Apakah Rentetan Gempa Lombok Bisa Picu Tsunami dan Letusan Rinjani?

24 Agustus 2018 9:16 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:06 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat, menjadi negeri seribu gempa. Bagaimana tidak, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) telah melaporkan bahwa sejak tanggal 5 Agustus hingga 21 Agustus 2018, telah terjadi sebanyak 1.005 gempa susulan di sana.
ADVERTISEMENT
Dengan banyaknya gempa susulan, perlukah kita mengkhawatirkan terjadinya tsunami atau letusan Gunung Rinjani di Pulau Seribu Masjid itu?
Menurut Mirzam Abdurrachman, ahli vulkanologi Institut Teknologi Bandung, jika Gunung Rinjani dan Gunung Tambora, yang posisinya tidak jauh dari pusat Gempa Lombok, dalam keadaan stabil, maka kecil kemungkinan gunung api tersebut akan erupsi akibat gempa tektonik.
"Rinjani siklus letusannya 26 tahun sekali. Terakhir terjadi letusan besar pada 1994, yang artinya dapur magmanya baru akan terisi penuh 2020. Selain itu, juga terjadi letusan kecil pada tahun 2004 dan 2009, yang membuat dapur magmanya menjadi kosong. Artinya secara teoritis Rinjani akan tetap stabil," ujar Mirzam saat dihubungi kumparanSAINS, Rabu (23/8).
Ia juga mengatakan, jika dapur magma masih bisa menampung volume magma yang ada, maka letusan tidak akan terjadi. Artinya jika gempa yang terjadi membuat bagian dinding di dapur magma runtuh, maka hal tersebut tidak akan membuat Gunung Rinjani mengalami letusan karena kondisi dapur magmanya masih kosong.
Gunung Rinjani (Foto: Wikimedia Commons)
Mirzam menjelaskan ada beberapa hal yang bisa membuat terjadinya letusan gunung api, di antaranya adalah masuknya magma baru ke dalam dapur magma. Jika dapur magma kemudian tidak lagi bisa menampung, maka letusan akan terjadi.
ADVERTISEMENT
"Erupsi yang seperti ini sifatnya akan siklus, karena magma diproduksi dengan kecepatan tertentu dan naik menuju dapur magma dengan kecepatan tertentu juga. Sehingga letusannya bisa diprediksi," kata dia.
Lalu ada letusan yang terjadi akibat pendinginan magma. Jadi pendinginan magma menyebabkan terbentuknya kristal yang kemudian turun ke dasar dapur magma, sementara kristal yang ringan, termasuk gas, akan naik ke bagian atas dapur dan memberikan tekanan kepada atap dapur magma.
"Saat atap tidak mampu menahan tekanan maka erupsi akan terjadi. Sama seperti sebelumnya, pola ini bersifat siklus sehingga bisa diprediksi," papar Mirzam.
Gunung Rinjani (Foto: Thinkstock)
Lalu ada juga erupsi yang menurut Mirzam, tidak bisa diprediksi kejadiannya. Erupsi ini terjadi karena dinding dapur magma runtuh dan kemudian berinteraksi dengan magma yang panas.
ADVERTISEMENT
"Bayangkan akuarium berisi air penuh dan tiba-tiba kita masukan satu batu bata," kata Mirzam menjelaskan proses tersebut.
Kemudian ia juga menjelaskan bahwa pengaruh dari luar pun bisa menyebabkan letusan gunung api, yaitu Gerhana Bulan. Ketika Bulan, Bumi dan Matahari, berada dalam satu garis, gunung api yang sudah kritis atau "batuk-batuk" sangat mungkin erupsi karena tarikan Matahari dan Bulan tersebut.
Selain itu, ia juga menambahkan bahwa pergantian musim dingin ke musim semi juga bisa menyebabkan erupsi.
"Jadi saat es mencair di puncak gunung api, maka gunung tersebut terutama yang sudah kritis bisa kehilangan penutup atau beban di atasnya. Contohnya botol minuman soda yang sudah kita guncangkan, kemudian tutupnya kita hilangkan. Maka erupsi soda terjadi," imbuhnya.
Gunung Rinjani (Foto: Wikimedia Commons)
ADVERTISEMENT
Potensi tsunami
Di samping itu, Widjo Kongko, ahli tsunami dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), mengatakan bahwa berdasarkan kaidah umumnya, tsunami terjadi karena gempa dangkal yang terjadi di laut. Sementara mekanisme yang menyebabkan terjadinya tsunami adalah akibat adanya sesar naik atau sesar turun.
"Jadi tsunami itu terjadi karena lempeng di bawah bergerak dan ada penaikkan atau penurunan di lantai samudra, sehingga air di atas terdorong," ujar Widjo kepada kumparanSAINS.
"Karena tsunami sumbernya dari gempa bumi, maka waktu, lokasi, dan juga besarnya tidak dapat diprediksi. Namun demikian, apabila gempa bumi telah terjadi dan berpotensi tsunami, maka tinggi dan waktu tibanya di suatu lokasi dapat diperkirakan," tambah dia.
Gempa Lombok (Foto: Shutterstock)
Ia juga mengatakan agar masyarakat tetap waspada dan tetap mengambil informasi mengenai gempa serta tsunami dari sumber-sumber terpercaya, seperti BMKG.
ADVERTISEMENT
"Kita tidak berharap kalau di sana terjadi tsunami, tapi kalau kemudian ada gempa yang cukup besar ya kita harus waspada dengan kaidah umumnya," imbuh dia.