Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Di antara jeda sidang pertama dan sidang lanjutan, Yuli dibantu pengacara yang disediakan sang majikan, berupaya menghubungi Department of Justice Hong Kong untuk menunjukkan bahwa kasusnya tak mesti melalui persidangan apalagi penahanan.
“Department of Justice, tiga hari sebelum persidangan itu memberikan surat kepada pengacara bahwa Yuli tidak akan kami tuntut tapi dia harus mengaku bahwa dia sudah melanggar izin tinggal. Itu saja,” ucap Yuli saat konferensi pers di Surabaya, Selasa (3/12). Putusan sidang pada 4 November pun hanya memperingatkan Yuli agar tak mengulangi kesalahan serupa dan jangan melanggar hukum. Tapi, meski ia telah mengakui kesalahan dan membayar biaya persidangan, kasusnya tak juga usai.
Saat ia akan mengambil dokumennya ke Kantor Imigrasi Kowloon Bay, kasus Yuli ternyata dilimpahkan ke Castle Peak Bay Immigration Center (CIC). “Kasus pembantumu spesial,” ucap Yuli menirukan ucapan pengacaranya kepada si majikan.
Penggemar Haruki Murakami ini pun segera pergi ke CIC untuk mengetahui kelanjutan kasusnya. Setiba di sana, Yuli baru mengetahui bahwa ia harus ditahan padahal tak ada satu pun putusan pengadilan berkata begitu.
“Kami berpraduga dan menghubungkan proses penangkapan saya sehubungan dengan aktivitas saya menulis, yang saat itu entah kebetulan atau tidak, sedang viral di media lokal berbahasa Kantonis di Hong Kong.
Pada 19 September 2019, penerima Taiwan Literature Award for Migrants pada 2018, ini memang sempat diwawancarai oleh mingpao.com. “Hong Kongers toil for freedom. Back home in Indonesia there is democracy, but it doesn't work well. It would be great if Indonesians, too, embody the Hong Kong spirit,” ucap Yuli saat itu.
Setelah 28 hari ditahan dan dipaksa menandatangani pernyataan yang berbunyi bahwa dirinya minta dipulangkan, Yuli kembali ke Indonesia. Menggunakan pesawat Cathay Pacific CX 779 jurusan Hong Kong-Surabaya, Yuli tiba di Indonesia pada Selasa (3/12) pukul 17.50 WIB. Kedatanganya disambut hangat oleh teman-teman AJI Surabaya yang segera menyiapkan konferensi pers untuknya.
Selang tiga hari, konferensi pers kedua digelar. Pada Jumat (6/12) siang itu, kumparan sengaja meminta waktu khusus untuk berbincang bersamanya. Hari itu, wajah Yuli tampak lelah. Matanya sayu dan sembap. Ia berkata kurang tidur sebab rasa cemas kerap menghantuinya.
Berikut petikan perbincangan kami bersamanya mulai dari persoalan kesehatan fisik dan psikis setelah dideportasi termasuk aktivitasnya terdahulu di Hong Kong.
Kapan pertama kali ke Hong Kong?
Saya berprofesi sebagai pekerja rumah tangga migran di Hong Kong sudah lebih dari 10 tahun. Sejak tahun 2007, saat usia sekitar 26 tahun.
Berprofesi sebagai pekerja rumah tangga, apa saja tugas yang biasa Anda lakukan?
Sebagai pekerja rumah tangga hampir sama dengan kebanyakan teman-teman di sana. Kami biasanya menjaga anak dan menjaga para lansia. Tapi untuk tambahannya itu membersihkan rumah, belanja, memasak, dan tugas-tugas mendadak dari majikan.
Saya pribadi lebih banyak menjaga lansia, dari pagi sampai malam ya sama lansia. Usia nenek yang saya rawat sekitar 89 tahun. Jadi dari bangun pagi nemenin dia ke taman untuk senam. Dia guru senam, kayak Tai Chi gitu, jadi saya diwajibkan ikut Tai Chi sama dia. Saya diwajibkan ikut, bareng para lansia.
