WHO Serukan Resiliensi Fasilitas dan Tenaga Kesehatan di GPDRR 2022

27 Mei 2022 15:42 WIB
ยท
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Kantor WHO di Jenewa, Swiss. Foto: Shutter Stock
zoom-in-whitePerbesar
Kantor WHO di Jenewa, Swiss. Foto: Shutter Stock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menekankan resiliensi fasilitas dan tenaga kesehatan dalam pertemuan Global Platform for Disaster Risk Reduction (GPDRR) ke-7 di Bali pada Jumat (27/5/2022).
ADVERTISEMENT
GPDRR merupakan forum internasional khusus isu kebencanaan. Kantor PBB untuk Pengurangan Risiko Bencana (UNDRR) menyelenggarakannya setiap tiga tahun sekali.
Indonesia turut mengetuai agenda kali ini yang pertama kali berlangsung di Asia. Forum tersebut digelar pada 23-28 Mei 2022 di Bali Nusa Dua Convention Center (BNDCC).
GPDRR menyatukan pemerintah, sistem PBB dan seluruh pemangku kepentingan dalam rangkaian diskusi. Mereka membahas pengalaman dan pandangan dalam manajemen risiko bencana.
Tema GPDRR 2022 ialah From Risk to Resillience: Towards Sustainable Development for All in a COVID-19 Transformed World (Dari Risiko ke Ketangguhan: Menuju Pembangunan Berkelanjutan untuk Semua di Dunia yang Ditransformasi COVID-19).
Pemerintah Indonesia menggarisbawahi, dunia perlu membangun resiliensi atau ketangguhan dalam menghadapi bencana.
ADVERTISEMENT
Ketangguhan itu tak hanya muncul saat bencana menerjang, tetapi harus berkelanjutan. Sehingga, dunia bisa mengantisipasi bencana mendatang.
Ketangguhan berkelanjutan perlu dibangun dalam masyarakat bahkan dari tingkat terkecil. WHO kemudian turut menilik urgensi pembangunan ketangguhan dalam fasilitas dan petugas medis pula.
Presiden Joko Widodo berbincang dengan Deputi Sekjen PBB Amina Mohammed (kiri), dan Wakil Presiden Zambia W.K. Mutale Nalumango (kanan) sebelum upacara pembukaan GPDRR 2022 di Nusa Dua, Bali, Rabu (25/5/2022). Foto: Aprillio Akbar/ANTARA FOTO
Pimpinan Teknis COVID-19 WHO, Maria Van Kerkhove, dan Direktur Kesiapsiagaan Keamanan Kesehatan WHO, Stella Chungong, mendiskusikan isu itu dalam sesi pada Jumat (27/5/2022). Agenda sampingan tersebut juga dihadiri perwakilan dari Federasi Internasional Asosiasi Mahasiswa Kedokteran (IFMSA), Iris Blom.
Bencana alam maupun non-alam semakin merisaukan lantaran adanya ketimpangan akses. Kesenjangan memang telah ada sebelum bencana singgah. Namun, bencana seperti pandemi kian menonjolkannya.
Pandemi pun masih berlangsung di beragam sudut dunia akibat kurangnya memiliki akses terhadap obat-obatan esensial, teknologi, dan vaksin.
ADVERTISEMENT
Kendati demikian, kerugian tersebut sebenarnya bisa diminimalkan. Pencegahan keadaan darurat dapat membendung dampak kesehatan, sosial, dan ekonomi dari setiap krisis. Para pemangku kepentingan dari berbagai sektor lantas mengemban peran penting dalam mewujudkannya.
Blom menegaskan, krisis kesehatan tidak dapat ditangani oleh satu kelompok profesi atau organisasi. Dia menyerukan kerja sama antar bangsa secara efisien dan cepat.
"Sisi malangnya, selain mengalami kedaruratan kesehatan yang begitu mengerikan, kita juga harus mengalami sistem kesehatan yang lemah yang tidak siap menghadapi pandemi. Di beberapa negara, ketidakadilan kesehatan juga semakin memperburuk krisis, yang menyoroti disparitas besar yang kita alami," tutur Blom.
