UU Pos Digugat, MK Diminta Larang Perusahaan Logistik Buka Paket Berupa Surat

15 September 2020 13:07 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi surat. Foto: Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi surat. Foto: Pixabay
ADVERTISEMENT
UU Nomor 38 Tahun 2009 tentang Pos digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK). Terdapat 2 pihak yang menggugat UU tersebut yakni PT Pos Indonesia (Persero) selaku pemohon I dan seorang warga negara bernama Harry Setya Putra selaku pemohon II.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan isi gugatan, Pos Indonesia mempersoalkan berlakunya UU Pos yang membuat mereka kehilangan hak eksklusif dalam penyelenggaraan pos.
Sebab telah terjadi liberalisasi penyelenggaraan pos yang membuat menjamurnya perusahaan logistik swasta.
Sementara Harry mempersoalkan hal lain. Ia menggugat Pasal 1 angka (8) yang menyamakan surat, baik fisik maupun elektronik, dengan kiriman lainnya berupa paket, logistik, atau uang.
Berikut bunyi Pasal 1 angka 8 UU Pos:
Kiriman adalah satuan komunikasi tertulis, surat elektronik, paket, logistik, atau uang yang dikirim melalui penyelenggara pos.
"Pasal 1 angka 8 telah melanggar hak atas kerahasiaan surat menyurat karena mempersepsikan sama antara surat dengan jenis kiriman lainnya yakni paket, logistik, atau uang dalam satu kesatuan defninsi yakni kiriman," isi gugatan yang didaftarkan ke MK pada 11 September.
Suasana sidang Pengujian Materiil Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2020 di Mahkamah Konstitusi, Jakarta. Foto: ANTARA FOTO/Aprillio Akbar
Harry menilai berlakunya Pasal 1 angka 8 UU Pos membuat perusahaan logistik bisa membuka isi surat untuk memastikan kebenarannya sesuai Pasal 29 ayat (2) UU Pos. Sebab surat termasuk jenis kiriman.
ADVERTISEMENT
Pasal 29 ayat (2) UU Pos yang berbunyi:
Penyelenggara Pos berhak membuka dan/atau memeriksa kiriman di hadapan pengguna layanan pos untuk mencocokkan kebenaran informasi kiriman sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
"Dengan menyamakan surat menyurat dengan jenis kiriman lainnya, dengan sendirinya UU Pos telah memberikan hak bagi setiap penyelenggara pos untuk memeriksa dan membuka isi kiriman, termasuk dalam bentuk surat fisik atau elektronik, sebagaimana dalam ketentuan Pasal 29 ayat (2) UU Pos," ucap Harry dalam gugatan itu.
Padahal, kata Harry, MK melalui putusan nomor 50/PUU-VI/2008 yang menerjemahkan artikel 12 dan 17 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM), menyatakan surat menyurat atau korespondensi merupakan bagian hak privasi warga negara.
Ilustrasi surat Foto: Pixabay
Sehingga menyamakan surat dengan jenis kiriman lainnya, apalagi bisa dibuka penyelenggara pos atau logistik sebagaimana Pasal 29 ayat (2), dinilai telah melanggar hak privasi warga negara.
ADVERTISEMENT
"Pasal 29 ayat (2) telah membuka ruang bagi pihak lain, in casu penyelenggara pos untuk mengakses privasi seseorang yang seharusnya terlindungi dan bebas dari campur tangan siapa pun. Hal ini jelas dapat menimbulkan kerugian warga negara pengguna layanan pos. Sebab terdapat kemungkinan informasi atau isi srat yang dikirim akan tersebar luas kepada pihak lain," jelas gugatan tersebut.
Ilustrasi amplop surat. Foto: Shutterstock
Sehingga Harry meminta MK menyatakan frasa 'kiriman' yang diatur dalam Pasal 1 angka 8 UU Pos dikecualikan untuk surat menyurat.
"Menyatakan kata kiriman dalam Pasal 1 angka 8 UU Pos tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dengan segala akibat hukumnya sepanjang kata tersebut dimaknai juga sebagai surat," isi permohonan Harry.