Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Yang Mengintai di Bantargebang: Bencana dan Penyakit
28 September 2017 11:44 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:15 WIB
ADVERTISEMENT
Hidup di antara timbunan sampah yang menjulang puluhan meter bukan perkara sederhana. Banyak bahaya mengintai, dari masalah kesehatan sampai keselamatan. Sebabnya mulai dari pencemaran lingkungan sampai bencana akibat kelalaian manusia.
ADVERTISEMENT
Salah satu bencana yang seringkali menimpa masyarakat, terutama pemulung, di Tempat Pembuangan Sampah Terpadu (TPST) Bantargebang, Bekasi, Jawa Barat, adalah longsor dan terbakarnya gunung sampah.
Tercatat sejak tahun 2011 hingga 2016, sudah terjadi setidaknya dua kali longsor. Pada 17 Mei 2011, gunung sampah di Bantargebang longsor dan menimpa Amin, seorang pemulung. Amin tewas setelah tertimbun longsoran sampah sedalam 15 meter. Lalu pada 27 Januari 2016, gunung sampah kembali longsor dan menimpa pemulung bernama Rusminah.
Usman (53)--tokoh masyarakat di Kampung Ciketing Sumurbatu, Kelurahan Sumurbatu, Kecamatan Bantargebang--menuturkan kepada kami bahwa potensi longsor sangat mungkin terjadi ketika timbunan sampah sudah melampaui batas.
“Sekarang zona saja sudah penuh semua. Entah bagaimana kelanjutannya DKI Jakarta buang sampah. Itu sampah sudah tinggi. Yang kami khawatirkan terjadi kelongsoran yang pernah terjadi. Karena saking sudah tidak layaknya bang sampah dan kekuatan untuk menopang sampah di atas, ditambah curah hujan setiap hari deras,” jelas Usman kepada kumparan, Jumat (15/9).
ADVERTISEMENT
“Tidak seperti gunung yang saling menopang dengan akar, ini sampah. Sekarang lagi musim kemarau, tapi yang kami khawatirkan adalah di musim hujan nanti. Gunung aja bisa longsor kalau di musim hujan, apalagi sampah,” imbuhnya.
Jika di musim hujan potensi bencana longsor gunung sampah itu mengintai, maka pada musim kemarau potensi bencana berubah menjadi kebakaran. Ketika itu terjadi, kata Usman, tidak bisa tidak sebagian besar masyarakat di sekitar TPST Bantargebang mesti mengungsi.
Asap dari pembakaran sampah benar-benar bisa menyerang sistem pernapasan. Sekali terjadi kebakaran, kata Usman, paling tidak membutuhkan waktu satu minggu untuk memadamkannya. Itu pun jika mengerahkan kekuatan gabungan pemadam kebakaran dari pemerintah Jakarta, Bekasi, dan Bogor.
“Itu berapa pemadam kebakaran--DKI Jakarta, Kota Bekasi, Kabupaten Bekasi, Kabupaten Bogor--turun semua. Karena asapnya sampai Bogor sana. Karena bersatu, satu minggu sudah bisa dipadamkan. Dulu sebelum bersatu, bisa sampai satu bulan baru padam,” ujar Usman.
ADVERTISEMENT
Bencana kebakaran sampah di TPST Bantargebang bukan saja terjadi karena faktor cuaca panas. Melainkan juga banyak pemulung bandel yang membuang sembarangan puntung rokok yang masih menyala ketika mereka mengais rezeki di atas tumpukan sampah itu.
Kesadaran akan bahayanya gas yang dihasilkan dari ribuan ton sampah itu tidak banyak diketahui pemulung. Penyuluhan untuk memberitahukan bahaya tersebut juga tidak pernah dilakukan. Biasanya, kata Usman, hanya ada semacam papan pemberitahuan yang memperingatkan agar tidak merokok ketika berada di atas timbunan sampah.
“Merokok di atas, dia lempar kena tisu, merambat-rambat, kena angin kencang, lalu nyala api. Pemulung mah bandel. Cuma dikasih plang aja dilarang merokok. Ya pemulung kan ngomong enak aja, ‘emangnya ini pom bensin’,” kata Usman.