Kemudian pulang, bikin sarapan buat anaknya, cucunya, dan buat Mbahnya sendiri. Terus saya bersih-bersih rumah. Mbahnya istirahat. Terus ke pasar belanja, bikin makan siang buat Mbahnya, nyetrika dan sebagainya, sampai kemudian nyiapin makan malam untuk keluarga besar mereka. Sampai malam enggak ada jeda. Kayak umumnya pekerja rumah tangga (PRT) di Hong Kong.
Selain berprofesi sebagai pekerja rumah tangga, ada aktivitas lainnya?
Selain menjadi pekerja rumah tangga, saya memanfaatkan waktu libur dan luang untuk kegiatan menulis dan fotografi. Jadi kayak penyaluran hobi. Kadang juga naik gunung karena punya hobi hiking dan fotografi. Jadi kadang kalau lagi jalan-jalan ke mana, buat ngambil foto juga. Street photograph. Kemudian juga menulis, kayak mengulas tempat-tempat baik di Hong Kong, menulis kegiatan temen-temen BMI (Buruh Migran Indonesia) di sana.
Sejak kapan Anda mulai menulis?
Awalnya dulu itu suka nulis diari ya. Tapi enggak tahu kalau itu sebuah proses literasi. Ya nulis aja, corat-coret. Kemudian baru mulai belajar teori nulis dari buku-buku yang dibaca, nulis-nulis itu baru awal tahun 2011. Jadi kayak mulai tertarik nulis puisi, nulis cerpen. Dimulainya dari situ.
Waktu itu saya berkegiatan di serikat buruh sebagai advokat, sebutannya paralegal (orang yang menerima pelatihan terkait hukum tapi belum memiliki kualifikasi penuh sebagai pengacara). Jadi di situ banyak punya tugas nerima curhat pekerja-pekerja migran. Dari situ saya stres mendengar cerita-cerita yang masuk. Kan enggak mungkin kalau kita diceritain kemudian diceritain lagi ke orang lain, kan enggak etis banget. Akhirnya saya menumpahkannya dalam sebuah tulisan, dengan menulis dalam bentuk puisi.
Sebenarnya, kalau dipikir menulis itu bukan agar dibaca orang, tapi menurut saya pribadi menulis itu proses saya melakukan healing. Saya membantu diri saya melepaskan stres, tekanan yang dipikirin melalui tulisan. Menulis itu kayak buang sesuatu di dada, membantu diri sendiri.
Lantas bagaimana awalnya mulai terjun ke dunia jurnalistik?
Sebelumnya saya juga aktif menulis reportase kegiatan teman-teman buruh migran setiap minggu untuk suara.com.hk. Biasanya saya menulis tentang kehidupan pekerja migran Indonesia, apa saja kegiatan mereka. Mulai dari hobi seperti fesyen dan lomba-lomba, terus reportase saat ada kegiatan ulang tahun organisasi hingga demonstrasi
Saya itu awalnya enggak ngerti apa itu citizen journalism atau jurnalisme warga. Cuma hobi saya adalah membaca artikel-artikel berita dan fiksi. Kayak haus banget. Intinya banyak hal yang ingin saya ketahui.
Dari membaca berita itu membuat saya gelisah. Kenapa sih yang diberitain cuma ini-ini aja, gini-gini aja. Apalagi kalau memberitakan seputar kehidupan saya sebagai pekerja rumah tangga (PRT). Saya merasa sebagai PRT saya lebih tahu dunia saya. Dari kegelisahan itu saya belajar menulis berita.
Misalnya kalau baca berita ada info soal PRT yang mengalami kecelakaan diberitakannya pasti karena ceroboh atau karena bunuh diri. Nah kenapa? Karena saya dulu basic-nya di serikat buruh, teman-teman curhat, teman-teman berkasus, tidak ada satu pun PRT pergi untuk mencelakakan dirinya atau sembrono biar jatuh dari atas.
