Wamen LHK Mediasi dan Beri Solusi Sengketa Lahan di Desa Kinipan, Kalteng

12 September 2020 15:02 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
KLHK mediasi perselisihan masyarakat Desa Kinipan dan perusahaan swasta soal pengelolaan lahan hutan. Foto: Dok. KLHK
zoom-in-whitePerbesar
KLHK mediasi perselisihan masyarakat Desa Kinipan dan perusahaan swasta soal pengelolaan lahan hutan. Foto: Dok. KLHK
ADVERTISEMENT
Wakil Menteri (Wamen) Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Alue Dohong bersama Komisi IV DPR RI, mengunjungi Kabupaten Lamandau, Kalimantan Tengah, pada Rabu (9/9). Kunjungan ini menyikapi perselisihan atas sengketa lahan dan pengelolaan hutan yang terjadi antara masyarakat Desa Kinipan dengan Perusahaan Besar Swasta (PBS) yaitu PT. SML.
ADVERTISEMENT
Alue Dohong bersama Wakil Komisi IV DPR RI, Dedi Mulyadi dan anggota Komisi Darori Wonodipuro dan Bambang Purwanto datang ke Lamandau untuk melihat dan mendengar langsung kondisi faktual dari semua pihak yang berselisih.
Setibanya di Kantor Bupati Lamandau, rombongan Wamen dan Komisi IV disambut Bupati Lamandau, Hendra Lesmana, yang kemudian dilanjutkan dengan dialog bersama pemkab, masyarakat dan berbagai stakeholder.
KLHK mediasi perselisihan masyarakat Desa Kinipan dan perusahaan swasta soal pengelolaan hutan. Foto: Dok. KLHK
Masyarakat yang hadir di antaranya adalah perwakilan dari Desa Kinipan, Kecamatan Batangkawa, masyarakat Desa Karang Teba, Kecamatan Lamandau, anggota DPRD Kabupaten Lamandau, dan masyarakat lain yang berkepentingan.
Alue Dohong saat memberikan arahan, menegaskan pemerintah memperhatikan dinamika permasalahan yang terjadi.
“Kehadiran kami menandakan perhatian pemerintah, artinya pemerintah tidak abai dengan kasus ini, termasuk kehadiran Komisi IV DPR RI sekarang ini menunjukkan bahwa beliau-beliau ini juga concern terhadap masalah ini,” terang Alue Dohong.
KLHK mediasi perselisihan masyarakat Desa Kinipan dan perusahaan swasta soal pengelolaan hutan. Foto: Dok. KLHK
Guna mencari solusi atas perselisihan, Wamen Alue Dohong menjelaskan Presiden Jokowi telah membuat sejumlah corrective action atas kebijakan-kebijakan pemerintah yang kurang ideal. Salah satunya adalah dengan memberikan akses kepada masyarakat untuk terlibat di dalam mengelola hutan di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Hal itu juga termasuk legalisasi aset masyarakat melalui program Tanah Obyek Reforma Agraria (TORA) maupun Hutan Sosial. TORA yang memiliki target sebesar 4,1 juta hektare (Ha) pelepasan kawasan hutan bertujuan untuk memastikan tanah masyarakat memiliki alas legal yang resmi.
KLHK mediasi perselisihan masyarakat Desa Kinipan dan perusahaan swasta soal pengelolaan hutan. Foto: Dok. KLHK
Sedangkan Hutan Sosial memiliki target sebesar 12,7 juta Ha memberikan akses legal masyarakat untuk mengelola kawasan hutan. Salah satu objek TORA adalah alokasi 20 persen dari izin pelepasan kawasan hutan yang diberikan kepada perusahaan.
"Jadi 20 persen dari izin itu untuk plasma yang merupakan obyek TORA, itu adalah kewajiban bagi perusahaan," jelas Alue Dohong.
Alue Dohong menambahkan, kewajiban perusahaan selanjutnya adalah harus mengidentifikasi kawasan-kawasan hutan yang bernilai konservasi tinggi atau High Conservation Value (HCV) di lokasi izinnya.
ADVERTISEMENT
"Artinya, dari izin tersebut tidak serta-merta semuanya dibuka, jika ada hutan yang bagus, ada biodiversitas flora dan satwa endemik yang dilindungi di sana, harus di alokasikan sebagai HCV," terang Alue Dohong.
KLHK mediasi perselisihan masyarakat Desa Kinipan dan perusahaan swasta soal pengelolaan hutan. Foto: Dok. KLHK
Berkaitan dengan perselisihan yang terjadi Desa Kinipan, Alue Dohong menerangkan pemerintah selain sebagai regulator, juga ketika terjadi konflik berperan sebagai dinamisator, mediator, dan fasilitator. Fungsi tersebut bertujuan agar konflik tidak semakin meluas.
Solusi yang coba ditawarkan kepada pihak yang berselisih di Desa Kinipan adalah dengan melihat situasi dan kondisi masyarakat terlebih dahulu. Jika memang maunya dijadikan hutan adat, maka ada prosedurnya. Namun harus kita dengar juga masyarakat yang menginginkan kebun plasma dari PBS yang menerima izin.
"Hutan adat memang memerlukan legal formal, pengakuan hukum negara, namun kita jangan melihat hanya objek dan subyek hutan adat dari sisi tersebut saja. Jika memang terdapat praktek-praktek tradisional dan turun-temurun di sana, itu merupakan satu kesatuan," jelas Alue Dohong.
ADVERTISEMENT
"Kalau memang ada sebagian Desa Kinipan tidak mau menerima kebun plasma, dan di sana memang masih berupa hutan, dapat dijadikan sebagai hutan adat sebagai bagian dari HCV pada lokasi izin," imbuh Alue Dohong.
KLHK mediasi perselisihan masyarakat Desa Kinipan dan perusahaan swasta soal pengelolaan hutan. Foto: Dok. KLHK
Namun Alue Dohong mengingatkan, untuk memperhatikan juga masyarakat yang memerlukan kebun plasma untuk perekonomian mereka. Secara teknis, apabila wilayah tersebut adalah Areal Penggunaan Lain (APL), maka yang diperlukan adalah SK Bupati tentang Hutan Adat. Namun jika wilayahnya adalah hutan negara, maka sesuai regulasi, membutuhkan Peraturan Daerah (Perda).
Kemudian, Alue Dohong juga menerangkan solusi lainnya yang mungkin dapat digunakan yaitu dengan salah satu skema dalam program Hutan Sosial.
"Lokasi HP dan HPK yang ada di wilayah Desa Kinipan namun di luar konsesi memungkinkan untuk dijadikan Hutan Desa yang dikelola oleh masyarakat adat," terang Alue Dohong.
ADVERTISEMENT
"Sebetulnya konflik ini dapat diatasi jika kita serius, namun jika persoalan ini berkepanjangan, maka akan mengganggu semua pihak, masyarakat tidak nyaman, dan perusahaan terganggu," ungkap Alue Dohong.
Selanjutnya, pembicaraan dan mediasi pada tingkat lebih teknis untuk mencapai kesepakatan bersama akan dilangsungkan kembali dengan melibatkan masyarakat, PBS, Pemkab Lamandau, dan KLHK.
----------------------------------
Simak panduan lengkap corona di Pusat Informasi Corona