Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
ADVERTISEMENT

Apakah kamu ingin mengetahui masa depanmu? Benar-benar ingin mengetahui masa depan? Sungguh sangat yakin ingin mengetahui masa depanmu?
ADVERTISEMENT
Kalau kamu adalah orang yang benar-benar ingin mengetahui masa depan, maka kamu termasuk golongan minoritas, setidaknya minoritas di Jerman dan Spanyol.
Meskipun kolom tulisan horoskop atau ramalan bintang masih laku dibaca. Sekalipun layanan primbon masih diminati dan marak ditawarkan. Namun menurut sebuah penelitian, kebanyakan orang sebenarnya tak ingin mengetahui masa depan mereka.
Gerd Gigerenzer, peneliti dari Max Planck Institute for Human Development di Berlin, Jerman, dan Rocio Garcia-Retamero dari Universitas Granada, Spanyol, melakukan suatu penelitian dengan menyurvei 1.016 orang dewasa di Jerman dan 1.002 orang dewasa di Spanyol.
Hasil penelitian mereka dipublikasi dalam jurnal berjudul Cassandra’s Regret: The Psychology of Not Wanting to Know yang dimuat dalam Psychological Review Vol. 124, No. 2, halaman 179 –196.
ADVERTISEMENT

Hasilnya, sebanyak 85 hingga 90 persen responden mengatakan tidak ingin mengetahui peristiwa-peristiwa negatif di masa depan mereka, dan 40 hingga 70 persen responden tak mau tahu peristiwa-peristiwa positif yang bakal terjadi di masa depan mereka. Hanya 1 persen responden yang benar-benar ingin mengetahui apa yang terjadi di masa depan mereka.
Fenomena ini, menurut Gigerenzer dan Garcia-Retameroda, ada kaitannya dengan penyesalan Cassandra.
Dalam mitologi Yunani, Raja Troya memiliki seorang putri bernama Cassandra. Cassandra memiliki kekuatan untuk meramal masa depan, tapi ia juga dikutuk sehingga tak ada seorang pun yang percaya akan ramalannya.
Cassandra meramalkan jatuhnya Kerajaan Troya, kematian ayahnya, jam kematian dirinya sendiri dan nama pembunuhnya. Ketakberdayaan menyaksikan kengerian masa depan menjadi sumber rasa sakit yang tak ada habisnya, penderitaan, dan penyesalan atas pengetahuan yang hanya dimilikinya sendiri.
ADVERTISEMENT

"Dalam penelitian kami, kami menemukan bahwa orang-orang lebih memilih menolak kemampuan super yang membuat Cassandra terkenal demi menjauhkan diri dari rasa sakit yang dapat ditimbulkan akibat mengetahui masa depan, menghindari penyesalan dan juga menjaga kenikmatan atas ketegangan peristiwa-peristiwa yang terjadi secara mengalir," kata Gigerenzer sebagaimana dikutip dari Inverse.
2000-an responden yang disurvei dalam penelitian itu ditanya apakah mereka ingin mengetahui tentang 10 peristiwa di masa depan yang berkisar dari peristiwa serius hingga biasa. Perstiwa itu antara lain: kapan mereka atau pasangan mereka meninggal, apa penyebab kematian mereka atau pasangan mereka, apakah mereka akan bercerai, hadiah apa yang akan mereka dapat saat Natal, dan hasil pertandingan sepakbola yang akan mereka tonton.
ADVERTISEMENT
Untuk hampir setiap pertanyaan yang diajukan, kebanyakan responden mengatakan tak ingin mengetahui jawabannya.
Namun ada satu pengecualian. Ketika ditanya apakah mereka ingin mengetahui apa jenis kelamin anak mereka yang akan lahir, kebanyakan orang menjawab ingin tahu. Hanya 34,7 persen orang Spanyol dan 40,3 persen orang Jerman yang mengatakan tak ingin tahu.

Gigerenzer dan Garcia-Retameroda menyebut sikap semacam itu sebagai "ketakpedulian yang disengaja". Orang-orang sengaja tak peduli atau tak ingin tahu apa yang bakal terjadi untuk mengantisipasi penyesalan yang mungkin timbul jika mereka mengetahuinya.
Dengan memilih untuk tak mengetahui persitiwa di masa depan, orang-orang dapat menghindari perasaan negatif atau penyesalan yang mereka prediksi bakal datang akibat mengetahui peristiwa-peristiwa yang tak diinginkan. Orang-orang juga dapat menjaga perasaan ketegangan yang datang bersama peristiwa-peristiwa yang diharapkan.
ADVERTISEMENT
Kedua peneliti itu juga menemukan bahwa orang yang biasanya memilih sikap "ketakpedulian yang disengaja" lebih mungkin untuk menghindari risiko, dan juga lebih mungkin untuk membeli asuransi tak wajib, seperti asuransi jiwa. Antisipasi penyesalan memotivasi kedua tindakan ini (menghindari risiko dan membeli asuransi), sehingga gagasan mengantisipasi penyesalan memotivasi sikap ketakpedulian yang disengaja.

Namun begitu, keduanya memberi catatan bahwa mereka tidak tahu apakah hasil penelitian itu dapat digunakan untuk mengeneralisasi peristiwa-peristiwa hidup lainnya yang tak dibahas, atau apakah asil yang sama akan ditemukan di antara orang-orang di negara-negara lain.
Bagaimana ya kira-kira sikap orang Indonesia? Apakah kebanyakan dari kita tak ingin mengetahui masa depan juga? Apakah ada di antara kamu yang tertarik membuat survei dan penelitiannya?
ADVERTISEMENT