Peneliti ITB Tekankan Pentingnya R&D agar Indonesia Jadi Pemain Baterai EV Dunia

6 Mei 2025 17:23 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Peneliti Senior Pusat Sistem Transportasi Berkelanjutan ITB Agus Purwadi menjadi pembicara pada kumparan New Energy Vehicle Summit 2025 di MGP Space, SCBD Park, Jakarta, Selasa (6/5/2025). Foto: Syawal Darisman/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Peneliti Senior Pusat Sistem Transportasi Berkelanjutan ITB Agus Purwadi menjadi pembicara pada kumparan New Energy Vehicle Summit 2025 di MGP Space, SCBD Park, Jakarta, Selasa (6/5/2025). Foto: Syawal Darisman/kumparan
ADVERTISEMENT
Peneliti senior dari Pusat Sistem Transportasi Berkelanjutan ITB, Agus Purwadi, menegaskan pentingnya riset dan pengembangan (R&D) dalam mendorong Indonesia menjadi pemain kunci dalam industri baterai kendaraan listrik (EV) global.
ADVERTISEMENT
Hal ini ia sampaikan dalam acara kumparan New Energy Vehicle, di MGP Space, Jakarta Selatan, pada Selasa (6/5). Menurut Agus, ekosistem baterai EV terdiri dari tiga rantai utama: hulu, tengah, dan hilir.
“Jadi, baterai itu adalah suatu produk yang memang dimulai ekosistemnya itu dari pengembangan, kemudian processing, kemudian nanti menjadi processing juga menjadi komponen material baterai utamanya,” ujarnya.
“Nah, dari ekosistem baterai itu memang nilai yang tertinggi itu bukan di hulu, tapi nilai tertingginya ada di tengah dan ada di hilir,” sambungnya.
Ia menambahkan, meski Indonesia kaya akan sumber daya seperti nikel, posisi strategis negara akan tetap lemah jika hanya menjadi pemasok bahan mentah.
“Kalau (R&D) tidak (kuat) maka kita paling cuma mengeksplorasi dari hulu, diproses orang, nanti kita membeli produknya,” tegasnya.
Peneliti Senior Pusat Sistem Transportasi Berkelanjutan ITB Agus Purwadi menjadi pembicara pada kumparan New Energy Vehicle Summit 2025 di MGP Space, SCBD Park, Jakarta, Selasa (6/5/2025). Foto: Syawal Darisman/kumparan
Agus pun menyorot masih rendahnya dukungan pendanaan riset dalam negeri, terutama untuk sektor teknologi baterai.
ADVERTISEMENT
“Kita tahu bahwa pemberi dana riset di Indonesia adalah LPDP karena saya juga termasuk salah satu penerima dana dari LPDP, jadi di sini bisa dicek ya berapa kira-kira nilai ataupun alokasi dana yang digunakan untuk riset baterai. Jadi memang sangat kecil,” ujarnya.
“Padahal untuk riset kita butuh infrastruktur, peralatan,” tambahnya.
Ia juga menyoroti perbandingan dengan negara lain, khususnya Tiongkok yang berani berinvestasi besar. Sementara di Indonesia, ia menyebut pendanaan untuk riset baterai nasional masih di bawah Rp 100 miliar.
“Mereka (China) bahkan menggelontorkan sekitar 30 juta dolar atau setara hampir 500 miliar rupiah untuk membangun lab R&D di ITB karena dia akan bisa klaim,” kata Agus.
Lebih lanjut, Agus menjelaskan bahwa Indonesia harus mulai menguasai dua teknologi kunci baterai yang saat ini mendominasi pasar, yaitu lithium ferro phosphate (LFP) dan nickel manganese cobalt (NMC).
ADVERTISEMENT
“Dan kita tahu bahwa semua baterai yang ada, itu di-develop oleh negara-negara 4 season, 4 musim. Tidak ada satu pun baterai yang di-develop untuk tropical climate seperti Indonesia,” jelasnya.
Perekayasa Ahli Muda Pusat Riset Konversi dan Konservasi Energi BRIN Hafsah Halidah (tengah) dan Peneliti Senior Pusat Sistem Transportasi Berkelanjutan ITB Agus Purwadi di acara kumparan New Energy Vehicle Summit 2025. Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
Dalam konteks itu, Agus menilai pentingnya Indonesia menciptakan keunggulan tersendiri.
“Kalau roda dua kita nomor satu di ASEAN ataupun nomor dua di dunia setelah India. Jadi mestinya untuk roda dua kita bisa nge-lead ya baterai-baterai untuk roda dua,” kata Agus.
Ia juga menyebut bahwa baterai EV tidak boleh dipandang sekadar sebagai komponen, tapi aset jangka panjang.
“Dan tadi mungkin ada kami singgung sedikit, baterai itu 7 tahun itu bukan berarti nol, tidak,” ucap dia.
“Jadi kalau di otomotif itu 7 tahun paling dia degrade sampai 15%. Sisanya masih dipakai 7 tahun lagi itu sebagai energy storage system. Jadi sebetulnya kita harus memandang baterai itu bukan lagi komponen, tapi aset yang depresiasinya bukan 7 tahun, tapi minimal bisa sampai 15 tahun,” paparnya.
ADVERTISEMENT
Meski optimis, Agus menegaskan perlunya intervensi kebijakan pemerintah yang konsisten dan proaktif.
“Di mana-mana transisi energi itu government-driven, bukan market-driven,” imbuhnya.
“Kalau demand itu bisa di-create dan policy bisa di-push ya,” tambahnya.
Ia pun mendorong agar pemerintah mulai melihat riset bukan lagi sebagai biaya, tapi investasi jangka panjang. “Mungkin policy-nya riset harus dianggap, mulai dianggap sebagai investasi bukan cost, biaya,” tutupnya.