Benarkah Micin Buruk Buat Kesehatan? Ini Faktanya

17 Juli 2024 8:14 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
MSG Foto: Shutter Stock
zoom-in-whitePerbesar
MSG Foto: Shutter Stock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Selama lebih dari setengah abad, monosodium glutamat (MSG) alias micin digunakan sebagai bumbu pelengkap, biar masakan terasa gurih dan nikmat. Namun, selama itu pula micin dinilai punya reputasi buruk karena katanya bisa bikin orang jadi “lemot”.
ADVERTISEMENT
Micin juga disebut bisa menimbulkan serangkaian gejala seperti sakit kepala, gangguan pencernaan, hingga refluks asam. Yang jadi pertanyaan, benarkan micin buruk buat kesehatan, atau ada cerita lain di balik reputasi jelek MSG ini?
Menurut studi keamanan yang dilakukan Badan Pengawasan Obat dan Makanan (FDA) AS pada 1995, MSG aman dikonsumsi. MSG adalah garam natrium dari asam amino dan asam glutamat. Studi tahun 1995 melaporkan beberapa contoh gejala ringan dalam jangka pendek, seperti sakit kepala, muka merah, dan ngantuk. Ini dialami oleh orang yang sensitif pada MSG dengan mengonsumsi dalam jumlah besar, lebih dari 3 gram tanpa makanan.
“Mengonsumsi lebih dari 3 gram MSG tanpa dicampur makanan pada satu waktu adalah hal yang tidak mungkin,” menurut FDA sebagaimana dikutip Live Science.
ADVERTISEMENT
Jika MSG sudah dinyatakan aman dikonsumsi puluhan tahun lalu, kenapa sekarang orang-orang masih takut mengonsumsinya? Ketakutan akan konsumsi MSG ternyata memiliki sejarah panjang. Ini berakar dari sebuah surat lama, serangkaian penelitian yang buruk, dan pengaruh media pada tahun 1960-an.

