Nyetir Kamu Payah Kalau Masih Lakukan 5 Kebiasaan Ini di Jalan Tol
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Tapi sayangnya dalam realitanya banyak pengemudi yang justru tidak peduli, pura-pura tidak tahu terhadap aturan berlalu lintas di tol . Sehingga mereka abai dan melakukan perilaku yang keliru saat mengemudi.
Dari ragam kesalahan tersebut, ada beberapa kekeliruan yang sering ditemukan di tol. Berikut ini kumparan rangkum beberapa kebiasaan salah pengemudi yang kerap ditemui di jalan tol bersama pakar keselamatan berkendara, sekaligus founder Jakarta Defensive Driving Consultant (JDDC) Jusri Pulubuhu.
1. Menyalakan lampu hazard saat hujan atau melewati terowongan
Hal pertama yang paling sering ditemukan ketika hujan di tol adalah tak sedikit pengemudi yang menyalakan lampu hazard. Kebiasaan ini juga kerap dilakukan pengemudi saat melewati terowongan.
Menurut Jusri, hal tersebut malah jadi budaya yang keliru sehingga perlu diluruskan. Seyogyanya saat visibilitas berkurang karena hujan, atau hendak memasuki terowongan cukup nyalakan lampu utama.
ADVERTISEMENT
"Karena dengan begitu lampu depan dan belakang otomatis menyala, itu sudah cukup memberikan tanda posisi ke pengemudi lain. Jadi tak perlu lagi ditambah atau cuma menyalakan lampu hazard," katanya kepada kumparan, Senin (19/7).
Justru menyalakan hazard cenderung memecah konsentrasi pengemudi lain. Sebab akan bingung ketika mau pindah lajur, karena nyala lampu sein tidak sesuai arah laju mobil.
Lampu hazard sebagai isyarat peringatan ideal dinyalakan saat mobil berhenti karena kondisi darurat atau bahaya, di area beresiko tinggi seperti di jalan tol yang laju mobilnya cepat, atau tikungan yang bidang pandangnya terbatas.
2. Menyalip di bahu jalan tol
Padahal sudah jelas dalam Pasal 4 Ayat 2 Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2005 tentang Jalan Tol, penggunaan bahu jalan tidak boleh sembarangan termasuk mendahului kendaraan.
Bahu jalan tol hanya diperuntukkan untuk kendaraan yang berhenti darurat. Kemudian arus lalu lintas keadaan darurat seperti kepolisian, ambulans serta pemadam kebakaran, juga bukan untuk menaikkan atau menurunkan penumpang, barang, dan barang.
ADVERTISEMENT
"Inilah lemahnya pemahaman tentang aturan. Tidak adanya empati pengguna jalan, sehingga mereka menggunakan bahu jalan untuk menyalip. Padahal mereka tahu bahu jalan bukan untuk menyalip, sebab kalau di depannya ada mobil berhenti bisa terjadi tabrakan," imbuh Jusri.
Adapun manakala masih nekat dan kedapatan melanggar, mengacu Pasal 287 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UULLAJ), maka siap-siap mendapat sanksi berupa pidana kurungan paling lama dua bulan atau denda paling banyak Rp 500 ribu.
3. Menghiraukan jarak aman
Biasanya tipe pengemudi ini menjengkelkan, karena kerap memposisikan mobil terlalu dekat seraya memerintahkan mobil di depannya untuk segera pindah lajur. Atau ketika terlibat kebut-kebutan, tak jarang pengemudi ini menghiraukan jarak aman antar mobil lainnya.
Padahal kebiasaan tersebut meningkatkan risiko tabrakan beruntun. Sebab bila mobil depan mengerem mendadak karena ada sesuatu, bukan tidak mungkin mobil di belakangnya terlambat ngerem sehingga memicu tabrakan beruntun.
ADVERTISEMENT
Lalu bagaimana jarak aman yang tepat? Mudahnya menurut Jusri pakai hitungan 3 detik, bukan jarak meter karena pengemudi akan kesulitan memperkirakannya.
"Teori safety driving di seluruh dunia pakainya hitungan 3 detik untuk memperhitungkan jarak aman kendaraan," ujar Jusri.
Jadi begini caranya. Pertama cari objek yang statis dulu seperti pohon atau tiang sebagai patokan. Kemudian saat mobil di depan melewati objek tersebut, segera hitung sampai tiga detik. Apabila dalam hitungan ketiga posisi mobil Anda telah sampai atau melewati objek tadi, maka jarak aman sudah diperoleh.
Dengan menjaga jarak aman, artinya pengemudi memiliki kesempatan menghindar atau memperlambat laju manakala ada pengereman mendadak.
4. Menguasai lajur kanan dengan kecepatan minimum
Nah kebiasaan keliru lainnya adalah menguasai lajur kanan terus-menerus dalam kecepatan minimum, padahal di depannya kosong. Sudah diberi isyarat berupa lampu sein, namun tetap mempertahankan posisinya di lajur kanan.
Istilah ini biasa disebut lane hogger. Perilaku tersebut tentunya memancing emosi karena lajur kanan dikhususkan untuk mendahului kendaraan dengan kecepatan yang lebih tinggi.
ADVERTISEMENT
Dengan adanya pengemudi lane hogger, otomatis pergerakan kendaraan lain untuk menyalip jadi tersendat. Mau tidak mau harus gunakan lajur tengah dan tunggu kosong buat menyalipnya.
Padahal etika menyalip yang benar sesuai UULLAJ adalah gunakan lajur kanan, kemudian balik lagi ke lajur kiri. Ini juga sesuai Pasal 41 PP 15/2005, lajur kanan hanya diperuntukkan bagi kendaraan yang bergerak lebih cepat dari sebelah kirinya sesuai batas kecepatan yang ditetapkan.
5. Kecepatan mobil di luar aturan
Terakhir ini juga sering ditemukan, mobil-mobil yang lajunya di luar aturan yang berlaku. Baik itu terlalu pelan atau terlampau kencang.
Soal batas kecepatan sebenarnya telah diatur dalam Pasal 3 Ayat 4 Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 111 Tahun 2015 tentang Tata Cara Penetapan Batas Kecepatan. Di sana tertera, jalan bebas hambatan batas kecepatan paling rendah 60 km/jam dan paling tinggi 100 km/jam.
ADVERTISEMENT
Faktanya banyak yang melajukan mobil di tol lebih dari 100 km/jam. Indikasinya saat kita sudah mempertahankan kecepatan di 100 km/jam, masih ada mobil menyalip yang tentu kecepatannya di atas itu. Sehingga apabila diabaikan bukan tidak mungkin meningkatkan risiko kecelakaan.
"Entah kenapa itu sudah membudaya di kita budaya tertib berlalu lintas masih susah diterapkan. Kalau diperhatikan di tol Cipularang itu biasanya kecepatannya sangat tinggi, lebih dari batas yang ditentukan, potensi tabrakan akan sangat besar sekali," tuturnya.
Maka dari itu sebelum terlambat, ada baiknya evaluasi cara berkendara kita di tol. Pastikan kecepatan mobil yang dikemudikan sudah sesuai aturan yang berlaku.
ADVERTISEMENT