Kalau bukan kami sendiri migran yang peduli, ya siapa. Jadi saya mikirnya, mau mereka orang yang pinter jurnalisme atau penulis, mereka kan enggak tahu dunia PRT. Jadi mereka nulisnya dari sisi mereka. Sedangkan kami dari sisi PRT yang menjadi saksi dan mengalami. Sehingga saya ingin memberitakan tentang PRT, menyajikan berita yang peduli kami.
Kadang banyak media mengklaim dirinya sebagai berita tentang PRT. Tapi jatuhnya mereka bukan mendidik PRT migran yang ada. Itu yang membuat saya gelisah banget. Harusnya ada dari kita sendiri, yang tahu kebutuhan kita, yang benar-benar mengorbankan diri, mewakafkan tenaga dan waktunya untuk ini. Itulah yang membuat saya mengajak teman-teman sesama pekerja rumah tangga untuk membuat sebuah tim, kemudian jadilah kami mendirikan migranpos.
Berangkat dari kegelisahan Yuli Riswati atas tidak berimbangnya pemberitaan seputar kehidupan pekerja rumah tangga yang tidak berspektif PRT, Yuli mendirikan migranpos.com. Media jurnalisme warga berbahasa Indonesia itu berdiri pada 28 Maret 2019 dengan bantuan wartawan Metro TV, Aryo Adityo. Hingga kini tercatat ada enam anggota yang mengelola migranpos.com yang aktif melakukan reportase seputar kehidupan buruh migran di Hong Kong.
Bagaimana cara Anda mengelola migranpos?
Awal migranpos terbentuk, saya pikir saya harus punya tim, harus punya teman untuk kerja. Kemudian di situ saya mengajak sesama buruh migran, teman terdekat satu, kemudian ngajak temen lagi
Aku juga bilang ke teman-teman di situ (migranpos) aku enggak bisa dapat uang, kita enggak ada uang, aku enggak bisa menjanjikan uang, tapi aku bisa menjanjikan belajar bersama. Jadi kita akan berproses belajar bersama dalam dunia literasi. Bagaimana menjadi citizen journalism dengan belajar dari buku, belajar dari praktik, kemudian bermanfaat untuk sekitar kita.
Memang awalnya ada banyak teman-teman buruh migran yang ikut, tapi akhirnya berguguran. Mereka merasa, “Udah libur seminggu satu kali, masih harus capek-capek baca buku, nulis enggak pernah bener”.
Karena meski itu media kami sendiri, kami enggak mau sembarangan, ngawur, atau salah, typo kayak gitu. Saya berperan sebagai editornya, jadi tulisan teman-teman tidak serta merta langsung bisa dipublikasikan. Kadang teman-teman ada yang nulis tiga sampai empat naskah itu enggak semuanya naik.
Anda juga aktif di organisasi serikat buruh, apa saja kegiatannya?
Di serikat buruh Indonesia Migrant Workers Union, untuk pekerja migran Indonesia yang ada di Hong Kong, kegiatan mereka basic-nya sebagai paralegal. Jadi mendampingi teman-teman yang bermasalah hukum perburuhan. Jadi memberikan konseling, menanggapi isu-isu seputar pekerja rumah tangga.
Saya sendiri bergabung dengan BMI, Buruh Migran Indonesia, dan bekerja sama dengan FPR (Front Perjuangan Rakyat). Di sini kami menanggapi demonstrasi, menanggapi isu terbaru pemerintah apa yang kira-kira berpotensi merugikan PRT. Jadi lebih kayak kegiatan yang sifatnya progresif. Selain itu juga ada kegiatan hobi, seperti seni tari dan menggambar. Tentunya kegiatan yang memberdayakan lainnya seperti workshop hukum perburuhan dan menulis.
Memang fokus dari serikat buruh adalah menyoroti hak-hak PRT di Hong Kong karena enggak semua pekerja migran Indonesia di Hong Kong itu sadar akan haknya, mengetahui hukum yang ada seperti apa. Itulah yang bermasalah.