ADVERTISEMENT
Di samping kedua bencana tersebut, menurut Usman, dekatnya kehidupan masyarakat di sekitar TPST Bantargebang dengan sampah, tidak serta-merta mengakibatkan suatu penyakit serius.
Masalah utama yang timbul dari sampah adalah pencemaran air. Usman pun mengaku, selain untuk keperluan mencuci, ia dan keluarganya tidak pernah menggunakan air tanah untuk dikonsumsi.
Pendapat Usman itu dibenarkan oleh Kepala Puskesmas Bantargebang, Andrizal. Ia menuturkan, kecuali karena longsor dan kebakaran, selama ini belum pernah ada masalah serius terkait timbunan sampah kepada kesehatan masyarakat yang hidup di sekitar TPST Bantargebang.
“Kalau penyakit khusus akibat sampah enggak terlalu signifikan, hanya penyakit biasa saja. Seperti infeksi saluran nafas biasa, pencernaan. Bukan dampak kena sampah,” kata Andrizal di sela acara program kesehatan di salah satu Posyandu di Bantargebang, Jumat (15/9).
ADVERTISEMENT
“Lalu mungkin (ada) masalah pencemaran air. Tapi kalau masalah penyakit kulit, gatal-gatal, enggak banyak kasusnya. Ada, tapi sebenarnya sih penyakit yang biasa diderita masyarakat umum. Enggak sampai wabah,” tambahnya.
Menurut data resmi milik pemerintah Kelurahan Sumurbatu, disebutkan bahwa sungai secara definitif telah terkena pencemaran sampah TPST Bantargebang. Lalu air sumur, udara, dan lahan pertanian, disebut sebagian telah tercemar pula.
Kondisi itu cukup miris, mengingat mayoritas penduduk berprofesi sebagai petani, yakni sebanyak 1.156 orang.
Kendala yang dihadapi petugas kesehatan di Bantargebang untuk memantau kesehatan pemulung secara khusus, menurut Andrizal, dikarenakan banyak dari para pemulung yang tinggal berpindah-pindah. Terutama mereka yang tinggal di bedeng-bedeng kumuh.
Terkadang para pemulung tersebut menghilang selama dua hingga tiga bulan, lalu kembali lagi. Sehingga pendataan untuk keperluan kesehatan seringkali tidak memadai untuk mencakup semua pemulung.
ADVERTISEMENT
Di Kelurahan Sumurbatu sendiri setidaknya terdapat 419 orang yang bekerja sebagai pemulung. Menurut Lurah Sumurbatu, Abdul Rohim, semua pemulung yang di kelurahannya itu berasal dari luar daerah.
“Tidak ada masalah kesehatan serius. Tatkala sampah sedang diaduk, aromanya mungkin (mengganggu). Sewaktu-waktu kalau pas badan lagi enggak fit, ya bisa sakit. Atau kalau, katakan, yang namanya musibah apabila ada kebakaran di TPST, mungkin dari asapnya itu bisa sesak napas,” ujar Abdul saat ditemui di kantornya.
Untuk mengantisipasi terjadinya masalah kesehatan serius akibat sampah, Puskesmas Kecamatan Bantargebang memiliki tiga program rutin, yaitu program kesehatan lingkungan, program gizi, dan program penyakit menular.
Cardim (55), pemulung yang sudah berjibaku dengan sampah selama 28 tahun, tidak pernah merasakan penyakit khusus sebagai imbas dari pekerjaannya memulung.
ADVERTISEMENT
“Kalau penyakit ya anggap biasa deh, namanya juga penyakit. Bukan pemulung, bukan warga biasa, masalah penyakit mah sama aja,” ujar Cardim.
Sakit misalnya hinggap di tubuh Cardim kala ia bekerja terlalu keras. Begitu pun yang dirasakan Wawan (32) yang menjadi pemulung sejak tiga tahun lalu.
“Belum pernah (kena penyalit) sih, alhamdulillah. Biarpun penyakit gatal atau apa, belum pernah. Selama saya mulung belum pernah,” tukasnya.
Warga asli Karwang itu merasa semua berjalan biasa saja di Bantargebang. “Dokter memang menyarankan jangan sampai kena infeksi. Ya, udaranya memang di lingkungan sampah seperti ini, mau bagaimana lagi.”
Para pemulung Bantargebang bak sudah menyatu dengan gunung sampah di sekitar mereka.