban sebagai penutup kepala. Di Indonesia, misalnya, laki-laki Muslim mengenal kopiah, peci, atau songkok.
Para penganut agama Sikh juga menggunakan turban. Bahkan seringkali mereka disangka Muslim gara-gara turbannya.
Maharaja Ranjit Singh, salah seorang tokoh Sikh (Foto: Wikimedia Commons)
Agama Sikh adalah agama monoteis baru yang didirikan oleh Guru Nanak dan berkembang pada abad ke-15 di distrik Punjab. Guru Nanak (1469-1539), inovator dan pendiri agama Sikh, menggabungkan pemikiran agama Hindu dan Islam.
ADVERTISEMENT
Penggunaan turban atau destar --yang berarti ikat kepala-- bagi penganut Sikh merupakan hadiah dari Guru untuk para penganutnya.
Penggunaan turban, gelang “kara”, dan jenggot adalah identitas dan simbol bahwa orang tersebut mendedikasikan diri pada Guru.
“Dengan turban, orang Sikh akan terlihat meskipun berada di antara sejuta orang,” ujar Guru Gobind Singh Ji.
Bagi kaum Sikh, turban bukan sekadar kain penutup kepala. Turban adalah mahkota bagi setiap orang. Guru Gobind Singh Ji mengatakan, tujuan utama penggunaan turban untuk merawat rambut, mempromosikan kesetaraan, dan menghadirkan identitas Sikh.
Pemeluk Sikh menggunakan sorban (Foto: Pixabay)
Turban juga menjadi simbol penghormatan pada Tuhan. Bagi kaum Sikh, Tuhan hadir di manapun dan kapanpun. Untuk itulah mereka senantiasa menggunakan turban, meski bukan pada waktu-waktu ibadah.
ADVERTISEMENT
Warna turban yang biasa digunakan oleh kaum Sikh bukan merah atau hijau, namun putih, hitam, biru, dan kuning kunyit.
Turban putih biasa digunakan oleh orangtua. Warna biru dongker umum digunakan oleh para pejabat, khususnya di India. Turban kuning kunyit biasa digunakan di berbagai negara sebagai simbol kebijaksanaan. Sementara turban hitam adalah simbol menghilangkan ego.
Warna-warna turban lainnya di antara kaum Sikh lebih banyak ditujukan sebagai fesyen, agar serasi dengan jas yang digunakan, misalnya.
"Lorette with Turban & Yellow Vest"-Henri Matisse (Foto: Wikimedia Commons)
Tren Fesyen
Turban sebagai fesyen berkembang pesat terutama di kalangan perempuan. Setidaknya sejak Juli 2014, tren penggunaan turban sebagai penutup kepala bagi perempuan meningkat.
Sederet selebriti Hollywood seperti Jennifer Lopez, Sarah Jessica Parket, Beyonce, dan Eva Mendez pernah terlihat menggunakan turban.
ADVERTISEMENT
Turban bukan lagi milik laki-laki, penganut Sikh, Punjabi, atau agama lain.
Potret turban yang digunakan oleh perempuan pertama kali muncul dalam lukisan karya Jan Vermeer berjudul “Girl with a Pear Earring” pada abad ke-17. Perempuan dalam lukisan tersebut tampak menggunakan pakaian ala budaya Turki.
Sebagai fesyen, turban muncul setidaknya sejak abad ke-20.
Paul Poiret pada 1919 menghadirkan kembali turban sebagai aksesoris fesyen, namun dengan sentuhan gaya Eropa. Pada 1930, turban sempat menjadi simbol bagi perempuan berpendidikan, modis, dan penjelajah.
Pada 2010 dan 2011, turban bahkan hadir dalam peragaan busana milik Jason Wu, Vena Cava, dan Giorgio Armani.
Turban sebagai fesyen (Foto: Youtube)
Turban sebagai fesyen menuntut kepercayaan diri yang tinggi. Menggunakan turban --yang lekat dengan budaya Arab, juga menjadi pernyataan politik terkait konflik yang tak kunjung usai di wilayah Timur Tengah.
ADVERTISEMENT
“Penggunaan turban menunjukan pernyataan politik yang kuat, seperti halnya menggunakan celana harem. Kita mengambil elemen budaya tersebut dan menginternalisasikannya,” jelas June Ambrose, desainer ternama asal Amerika Serikat.
Di balik sepotong kain panjang yang dililitkan pada kepala ini, nyatanya terkandung beragam makna, cerita, dan sejarah yang melintasi batas-batas negara dan kebudayaan.