Begini Cara Tepat Penanganan Korban Gigitan Ular Menurut Standar WHO

23 Agustus 2019 20:30 WIB
comment
4
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi Ular Welang. Foto: Shutter Stock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Ular Welang. Foto: Shutter Stock
ADVERTISEMENT
Kasus tewasnya Iskandar, satpam Cluster Michelia, Gading Serpong, Tangerang Selatan, pada Rabu (21/8) akibat digigit ular masih menjadi perbincangan hangat. Nyawa Iskandar tak tertolong meski sudah sempat dilarikan ke Rumah Sakit Umum Kabupaten Tangerang dan diberikan serum antibisa atau antivenom.
ADVERTISEMENT
Sebenarnya seberapa efektif, sih, serum antibisa dalam menangkal racun akibat digigit ular berbisa?
Tri Maharani, dokter spesialis pengobatan emergensi yang biasa menangani pasien dengan kasus gigitan hewan berbisa terutama ular, mengutarakan kegusarannya soal masih banyak masyarakat Indonesia yang salah kaprah dengan penggunaan antivenom pada pasien yang terkena gigitan ular.
Menurut Tri, tidak semua kasus gigitan ular harus ditanggulangi dengan pemberian antivenom seperti yang kebanyakan masyarakat Indonesia lakukan selama ini. Sebab, tindakan medis tersebut hanya perlu dilakukan pada pasien yang tergigit ular berbisa.
Ilustrasi Ular Welang. Foto: Pixabay
Selanjutnya, Tri juga menyoroti mekanisme pemberian antivenom untuk pasien yang selama ini disalahartikan. “Saya pernah dengar, ada orang jualan antivenom tapi diminum. Antivenom itu hanya bisa intravena atau diinfus. Tidak bisa pula disuntikkan,” terang Tri saat dihubungi kumparanSAINS, Jumat (23/8).
ADVERTISEMENT
“Di Indonesia hanya ada antivenom namanya biosave. Biosave ini untuk tiga jenis ular. Jadi dia bersifat polivalen, satu obat untuk tiga jenis ular,” imbuhnya.
Tri menyebutkan tiga jenis ular tersebut meliputi ular kobra, ular tanah, dan ular welang. Sejauh ini, Tri mengaku belum menemukan riset yang menyebutkan antivenom tersebut juga bisa diberikan pada kasus seseorang yang digigit ular weling. “Banyak kasus orang yang digigit ular weling tidak terselamatkan,” kata Tri yang saat ini juga sedang menjabat sebagai Presiden Toxinology Society of Indonesia.
Di Indonesia sendiri, menurut Tri, ada 76 jenis ular berbisa serta 348 jenis ular berbisa dan tidak berbisa. “Maka kita mempunyai problem besar karena hampir 68 jenis tidak ada antibisanya,” tuturnya.
ADVERTISEMENT
Penanganan sesuai standar WHO terhadap korban gigitan ular
Tri tak menampik, selama ini cara penanganan para petugas medis di Indonesia terhadap pasien yang digigit ular masih buruk karena masih sangat mengandalkan serum antibisa atau antivenom. Padahal menurut Tri, sebelum melakukan tindakan memberikan antivenom, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh para tenaga medis.
Salah satunya, antivenom seharusnya diberikan setelah pasien mengalami fase sistemik, seperti merasa lemas atau sesak napas hingga gagal jantung.
Menurut Tri, antivenom sebenarnya tidak terlalu dibutuhkan jikalau first aid atau penanganan pertama pada pasien tergigit ular dilakukan dengan tepat. “Kalau kita tahu first aid yang benar, maka kita bisa membuat supaya venom tidak menjadi fase sistemik dengan berkurangnya absorpsi (penyerapan dan penyebaran racun) dan men-delay venom ini melakukan kondisi-kondisi fatalitas,” bebernya.
Ilustrasi Ular Welang. Foto: Shutter Stock
Penanganan pertama atau first aid yang dimaksud Tri merujuk pada rekomendasi dari Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO), yakni dengan cara imobilisasi atau membuat bagian tubuh yang digigit ular itu tidak bergerak.
ADVERTISEMENT
Tri memaparkan, cara termudah ialah dengan menggunakan dua bilah kayu, bambu atau kardus serta bahan-bahan lain yang bersifat rigid atau kaku.
Ada dua metode imobilisasi yang dijelaskan Tri. Untuk kasus yang menimpa Iskandar, dibutuhkan metode imobilisasi dengan elastic band. Metode ini khusus untuk kasus gigitan ular dengan bisa neurotoksin yang kuat.
“Imobilisasi untuk neurotoksin yang sifatnya cepat menyebabkan gagal napas dan gagal jantung dengan hitungan detik hingga menit, disarankan menggunakan elastic band.” jelas Tri.
Ilustrasi ular berbisa. Foto: Pixabay
Elastic band atau perban elastis, menurut dia, harus dilakukan dengan tenaga terlatih seperti perawat. Artinya, tindakan ini tidak disarankan untuk dilakukan oleh masyarakat awam. Imobilisasi dilakukan dalam kurun waktu 24 jam sampai 48 jam.
ADVERTISEMENT
Selanjutnya, ada metode imobilisasi yang tidak menggunakan elastic band. Menurut Tri, metode ini digunakan untuk menangani pasien-pasien yang tergigit ular yang sifatnya hematotoksin sehingga menyebabkan pembengkakan.
“Kalau di-elastic banded, justru membuat kondisinya lebih jelek. Contohnya (saat digigit) ular tanah, ular kobra, king kobra. Itu bengkak dan menimbulkan sebuah pembengkakan atau nekrosis. Meskipun kobra dan king kobra sebenarnya juga ada sifat neurotoksinnya. Tetapi karena ada pembekakan, jadi tidak bisa menggunakan elastic band,” pungkas Tri.