Yusril Tertawa Tanggapi Benny Harman yang Sebut Cara Berpikirnya Ala Hitler

11 Oktober 2021 19:54 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ketua tim hukum TKN, Yusril Ihza Mahendra (kanan) saat konferensi pers terkait putusan MK. Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ketua tim hukum TKN, Yusril Ihza Mahendra (kanan) saat konferensi pers terkait putusan MK. Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
ADVERTISEMENT
Waketum Demokrat, Benny Harman, menyebut langkah Yusril Ihza Mahendra menggugat AD/ART Demokrat ke Mahkamah Agung (MA) sebagai pola pemimpin Nazi, Adolf Hitler. Hal ini disampaikan Benny di Kantor DPP Demokrat.
ADVERTISEMENT
"Kami menyelidiki asal usul teologi yang dipakai oleh Yusril Ihza Mahendra dalam menghadirkan permohoan AD/ART ke MA, maka diduga kuat cara pikir ini berasal dari totalitarian ala Hitler," kata Benny, Senin (11/10)
Menurutnya, Yusril sedang menguji apakah kehendak anggota Demokrat harus sejalan dengan kehendak negara.
"Dalam cara pikir hukum Hitler, yang dikehendaki negara harus diikuti semua organisasi sipil, dalam hal ini cara pikir itu tadi Yusril mencoba menguji apakah kehendak anggota parpol, anggota Partai Demokrat sejalan dengen sehendak negara, semua dilakukan rakyat harus diuji apakah negara senang atau tidak senang. Ini yang mau dilakukan Yusril," jelasnya.
Merespons pernyataan itu, Yusril mengaku tertawa terbahak-bahak. Ia menjelaskan, sewaktu mahasiswa pernah menjadi asisten Prof. Osman Raliby mengajar mata kuliah Propaganda Politik dan Pedang Urat Syaraf di FISIP UI.
Wakil Ketua Komisi III (Demokrat), Benny K Harman. Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
Saat itu, Prof. Osman memberinya buku-buku Adolf Hitler dan Josef Goebbels dalam bahasa Jerman seperti Mein Kamf dan Des Fuhrers Kamf um den Weltfrieden untuk ditelaah.
ADVERTISEMENT
Karena Yusril mahasiswa filsafat, pemikiran Hitler dalam Mein Kamf itu dia kritik habis di hadapan Prof. Osman Raliby, dan Prof. Osman mengaku gembira.
Sebagai informasi, Prof. Osman adalah tokoh Masyumi yang pernah berguru dengan Goebbels ketika kuliah di Berlin menjelang Perang Dunia II. Karena itu, Yusril tertawa saja ketika Benny Harman menyebutnya menggunakan cara berpikir totaliter dalam menguji AD/ART Partai Demokrat.
"Seingat saya Benny Harman mengikuti kuliah saya Filsafat Hukum dan Teori Ilmu Hukum ketika dia mahasiswa pascasarjana UI. Peserta pascasarjana tidak mengesahkan dirinya penganut paham totaliter Nationale Sosialismus atau Nazi. Di kampus, pemikiran hukum filsafat hukum Yusril malah dianggap terlalu Islam," beber Yusril.
“Di zaman Orba, Panglima Kopkamtib Laksamana Sudomo menyebut saya ekstrem kanan. Pemerintah Amerika Serikat sampai sekarang nampaknya menganggap saya Islam radikal. Makanya saya tidak pernah dikasih visa untuk masuk ke AS,” jelas Yusril.
ADVERTISEMENT
Karena itu, Yusril menganggap sebuah kejutan mendapatkan julukan baru sebagai pengikut Hitler akibat membela empat kader Demokrat yang dipecat.
"Dua minggu lalu saya dijuluki pengacara 100 miliar. Sekarang saya dijuluki lagi sebagai Nazi pengikut Hitler. Masih untung saya enggak dijuluki PKI,” ujar Yusril tertawa.
Soal Benny yang menuduhnya menempatkan negara di atas segalanya atau uber alles, serta pemikiran AD/ART parpol mau diuji, Yusril menilai hal tersebut tidak ada pijakan intelektualnya sama sekali.
"Pertama sejak tahun 2007 hingga sekarang tidak lagi memiliki jabatan kenegaraan apa pun dan berada di luar pemerintah dan lembaga negara mana pun juga," urai Yusril.
Lebih lanjut, Yusril mengatakan dirinya adalah manusia bebas dan merdeka. Tidak ada kepentingan apa pun untuk membuat rezim senang atau tidak senang dengan rakyatnya.
ADVERTISEMENT
"Kebijakan pemerintah Presiden Jokowi pun tidak jarang saya kritik. Saya memang bukan bagian dari pemerintah,” tegas Yusril.
Yusril Ihza Mahendra dan anggota PBB sambangi Kompleks Istana Kepresidenan. Foto: Fahrian Saleh/kumparan
Yusril mengatakan, AD/ART Partai Demokrat bukanlah diuji dengan kehendak penguasa, melainkan melainkan diuji dengan undang-undang. Ia memaparkan dua undang-udang utama yang dijadikan sebagai batu uji AD/ART Demokrat, yaitu UU Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik dan segala perubahannya dan UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dan perubahannya.
Semua ini, tegas Yusril, dengan jelas diuraikan dalam permohonan JR ke Mahkamah Agung itu.
"Kedua UU yang dijadikan batu uji itu justru dibuat ketika Presiden RI dijabat Susilo Bambang Yudhoyono. Sementara di DPR RI ada fraksi yang namanya Fraksi Partai Demokrat, yang Benny Harman menjadi anggota dan ikut membahas serta menyetujui kedua undang-undang itu," jelas Yusril.
ADVERTISEMENT
"Apakah kedua UU yang saya jadikan batu uji adalah produk rezim pengikut Hitler? Kalau begitu maksud Benny Harman, maka pengikut pemikiran Hitler itu adalah Presiden SBY dan DPR zaman itu, termasuk Benny Harman di dalamnya," sindir Yusril.
Yusril menekankan dalam seluruh argumentasi filosofis, teoritis, dan yuridis, permohonan pengujian AD/ART Demokrat ke MA itu tidak satu pun literatur Hitler atau Nazi pada umumnya terkait dengan konsep negara totaliter yang dia jadikan rujukan.
"Juga tidak ada satu kalimat pun yang menguji AD Partai Demokrat dengan rasa senang atau tidak senangnya penguasa. Maka bagaimana Benny Harman bisa menyimpulkan saya mengikuti pikiran Hitler?” tandas Yusril.