Sejarah micin punya reputasi buruk

Pada 1968, seorang dokter Maryland bernama Robert Ho Man Kwok menulis surat kepada New England Journal of Medicine, di mana isi surat tersebut menjelaskan gejala yang dialaminya setelah makan makanan khas China Utara. Gejala termasuk mati rasa, lemas, dan jantung berdebar. Ia menyebut apa yang dialaminya sebagai “Chinese Restaurant Syndrome” dan menduga ada tiga kemungkinan yang menjadi penyebabnya: garam, anggur, atau MSG.
Seorang anggota staf yang mengenakan masker wajah menyiapkan meja di dalam restoran Brownstone, di Shanghai, China, Rabu (29/6/2022). Foto: Aly Song/REUTERS
MSG sendiri dibuat oleh seorang ahli kimia Jepang bernama Kikunae Ikade pada awal 1900-an. Micin menjadi bahan tambahan yang umum dipakai dalam masakan Asia Timur melalui imperialisme Jepang. Sekitar 1926, MSG masuk ke AS melalui dua jalur: restoran China dan makanan kaleng seperti yang dibuat oleh Campbell’s Soup Company.
ADVERTISEMENT
Pada saat surat Kwok ditulis, micin merupakan bahan tambahan makanan yang banyak digunakan dan bisa ditemukan di hampir semua jenis makanan olahan, makanan kemasan, dan makanan yang disiapkan di restoran, bahkan menjadi bumbu dapur rumah tangga.
Sejumlah dokter dan ilmuwan menanggapi surat Kwok, dan menjelaskan versi mereka sendiri tentang Chinese Restaurant Syndrome, tapi hanya sedikit gejala yang diceritakan. Ada juga orang berpendapat apa yang ditulis oleh dokter dan para ilmuwan ihwal Chinese Restaurant Syndrome adalah berita bohong, salah satunya adalah Dr. Howard Steel, ahli bedah ortopedi yang menantang pernyataannya dimuat di New England Journal of Medicine.
Namun, saat itu media lebih suka membahas isu liar yang beredar untuk dimuat menjadi berita utama dengan judul “Chinese Restaurant Syndrome Puzzles Doctors” dan menstigmatisasi makanan China.
ADVERTISEMENT
Awalnya, tidak ada bahan tertentu yang dikaitkan dengan Chinese Restaurant Syndrome. Ini karena surat Kwok menyebut ada tiga bahan yang dicurigai menjadi penyebab penyakit yang dideritanya. Namun, antara 1968 dan 1969, serangkaian penelitian yang dilakukan serampangan berupaya menetapkan Chinese Restaurant Syndrome sebagai kondisi medis yang disebabkan oleh MSG.
“Jika Anda melihat uji klinisnya, hasilnya cukup ekstrem,” kata Dr. Fred Cohen seorang spesialis sakit kepala dan asisten profesor kedokteran dan neurologi di Icahn School of Medicine di Mount Sinai, New York, yang baru-baru ini melakukan penelitian dan membuktikan bahwa MSG aman dikonsumsi.
MSG atau micin Foto: Shutter Stock
Sementara penelitian awal yang menjadi dasar reputasi buruk MSG dibuat dengan sangat bias. Dalam studi tanpa bukti tersebut, peneliti memberikan sup pangsit kepada relawan yang mengalami reaksi buruk terhadap makanan di restoran China untuk melihat apakah ada respons negatif atau tidak. Hasilnya, tentu saja orang-orang ini mengalami gejala karena sebelumnya sudah ada riwayat.
ADVERTISEMENT
Studi selanjutnya menguji efek MSG terhadap kesehatan tikus dan menghubungkan zat aditif ini dengan lesi otak dan obesitas. Namun dalam kasus ini MSG disuntikkan di bawah kulit, bukan dikonsumsi seperti manusia. Selain itu, MSG juga diberikan dalam dosis sangat tinggi.
Karena para peneliti terus menerus menerbitkan studi yang salah dan menyesatkan, ditambah peran media yang menyebarluaskan hasil studi salah kaprah tersebut, persepsi publik pun terbentuk. Orang-orang melihat MSG sebagai racun, dan restoran China sebagai sumbernya.
Sejak saat itu, banyak restoran China mulai memasang tanda “Tanpa MSG” di jendela restoran mereka. Produsen makanan juga menambah keterangan yang sama di kemasan produknya. Pada 2024, ulasan Yelp masih dipenuhi dengan pembicaraan tentang gejala yang disebabkan oleh MSG, meski telah banyak peneliti yang membantahnya.
ADVERTISEMENT
“Makanan cepat saji dan camilan biasanya mengandung MSG tinggi, tapi tidak menimbulkan keluhan yang sama,” kata Kantha Shelke, kepala ilmuwan di Corvus Blue LLC, sebuah firma riset dan regulasi ilmu pangan dan nutrisi yang berpusat di Chicago. “Sementara itu, makanan seperti tomat, jamur, dan keju secara alami mengandung MSG tapi tidak ada pembicaraan tentang Sindrom Restoran Italia.”
Shelke mengatakan, ada juga pengaruh sugesti yang perlu dipertimbangkan. Stigma seputar micin dan makanan China merangkum efek nocebo, fenomena di mana ekspektasi atau keyakinan negatif tentang suatu zat menyebabkan gejala yang tidak menyenangkan, bahkan tanpa adanya penyebab fisiologis apa pun.
Dengan kata lain, orang dapat mengalami gejala seperti sakit kepala, muka memerah, atau mual, karena sebelumnya diberi tahu tentang dampak negatif suatu zat.
ADVERTISEMENT
Dalam ulasannya, Cohen dan tim menemukan, meski MSG dapat menjadi pemicu potensial gejala sakit kepala, banyak dari penelitian tersebut menggunakan dosis MSG yang jauh lebih tinggi daripada konsumsi normal. Uji klinis juga melaporkan hasil yang saling bertentangan dan peran MSG dalam menyebabkan migrain tidak jelas.
Ada berbagai macam bahan seperti alkohol, susu, atau telur, yang secara umum dianggap aman, tapi sebenarnya dapat memicu sakit kepala bagi orang-orang tertentu, kata Cohen.