Teman-teman migran tidak paham akan hak dan hukum yang berlaku seperti apa, jika diputus kontrak enggak dikasih pesangon pun ya sudah menganggap hal tersebut sebagai nasibnya saja. Padahal kan enggak seperti itu. Ada hak -hak yang bisa dituntut. Enggak semua orang tahu. Itu bagian yang diambil serikat buruh untuk mendidik komunitasnya, untuk mengetahui hak-haknya. Termasuk mendampingi dan turut memperjuangkan.
Seberapa banyak buruh migran di Hong Kong yang ikut berserikat?
Saya sendiri kan udah nggak aktif, karena saya memilih jalan untuk menulis itu. Jadi lebih independen. Tapi meskipun saya sudah nggak di serikat buruh itu saya diam-diam bikin sebuah fanpage, di situ melayani independent counseling BMI. Saya melayani teman-teman yang bertanya, bikin paspor kayak apa, ada masalah apa, ini cara ngitung gaji gimana, cara ngitung cuti.
Kesadaran berserikat mungkin kurang, tapi teman-teman juga nggak kalah akal sih. Kayak gini, teman-teman pekerja migran Indonesia di Hong Kong itu punya banyak organisasi. Karena mereka punya banyak kemauan, banyak punya passion—ada organisasi make up, fotografi, menulis, hiking, dancing. Teman-teman yang sudah punya kesadaran berserikat tadi berupaya meng-cover mereka, enggak memaksa orang-orang untuk berserikat atau berasosiasi. Jadi mereka membangun jaringan, kayak LIPMI, Liga Pekerja Migran Indonesia. Anggotanya ada serikat Buruh Migran Indonesia itu tadi, IMWU. Kemudian di situ ada organisasi dancer, kesenian, menari, semua dirangkul.
Terus kemudian kayak Asosiasi Tenaga Kerja Indonesia, dia membikin jaringan, namanya Pilar, Persatuan BMI Tolak Overcharging. Di situ juga anggotanya ada organisasi dancer lah, organisasi yang entah itu hanya jalan-jalan, hiking, organisasi yang cuma doyan jalan ke pantai atau apa, itu dirangkul semua. Kemudian di situ pelan-pelan dimasukkan kesadaran tentang hukum perburuhan, tentang upaya untuk bergerak.
Jadi bergerak di jalan masing-masing tapi tetap saling mendukung dan dalam gerakan yang sama, demi kemajuan dan hak-hak pekerja rumah tangga migran.
Apakah teman-teman pekerja migran Indonesia cukup paham terkait demonstrasi anti RUU Ekstradisi di Hong Kong?
Nah ini dia. Awalnya enggak. Sama sekali mereka nggak tahu apa yang terjadi di Hong Kong. Mereka hanya tahu ada demo. Itu tok, wes. Tapi mereka nggak paham banget itu tuh ada isu apa, terus kenapa, dan sebagainya. Karena dari sini pihak Indonesia, KJRI di sana, dalam artian sebagai pemerintah, dia tidak pernah mendidik atau memberi tahu kepada pekerja rumah tangga migran yang ada di sana atau pekerja migran Indonesia di sana, apa toh yang terjadi di Hongkong? Tidak.
Jadi mereka hanya melakukan imbauan melalui fanpage laman mereka di Facebook. Kayak hindari area demonstrasi, jangan memposting sesuatu yang provokatif di Facebook atau di media sosial kalian, tidak usah mengunggah foto ini. Hanya semacam itu.
Itu kayak menimbulkan kegelisahan sendiri buat saya. Anak kecil aja dilarang, 'Kamu nggak usah ke sana,' itu pasti tanya, 'Kenapa Bu saya nggak boleh ke sana?' Lha ini, kami secara PRT migran ya, kami ini orang dewasa. Paling nggak kan kami perlu tahu kenapa kami nggak boleh begini-begini. Jangan hanya diimbau, harusnya kami tuh juga dididik, dikasih tahu sebenarnya apa yang terjadi.
