Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Wabah virus corona COVID-19 tampaknya punya seribu wajah. Tak hanya menunjukkan ketimpangan si kaya dan si miskin, sikap anti-sains atau tidak, dan prioritas para pemimpin negara, kini kembali muncul ke permukaan berbagai wacana yang kerap dikesampingkan, termasuk soal lingkungan dan krisis iklim.
“Dalam pandangan saya, ini momentum yang bagus sekali untuk mengubah cara kita melihat hubungan kita dengan alam, dengan lingkungan,” ujar ahli ekonomi dan lingkungan dari Universitas Andalas, Yonariza.
Baginya, di masa pandemi ini, kebijakan yang hanya mengejar pertumbuhan ekonomi tanpa memperhitungkan aspek lain, tak lagi relevan. Sebab, wabah—yang tak datang tanpa sebab—seolah menyadarkan bahwa kerusakan lingkungan bukan hanya berdampak pada hewan-hewan yang kehilangan habitatnya, tapi juga bencana yang menimpa manusia.
Banjir, longsor, kebakaran lahan, badai yang lebih hebat, atau panas yang lebih menyengat, adalah contoh-contohnya. Lebih jauh adalah mutasi virus-virus, yang selama ini hanya ada pada binatang di balik lebatnya hutan, kini merambah manusia. Mulai dari AIDS, ebola, SARS, MERS, hingga kini SARS-CoV-2 yang menyebabkan COVID-19 dan menjadi pandemi global. Semua itu mulanya berasal dari hewan.
“Jadi kita harus memperbaiki kembali cara pandang kita terhadap lingkungan, terhadap ekonomi, dan relasi sosial,” ucap Yonariza.
Berikut petikan perbincangan kami melalui sambungan telepon pada 6 Mei 2020 terkait wabah, lingkungan, kebijakan pemerintah, RUU Cipta Kerja, hingga prediksi secara global.
Bagaimana Anda melihat dampak pandemi COVID-19 terhadap lingkungan?
Kalau kita bicara lingkungan, tentu kita bicara 3 hal. Ada lingkungan alam, lingkungan sosial, kemudian ekonomi. Nah, lingkungan alam, kita tahu di situ ada lingkungan biotik dan abiotik. Kalau sosial, ada interaksi, komunikasi, relasi. Di ekonomi, ada aspek produksi sampai konsumsi.
Apa yang terjadi dengan COVID-19 ini, dalam aspek lingkungan abiotik seperti udara, air, dan tanah, sekarang menjadi waktunya mereka untuk merehab diri. Karena beban tanggungan mereka yang berkurang, udara kita sekarang makin bersih, tekanan tanah juga makin berkurang karena kita nggak banyak beraktivitas.
Dalam pandangan saya, ini satu momentum yang bagus sekali untuk mengubah cara kita melihat hubungan kita dengan alam, dengan lingkungan, setelah (pandemi) ini. Ini mungkin akan menjadi wake up call agar kita hidup lebih ekonomis.
Selain itu, ternyata peningkatan-peningkatan pembangunan yang hanya mengandalkan pertumbuhan ekonomi saja, cenderung tidak berkelanjutan. Jadi sekarang kita mulai berpikir untuk menyeimbangkan semua aspek pembangunan ekonomi, sosial, dan lingkungan.
Akan tetapi, bagaimana dengan omnibus law RUU Cipta Kerja dan sederet kebijakan pembangunan lain yang tampaknya tetap berlanjut setelah wabah ini usai?
Kalau saya lihat, kemarin itu omnibus law RUU Cipta Kerja itu hanya fokus ke ekonomi. Aspek-aspek sosial dan lingkungan itu sangat dipinggirkan karena dari awal idenya adalah bagaimana menciptakan lapangan kerja seluas-luasnya. Tapi itu juga jadi pertanyaan, muatan-muatan pasal itu titipan, bukan untuk kepentingan orang Indonesia.
Jadi, bagi saya, itu RUU yang tidak ramah lingkungan dan tidak ramah sosial. Dia tidak akan sejalan dengan ide pembangunan yang berkelanjutan. RUU itu menjadi ancaman bagi keutuhan sosial masyarakat Indonesia, juga keutuhan lingkungan sumber daya alam di negara kita. Ini yang harus segera kita ingatkan terus. Pemerintah jangan terlalu mudah membuka keran-keran investasi dan masuknya berbagai tenaga kerja asing.
Lalu kebijakan alternatif seperti apa yang mestinya diambil pemerintah Indonesia?
Pertama, kita harus mengubah perspektif kita tentang pembangunan. Kalau kita masih saja mengejar arah-arah pertumbuhan itu, saya kira itu akan membuat kembali imunitas terganggu. Jadi kita harusnya kembali kepada kearifan budaya lokal kita dan kepada alam.
Kebijakan yang diturunkan kemudian adalah kebijakan-kebijakan yang tidak bias hanya mengejar pertumbuhan. Jadi kebijakan itu harusnya mengedepankan aspek-aspek kelestarian yang ada, kearifan yang ada, dan mestinya juga memberikan prioritas lebih utama kepada masyarakat Indonesia seperti diamanatkan Undang-Undang Dasar 1945.
Karena (saat) ini kita sudah jauh sekali menyimpang dari amanat konstitusi kita dalam hal bernegara, terutama dalam hal pembangunanm khususnya ekonomi. Ini kita udah gerah dalam hubungan sosial antarmasyarakat, antarsuku, etnis, ras, agama, karena muncul gesekan-gesekan yang mungkin berawal dari kebijakan-kebijakan yang tidak berkeadilan.
Praktisnya kira-kira seperti apa?
Dengan COVID-19 ini, kita sadari betapa pentingnya pertanian. Pertanian harus jadi basis pembangunan ekonomi kita. Tentu juga harus punya kebijakan-kebijakan yang jelas terhadap aset pertanian ini, baik dari segi produksi, distribusi, dan konsumsinya.
Sekarang ini, RUU Cipta Kerja itu malah membuka peluang-peluang masyarakat kita untuk langsung diadu di pasar bebas. Itu sangat bernuansa liberal. Saya kira, juga akan mengubah pola ekonomi dan perdagangan (kita) di tatanan global .
Kalau bisa kita lihat, kan sekarang kita harus bisa mandiri, semua negara harus mandiri. Maka kita harus mencoba tumbuh dari potensi sumber daya kita sendiri.
Jadi setelah COVID-19 ini kita harus memperbaiki cara pandang kita terhadap lingkungan, terhadap ekonomi, dan terhadap relasi industrial. Baik dalam skala kecil, skala menengah, sampai skala internasional. Dalam beberapa hal ini, seperti blessing in disguise, kita merasa diingatkan terkait lingkungan .
***
Simak panduan lengkap corona di Pusat Informasi Corona
Yuk, bantu donasi untuk atasi dampak corona.