"Banyak negara di dunia kekurangan pengetahuan, keahlian, dan rencana aksi strategis," lanjut dia.
Ilustrasi vaksin corona. Foto: Dado Ruvic/REUTERS
Blom mengatakan, sistem informasi kesehatan tidak disokong dengan baik. Tenaga kesehatan pun tidak mendapatkan pemberdayaan dan pelatihan yang diperlukan.
ADVERTISEMENT
Mereka kesulitan beralih ke teknologi digital tanpa adanya kapasitas. Tetapi, sebagian pemerintah bahkan mendorong tenaga kesehatan yang baru lulus atau akan lulus ke garis depan pertarungan melawan pandemi.
Blom kemudian menyerukan akses pengetahuan, keterampilan, dan kompetensi yang dibutuhkan para tenaga kesehatan. Chungong membalas seruan tersebut.
Dia menerangkan, WHO dan mitranya telah menerapkan pembelajaran mereka atas COVID-19. Pihaknya telah berupaya memperkuat keamanan kesehatan dan ketangguhan komunitas internasional.
Pandemi COVID-19 telah menonjolkan peran penting fasilitas kesehatan sebagai penyedia utama layanan penyelamatan jiwa dalam keadaan darurat dan bencana.
Sehingga, petugas medis membutuhkan akses berkelanjutan untuk suplai medis dari alat pelindung hingga pasokan air dan listrik yang bisa diandalkan.
"Semua ini merupakan komponen integral dari sistem kesehatan yang tangguh. Kemampuan fasilitas kesehatan untuk menanggapi keadaan darurat tergantung pada kapasitas untuk memberikan layanan rutin," jelas Chungong.
Maria Van Kerkhove dalam sesi tanya jawab WHO, Selasa (9/6). Foto: WHO (@WHO) via Twitter
WHO menyiapkan tanggap darurat fasilitas medis melalui berbagai dukungan berkelanjutan. Pihaknya memberikan pelatihan sampai bantuan teknis untuk menilai keamanan fasilitas.
ADVERTISEMENT
"WHO melakukan banyak pekerjaan untuk mendukung pengurangan risiko bencana, dan dalam membangun fasilitas kesehatan yang aman dan tangguh," ujar Chungong.
"WHO telah mengembangkan alat yang berguna untuk memberikan dukungan kepada negara-negara untuk mengatasi tantangan langsung, sambil memastikan tujuan jangka panjang tidak dirusak dalam prosesnya," sambung dia.
Salah satu inisiatif itu ialah Global Emergency and Trauma Care (GETI). Program yang diluncurkan pada 2019 itu bertujuan meningkatkan kapasitas perawatan darurat di seluruh dunia.
Melalui GETI, WHO dan mitranya mendukung negara berpenghasilan rendah dan menengah untuk menilai sistem perawatan darurat nasional mereka.
Negara-negara tersebut mengidentifikasi kekurangan lalu menerapkan intervensi untuk mengatasi kesenjangan.
Selain itu, WHO juga mendorong lingkungan yang aman dari tindakan kekerasan bagi para tenaga kesehatan.
ADVERTISEMENT
"Alasan untuk berinvestasi di fasilitas kesehatan yang aman dan tangguh tidak pernah sekuat sekarang," tegas Chungong.
Memberdayakan tenaga kesehatan, WHO turut menyediakan sejumlah pelatihan. Badan itu menawarkan lebih dari lima kursus terkait COVID-19 yang dapat diakses melalui laman resminya.
"Kami memiliki banyak pengalaman dalam memberikan dukungan negara. [Dukungan] Ini hanya akan meningkat seiring waktu dan terutama karena kami [kini] dapat berkeliling dunia dengan dunia yang sudah terbuka [usai pandemi] dan tentu saja mengoordinasikannya di banyak program yang berbeda," tambah Kerkhove.