Jadi Migran Pos mengambil bagian dari itu dengan risiko, secara otomatis, risikonya ya itu tadi kami harus datang ke tempat-tempat berbahaya, mengorbankan waktu kami, bukan hanya mengorbankan waktu tapi juga secara materi. Terus secara mental, ada juga yang membully kami, menganggap, 'Eh PRT, kita ini kan babu, nggak usahlah nulis-nulis soal kayak gitu. Itu kan isunya orang HK, apa urusannya dengan kita.' Tapi kami tidak terlalu menanggapinya dengan serius dan hanya berpikir bahwa mereka mengatakan itu karena mereka masih sebatas itu cara berpikirnya.
Mereka itu bukan warga HK, memang hanya pendatang, dan memang hanya PRT migran. Tapi, mereka tinggal dan bekerja di HK, bukan orang yang datang pagi pulang sore. Mereka tuh tinggal di situ tuh sampai bulanan, tahunan. Otomatis untuk melindungi dirinya dan tetap bisa berkegiatan itu dengan mengetahui isu yang ada, memahami situasi terkini. Karena sebelumnya memang sangat terjadwal kan, demonya di sini akan di sini. Tapi pada perkembangannya ada yang jadwalnya di sini, kemudian larinya ke sana (area lain).
Pernah Migran Pos memberitakan bahwa akan ada aksi di sini-sini-sini. Tapi kami tidak memberitakan bahwa di area Causeway Bay akan ada demonstrasi karena memang tidak jadwalnya. Sesuai jadwal yang ada di warga lokal, itu yang kami publikasikan. Ternyata banyak teman-teman PRT Migran yang sedang berada di Causeway Bay, berlibur di area Victoria Park, terpapar gas air mata. Ternyata para demonstran yang awalnya berdemo di tempat lain itu lari ke Causeway Bay, di situ terjadi bentrok, terjadi penembakan gas air mata.
Apa dampak dari demonstrasi anti RUU Ekstradisi itu terhadap para pekerja migran di sana?
Yang paling terasa buat teman-teman buruh migran, terutama buruh migran Indonesia, itu hari libur. Mereka notabene libur hari Minggu, dan notabene aksi demonstrasi itu mayoritas hari Minggu juga. Jadi sangat banyak mereka (buruh migran) yang tidak bisa libur karena ada demo. Ada banyak majikan yang nakal memanfaatkan kondisi itu untuk merampas hak libur pekerjanya. Jadi kayak diginiin, “Kamu nggak usah libur lah, kamu kerja aja di rumah. Di sana nanti bahaya, nanti kalau ada apa-apa dengan kamu, kamu tuh nggak ada asuransi yang mengklaim kamu”.
Kedua secara mental. Pas aktivitas liburan, mereka jadi was-was, nggak tahu harus ke mana, yang biasanya ke Victoria Park kemudian harus pinda. Mereka harus menjadwalkan ulang kegiatannya, padahal kan kami juga perlu waktu libur.
Kemudian demonstrasi di Hongkong itu juga membuat setiap keluarga (warga lokal) ada konflik. Ada yang pro pemerintah dan pro demokrasi, kemudian mereka ada yang berantem, itu juga mempengaruhi emosi mereka terhadap pekerja rumah tangganya. Mereka tuh kadang udah capek urusan itu larinya, pelampiasan emosionalnya, ke pekerja rumah tangga. Jadi banyak PRT yang juga mengeluh stres karena majikannya lebih banyak marah-marah.
Pada Senin (2/12), Otoritas Hong Kong akhirnya memulangkan Yuli Riswati , setelah menahannya sejak 4 November 2019. Deportasi Yuli menuai banyak tanya. Otoritas Hong Kong yang menyebut Yuli dipulangkan karena overstay dianggap janggal. Tak ayal deportasi Yuli diduga terkait aktivitasnya menulis soal demonstrasi pro-demokrasi di Hong Kong.
