Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
3 Virus Ini Bisa ‘Loncat’ dari Hewan ke Manusia, Bisa Bikin Pandemi Lagi
12 Mei 2022 9:04 WIB
·
waktu baca 5 menitADVERTISEMENT
Kasus COVID-19 di dunia mulai melandai. Beberapa peneliti mengkhawatirkan ada jenis virus lain yang berpotensi menyebabkan pandemi lagi. Dikutip dari jurnal Nature, jenis virus itu merupakan virus dari hewan yang mampu ‘loncat’ atau menginfeksi manusia.
ADVERTISEMENT
Banyak spesies virus yang telah berevolusi dan mampu menginfeksi manusia. Beberapa di antaranya bahkan bisa timbulkan kematian.
Peneliti juga mengungkapkan, zoonosis – penyakit menular dari hewan ke manusia, yang disebabkan virus – dapat menimbulkan pandemi berikutnya. Dalam dua dekade terakhir, sebelum ada pandemi COVID-19, terdapat 75 persen penyakit menular baru yang termasuk dalam zoonosis.
Para peneliti berpendapat, perubahan iklim sebagai faktor utama mutasi yang menyebabkan beberapa virus semakin ganas. Suhu Bumi yang semakin memanas, memicu terciptanya varian virus baru hasil mutasi virus terdahulu.
Faktor lain, dijelaskan para peneliti akibat pertumbuhan populasi penduduk. Kepadatan yang tinggi, menyebabkan manusia dan hewan mau tidak mau menjadi semakin lebih dekat. Habitat hewan dan tempat tinggal manusia menjadi satu kesatuan yang saling berdampingan.
ADVERTISEMENT
Jenis virus yang menarik perhatian peneliti bisa menjadi pandemi berikutnya sebagai berikut:
Coronavirus
Virus ini menyerang saluran pernapasan atas dengan gejala ringan hingga sedang pada manusia. Termasuk COVID-19 yang saat ini masih menyebabkan pandemi.
Jauh sebelum COVID-19, anggota virus ini telah menyebabkan penyakit, seperti SARS dan MERS. SARS merupakan sindrom pernapasan akut parah yang disebabkan oleh Coronavirus.
Diyakini wabah SARS (Severe Acute Respiratory Syndrome), yang terjadi pada 2002 adalah zoonosis yang ditularkan dari kelelawar ke mamalia kecil lantas ke manusia. Meski kasus SARS lebih cepat mereda daripada COVID-19, namun tingkat kematian rata-rata SARS lebih tinggi dari COVID-19.
Begitu juga MERS, Middle East Respiratory Syndrome, pada 2012 merupakan virus yang ‘loncat’ dari unta ke manusia.
ADVERTISEMENT
Bahkan banyak jenis mutasi Coronavirus yang telah berevolusi menjadi jenis virus baru. Menurut laporan NCBI, setidaknya ada dua mutasi Coronavirus yang telah tercatat sebelum adanya pandemi COVID-19.
Pertama, Swine Acute Diarrhoea Syndrome Coronavirus (SADS-CoV). Virus ini pertama muncul di Provinsi Guangdong, Tiongkok pada 2016. Diduga virus ini berasal dari kelelawar yang menyebabkan kematian banyak anak babi di sana.
Penelitian mengungkapkan, secara in vitro, melalui kultur sel, virus ini dapat menginfeksi sel manusia. Beberapa peneliti khawatir, SADS-CoV berpotensi timbulkan permasalahan di masa mendatang.
Kedua, Porcine Deltacoronavirus (PDCoV) menjadi ancaman pandemi selanjutnya. Ditemukan pada 2014, virus jenis ini menyerang babi di Amerika Serikat hingga beberapa negara Asia. Diduga asal muasal virus ini dari burung pipit yang tidak sengaja menularkan jenis virus ini.
ADVERTISEMENT
Sebagian peneliti yakin, jika PDCoV berpotensi menjadi zoonosis, melihat tingginya potensi penularan virus ini pada beberapa jenis mamalia.
Filovirus
Keluarga Filovirus setidaknya telah berhasil membuat dunia gempar. Dua jenis virus dari keluarga Filovirus berhasil menyebabkan zoonosis, virus Marburg dan Ebola.
Virus Marburg (MDV) menjadi zoonosis yang menyebar melalui monyet ke manusia pada 1967. Dilaporkan wabah MDV telah menyebabkan kematian di kawasan Afrika.
Tahun lalu, kasus penyakit akibat MDV dideklarasikan telah usai di Guinea, setelah adanya satu kasus meninggal akibat virus ini. Meski begitu, otoritas setempat masih terus memantau dan mencegah adanya temuan kasus baru MDV.
Jenis Filovirus lain yakni virus Ebola (EVD), ditularkan dari kelelawar atau monyet ke manusia. Gejala penderita yang terserang EVD hampir serupa dengan orang terkena demam berdarah. Tetapi pada kondisi parah, penderita dapat mengalami muntah darah.
ADVERTISEMENT
Peneliti dunia hingga saat ini masih terus mengawasi Filovirus, terutama Ebola yang hingga saat ini masih menginfeksi beberapa orang di Afrika. Para peneliti khawatir, Ebola akan menyebabkan pandemi di masa mendatang.
Perlu diketahui, sejak ditemukan pada 1976, Ebola berhasil catatkan angka kematian kasus sebesar 50 persen. Terakhir, kasus Ebola ditemukan di Republik Kongo pada 23 April lalu.
Flavivirus
Anggota keluarga Flavivirus diketahui menyebabkan zoonosis yang ditransmisikan dari kutu dan nyamuk ke manusia. Para peneliti khawatir, virus jenis ini mampu menyebabkan pandemi meski dampaknya tidak sebesar COVID-19.
Beberapa anggota jenis virus ini di antaranya mampu menyebabkan penyakit West Nile, demam berdarah dan demam kuning. Semua jenis zoonosis tersebut ditularkan melalui gigitan nyamuk dan virus akan masuk ke dalam aliran darah manusia yang digigitnya.
ADVERTISEMENT
Meski tidak dapat ‘loncat’ dari orang ke orang, virus penyebab zoonosis ini patut diwaspadai, terlebih adanya perubahan iklim memicu beberapa daerah menjadi lebih hangat dari sebelumnya.
Peneliti bahkan memprediksikan jumlah kasus West Nile akan meningkat beberapa tahun ke depan, dengan sebaran daerah yang lebih luas dari tahun sebelumnya.
Selain itu, kasus demam dengue yang disebabkan oleh virus Dengue tahun ini meningkat di beberapa negara. Seperti laporan yang dirilis oleh Kementerian Kesehatan Brasil, tahun ini telah terjadi peningkatan 35 persen kasus demam dengue. Badan Kesehatan Dunia (WHO), juga merilis laporan wabah demam dengue di Timor Leste pada periode akhir 2021 hingga awal tahun ini.
Selain itu, masih ada persoalan wabah lain dari anggota Flavivirus, virus Zika . Beberapa peneliti menyebutkan jika virus Zika telah mengalami mutasi.
ADVERTISEMENT
Virus yang sempat mewabah pada 2016 lalu ini, menyebabkan kecacatan pada bayi yang baru lahir dengan kondisi kepala lebih kecil (microencephaly). Kondisi ini menghambat perkembangan otak bayi yang menderita karena ukuran otak lebih kecil dari bayi pada normalnya.
Meski mampu menyebabkan pandemi, virus Zika menurut Shresta tidak menimbulkan efek separah COVID-19 karena ditularkan lewat gigitan nyamuk.