Ahli: Strategi Herd Immunity Corona Sembrono, Banyak Orang Bisa Tewas

22 September 2020 10:34 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Karyawan yang mengenakan masker pelindung mengantar orang yang lewat untuk mengunjungi restoran mereka di sepanjang jalan pejalan kaki di pusat Tbilisi, Georgia. Foto: Vano SHLAMOV / AFP
zoom-in-whitePerbesar
Karyawan yang mengenakan masker pelindung mengantar orang yang lewat untuk mengunjungi restoran mereka di sepanjang jalan pejalan kaki di pusat Tbilisi, Georgia. Foto: Vano SHLAMOV / AFP
ADVERTISEMENT
Selain protokol kesehatan, vaksin adalah kunci dalam perang melawan pandemi virus corona. Namun, menemukan sebuah vaksin bukanlah perkara mudah, dibutuhkan bertahun-tahun untuk mengujinya.
ADVERTISEMENT
Ada strategi lain yang mungkin bisa dilakukan masyarakat, yakni dengan menerapkan herd immunity atau kekebalan kelompok. Herd immunity adalah kondisi di mana sebagian besar orang di dalam suatu kelompok telah memiliki kekebalan terhadap penyakit infeksi tertentu.
Terdengar masuk akal dan ide yang brilian memang, untuk menerapkan strategi ini. Namun, herd immunity tanpa vaksin adalah bencana. Artinya, jika ini diterapkan tanpa ada kontrol, maka jumlah kematian akan melonjak.
Tapi bagaimanapun, strategi kekebalan kelompok ini telah dimasukkan dalam daftar strategi yang bisa mengakhiri pandemi COVID-19. Salah satu yang menginisiasi strategi ini adalah Donald Trump.
“Virus corona akan hilang, bahkan tanpa vaksin. Kamu akan membentuk mentalitas kelompok. Ini akan berkembang dalam kawanan dan itu akan terjadi,” kata Trump.
ADVERTISEMENT
Menurut William Haseltine, ketua dan pemimpin di global health think tank, ACCESS Health International, apa yang dimaksud dalam pidato Trump adalah kekebalan kelompok. Pemikiran sederhananya begini, jika orang Amerika membiarkan virus SARS-CoV-2 menyebar dengan masif, maka pada akhirnya akan banyak orang yang kebal (sekitar 70 hingga 90 persen), sehingga virus tidak lagi menjadi ancaman bagi populasi.
Petugas kesehatan dengan alat pelindung diri (APD) melakukan pemeriksaan penyakit virus corona kepada warga di daerah kumuh di Mumbai, India, (5/9). Foto: Francis Mascarenhas/REUTERS
“Saya sebelumnya telah menulis tentang betapa sembrono dan tidak efektifnya cara berpikir ini, dan banyak ahli telah setuju. Strategi tersebut akan menyebabkan sejumlah besar kematian di AS,” katanya seperti dikutip dari CNN.
Haseltine mengatakan, sejauh ini belum diketahui apakah orang yang sembuh dari corona bakal kebal dari virus corona atau tidak. Sebab dalam sejarahnya, bukan kali ini saja virus ini menginfeksi manusia.
ADVERTISEMENT
Studi kasus ilmiah dari dua pasien di Hong Kong dan Amerika yang terinfeksi COVID-19 untuk kedua kalinya telah menjawab pertanyaan bahwa infeksi ulang sangat mungkin terjadi. Satu-satunya pertanyaan yang belum terjawab adalah seberapa sering infeksi ulang itu terjadi.
Apa yang mungkin bisa menjelaskan masalah ini adalah studi kolaboratif yang dilakukan para peneliti Belanda dan Kenya pada human coronavirus NL63 (HCoV-NL63), anggota virus corona yang tidak mematikan namun telah menjadi endemik pada populasi dunia.
Virus NL63 ini menyebabkan apa yang kita sebut flu biasa. Tiga temuan dari studi ini yang diterbitkan pada 2018 dapat memberikan informasi dan pemahaman tentang virus SARS-CoV-2 yang mungkin bisa menginfeksi kembali di kemudian hari, sama seperti flu biasa.
Petugas menyemprotkan cairan disinfektan pada sel tahanan yang ditempati warga binaan di Lembaga Permasyarakatan Kelas-II A, Banda Aceh, Aceh. Foto: Chaideer Mahyuddin/ AFP
Dalam studi itu disebutkan, bahwa hasil survei yang dilakukan para peneliti di Kilifi County, Kenya, menunjukkan sebagian besar orang di Kilifi telah terinfeksi HCoV-NL63 setidaknya lebih dari satu kali. Ini artinya, kekebalan tubuh terhadap HCoV-NL63 hanya berumur pendek dengan durasi infeksi ulang sekitar tiga bulan.
ADVERTISEMENT
Yang mengejutkan, pasien infeksi ulang justru memiliki beban virus yang lebih tinggi ketimbang infeksi awal. Namun gejala yang dialami menjadi lebih ringan dari satu infeksi ke infeksi berikutnya.
Alih-alih mencegah dari infeksi virus, antibodi yang tinggi pada beberapa pasien NL63, justru telah meningkatkan risiko infeksi ulang. Ini jelas bertentangan dengan pemahaman selama ini yang menyebut respons imun kuat dapat melindungi kita dari infeksi virus.
Kasus-kasus ini menunjukkan bahwa tidak ada yang benar-benar aman setelah terinfeksi virus corona, karena risiko infeksi ulang tetap ada. Menurut Haseltine, ketimbang menerapkan strategi herd immunity, kita lebih baik mempercepat penemuan vaksin dan dengan tetap menerapkan intervensi pada protokol kesehatan.
“Kita harus mengerahkan banyak upaya untuk mengembangkan dan mendistribusikan vaksin secara adil yang tidak hanya aman dan efektif, tetapi juga menjaga kemungkinan infeksi ulang. Kita harus menggandakan upaya kita untuk melakukan intervensi kesehatan masyarakat berbasis bukti hingga vaksin tersedia,” katanya.
ADVERTISEMENT