Bagaimana kronologi Anda ditahan oleh pihak Imigrasi Hong Kong?
Kronologinya pada tanggal 23 September ada empat petugas imigrasi datang ke rumah majikan, mengetuk pintu, bertamu, kemudian menanyakan bahwa saya sudah overstay. Kami baru kaget, inget, kemudian saya mengambil dokumen, dan menemukan bahwa memang ternyata izin kerja saya cuma sampai 27 Juli.
Untuk kasus pekerja rumah tangga migran di Hong Kong, ketika memberikan izin tinggal, pihak imigrasi akan mengacu pada masa berlakunya paspor. Waktu itu kontrak kerja baru saya yang dua tahun, baru berjalan beberapa bulan, karena paspor saya juga hanya berlaku beberapa bulan. Jadi mereka memberi saya izin tinggal tidak sampai dua tahun. Saya mengingatnya itu sampai dua tahun. Jadi ketika saya sudah membuat paspor baru atau membuat perpanjangan paspor baru, saya lupa untuk membuat visa baru di imigrasi.
Sebenarnya untuk kasus seperti itu, kasus yang sama yang saya alami, banyak dialami pekerja rumah tangga migran di Hong Kong, dan itu biasanya cukup diselesaikan dengan pihak pekerja dan majikan meminta maaf kepada Imigrasi Wanchai. Pihak Imigrasi Wanchai akan memberikan visa baru sebagai perpanjangan visa. Cukup seperti itu. Tapi untuk kasus saya ternyata ada perbedaan sangat jauh.
Tanggal 23 September saya didatangi pihak imigrasi kemudian dibawa ke kantor imigrasi untuk investigasi. Dari jam 5 sore sampai jam 12 malam. Kemudian jam 12 malam saya diperbolehkan pulang ke rumah majikan dengan membayar jaminan 500 dolar Hong Kong. Waktu itu investigasinya cukup menanyakan tentang mengapa saya lupa memperpanjang visa. Setelah itu, saya kembali ke rumah majikan.
Beberapa hari kemudian pihak imigrasi menghubungi saya lagi untuk datang ke imigrasi karena mereka akan menahan saya sebelum persidangan kasus saya. Pada tanggal 26 September, saya datang kembali ke imigrasi yang akan melakukan investigasi terhadap saya, namanya Kowloon Bay Immigration Department, dengan didampingi oleh pengacara.
Sesampainya di sana, saya dibawa ke tempat lain, ke imigrasi lain yang bernama Ma Tau Kok Detention Center. Di situ tuh biasanya tempat untuk menahan orang-orang yang berkasus sebelum dibawa ke persidangan. Tapi di situ saya ternyata tidak ditahan, saya diwajibkan membayar jaminan 1.000 dolar Hong Kong. Kemudian saya boleh kembali ke rumah majikan untuk persidangan lanjutan pada 30 September.
Selama saya menunggu sidang pada tanggal 30 September, saya diizinkan untuk tinggal di tempat majikan. Dalam urusan tinggal ini, ketika mengalami kasus seperti saya, tidak diperkenankan lagi untuk bekerja dan mendapatkan gaji. Jadi hanya boleh tinggal karena statusnya tahanan luar.
Di sidang pertama saya hanya dibacakan dakwaan bahwa saya mengalami overstay. Kemudian pihak pengadilan, hakim, menjadwalkan saya untuk sidang lanjutan satu bulan kemudian. Tapi selama menunggu sidang lanjutan, saya diwajibkan lapor ke kantor polisi selama seminggu dua kali pada jam 6 sore sampai jam 9 malam. Jadi setiap Selasa dan Jumat saya wajib lapor ke kantor polisi.
Dalam jeda waktu itu, dokumen saya sudah ditahan Kantor Imigrasi Kowloon Bay. Kemudian majikan dengan nasihat dari pengacara menghubungi Kantor Imigrasi Wanchai. Dia menanyakan bahwa pembantunya sudah overstay selama satu bulan lebih, apa yang harus dilakukan? Imigrasi Wanchai mengkonfirmasi bahwa itu bukan kasus besar, cukup suruh pekerjamu ke sini membawa dokumen dan kami akan memberikan visa baru. Jawabannya cuma semudah itu. Tapi kemudian majikan menjawab, ‘Masalahnya pembantuku sudah tidak punya dokumen, dokumennya udah ditahan oleh imigrasi’.
Dari situ pihak Kantor Imigrasi Wanchai menelpon Kowloon Bay, lalu dia menghubungi balik majikan dan mengatakan, ‘Oh ternyata kasus pembantumu spesial’. Nah di situ timbul kecurigaan kami apa yang dimaksud dengan spesial, kenapa spesial. Dari situ kami mulai menghubungkan proses penangkapan saya yang sehubungan dengan aktivitas saya menulis yang saat itu entah kebetulan atau tidak sedang viral di media lokal berbahasa Kantonis di Hong Kong.
Empat hari sebelum petugas imigrasi mendatangi rumah majikan Yuli, media lokal mingpao.com mempublikasikan wawancaranya bersama Yuli Riswati pada 19 September. Dalam wawancara itu, Yuli menyatakan dukungannya terhadap gerakan pro-demokrasi di Hong Kong.
Majikan sudah dibilang untuk menunggu kasusnya selesai, baru pembantunya bisa membuat visa. Jadi kita harapannya masih kayak, ‘Ah ya udah selesai, nanti bisa bikin visa lagi’. Kemudian menjalani sidang pada 4 November. Selama menunggu persidangan itu, pengacara juga menghubungi Department of Justice Hong Kong untuk memberikan bukti-bukti bahwa kasus seperti saya sebenarnya tidak harus sampai ke persidangan apalagi harus berurusan dengan penahanan. Tiga hari sebelum persidangan, pihak Department of Justice itu memberikan surat kepada pengacara bahwa Yuli tidak akan kami tuntut tapi dia harus mengaku bahwa dia sudah melanggar izin tinggal. Itu saja. Jadi kami udah menganggap itu bakalan udah klir lah.
Pada tanggal 4 November itu saya sidang karena udah siap kayaknya hari itu akan selesai kasusnya. Pihak pengadilan, hakim, membacakan putusan bahwa saya dinyatakan bersalah melanggar izin tinggal dan hanya dihukum dengan peringatan bahwa dalam satu tahun ke depan tidak boleh melakukan pelanggaran hukum atau berkelakuan buruk, kalau tidak akan didenda. Sudah, cuman seperti itu keputusannya.
Tapi masalah timbul kembali ketika saya dari Pengadilan Sha Tin pergi ke Kowloon Bay untuk mengambil dokumen. Di situ ternyata Kowloon Bay mengatakan mereka tidak bisa memberikan dokumen saya karena kasus saya sudah dilimpahkan ke Imigrasi Tuen Mun, namanya CIC atau Castle Peak Bay Immigration Center. Di situ tempatnya para pekerja atau warga asing yang ilegal dan akan dideportasi.
Saya dibawa ke CIC dan dari situ diketahui bahwa ternyata saya harus menjalani tahanan. Padahal dari pengadilan tidak menyebutkan dan tidak memutuskan adanya penahanan sama sekali.
Apa perbedaan penanganan kasus overstay yang Anda alami dengan kasus overstay pada umumnya?
Berbedanya karena seperti dalam siaran media sudah saya katakan bahwa pada kasus yang sama, overstay seperti saya yang memiliki majikan dan kontrak kerja yang sah, tidak pernah ada penahanan, tidak pernah ada penangkapan bahkan tidak sampai ke persidangan.
Kasus saya menjadi yang pertama dan satu-satunya pekerja rumah tangga migran di Hong Kong yang mengalami kasus seperti ini. Meskipun sudah banyak orang lain yang mengalami kasus sama, ya itu tadi cukup selesai dengan meminta maaf dan memperpanjang visa, tapi itu tidak berlaku buat saya.
Apakah Anda mendapat pendampingan hukum dari KJRI Hong Kong?
Untuk KJRI tidak ada sama sekali, namun sempat ada dua peristiwa yang hampir bersinggungan dengan pihak KJRI. Pertama ketika saya selesai sidang tanggal 4 November, waktu kami berjalan untuk mengambil uang jaminan, ada seorang perempuan yang tiba-tiba menyapa. Tapi tidak pernah mengatakan bahwa dia adalah orang KJRI atau dia menawarkan bantuan, atau sedang memantau kasus saya. Tidak ada sama sekali.
Kemudian peristiwa kedua, ketika saya berada di dalam tahanan, teman-teman yang mendukung saya dari NGO juga mengupayakan bagaimana agar saya bisa segera keluar dari tahanan. Jadi mereka mengupayakan untuk meminta bantuan ke KJRI. Agar mereka bisa bertemu dengan pihak KJRI, mengkonsultasikan masalah kami. dan meminta bantuan hukum. Kemudian kami difasilitasi bertemu dengan konsuler bagian ketenagakerjaan di sana yang bernama Erwin M. Akbar. Melalui Pak Erwin itu teman-teman meminta bantuan KJRI untuk membuat surat yang intinya agar saya lekas dibebaskan dan tidak ditahan.
Tapi pada faktanya KJRI menolak dan mengatakan kami tidak bisa membuat surat. Katanya, ‘Nanti saja, saya akan menghubungi imigrasi untuk menanyakan kasusnya apa’. Hanya seperti itu. Sebatas itu. Udah gitu aja. Setelah itu tidak ada mengabari saya, menanyakan saya, menghubungi saya, itu tidak ada.
Setelah dideportasi ini, apakah Anda juga di-blacklist oleh Hong Kong?
Saya memang diberitakannya dideportasi, tapi pada faktanya banyak kejanggalan. Saya bukan dideportasi. Secara deportasi kayak orang, 'Kamu ta pulangin, kamu tak blacklist ga bisa balik lagi’. Enggak. Saya dipaksa untuk membuat statement bahwa saya yang menginginkan untuk dipulangkan ke Indonesia segera dan meminta pihak imigrasi untuk mengatur pemulangan saya (itu pihak imigrasi di CIC).
Jadi pihak imigrasi Hong Kong bukan dengan semena-mena memulangkan saya. Tidak. Jadi mereka dua kali memaksa saya membuat statement bahwa saya lah yang menginginkan dipulangkan ke Indonesia dengan tujuan Surabaya dan saya yang meminta pihak imigrasi untuk mengatur penerbangan saya.
Tentang blacklist, mereka tidak menyebutkan sama sekali soal itu. Bahkan ada poin penting bahwa disitu, saya tanya kepada mereka bahwa saya pulang ke Indonesia dan akan mengajukan aplikasi baru dari Indonesia. Mereka tidak melayani itu, dan mereka bilang iya kamu dari Indonesia bisa mengajukan aplikasi baru. Berarti kalau bisa mengajukan aplikasi baru kan enggak diblacklist.
Lalu apa rencana Anda untuk kedepannya?
Dengan kondisi saya saat ini, saya masih dalam masa pemulihan kesehatan dan berobat, perlu banyak istirahat. Kondisi hukum dan kasus saya semua sudah diserahkan kepada LBH Surabaya, jadi kuasa hukum saya akan memprosesnya.
Kemudian kalau rencana ke depan untuk sementara saya belum punya rencana pasti, tapi pastinya melanjutkan sampai kasus ini selesai.
Hingga Kamis (12/12), Yuli Riswati telah membuat laporan pengaduan ke LP3TKI pada Rabu (11/12) yang kemudian diteruskan ke BTNP2TKI. Selain itu, tim kuasa hukum Yuli Riswati dari LBH Surabaya juga mengirimkan surat kepada Kementerian Luar Negeri yang ditembuskan ke KJRI Hong kong dan pemerintah daerah Jember dan Surabaya.