BMKG: Curah Hujan Ekstrem di Jakarta Dipengaruhi Perubahan Iklim

3 Januari 2020 11:42 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Foto Udara Jalan Gunung Sahari terendam banjir di Jakarta Pusat, Kamis (2/1).  Foto: ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan
zoom-in-whitePerbesar
Foto Udara Jalan Gunung Sahari terendam banjir di Jakarta Pusat, Kamis (2/1). Foto: ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Hujan deras berdurasi panjang yang mengguyur DKI Jakarta pada tanggal 31 Desember 2019 sore hingga 1 Januari 2020 pagi menyebabkan banjir cukup luas di beberapa wilayah. Curah hujan yang ekstrem ini, kata Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), dipengaruhi oleh perubahan iklim.
ADVERTISEMENT
Sebagai wilayah dengan kelurahan yang paling banyak terkena dampak banjir, Jakarta Timur dan Jakarta Barat tercatat memiliki curah hujan ekstrem paling tinggi dibandingkan kota administrasi lainnya. Dari hasil pengukuran BMKG, Bandara Halim Perdana Kusuma tercatat memiliki curah hujan tertinggi yakni 377 mm/hari. Disusul TMII (Taman Mini Indonesia Indah) 355 mm/hari, Kembangan 265 mm/hari, Pulo Gadung 260 mm/hari, Jatiasih 260 mm/hari, Cikeas 246 mm/hari dan Tomang 266 mm/hari.
Bundaran HI diguyur hujan jelang perayaan tahun baru. Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
“Sebaran curah hujan ekstrem tersebut lebih tinggi dan lebih luas daripada kejadian banjir – banjir sebelumnya, termasuk banjir Jakarta 2007 dan 2015,” papar Herizal, Deputi Bidang Klimatologi BMKG.
Curah hujan 377 mm/hari di Bandara Halim Perdana Kusuma menjadi rekor baru curah hujan tertinggi sepanjang sejarah, yakni semenjak pencatatan pertama kali dilakukan di Jakarta dan sekitarnya pada zaman kolonial Belanda tahun 1866 silam.
ADVERTISEMENT
Banjir di DKI Jakarta yang dipicu curah hujan ekstrem juga terjadi di tahun 2007 dan 2015 lalu. Kala itu, curah hujan ekstrem mencapai lebih dari 150 mm/hari dan turun cukup merata di wilayah Ibu Kota.
Berdasarkan pengkajian data historis terkait curah hujan harian selama 150 tahun (1866 – 2015), BMKG menemukan adanya kesesuaian tren antara semakin seringnya banjir signifikan terjadi di Jakarta dengan peningkatan intensitas curah hujan ekstrem tahunan sebagaimana yang terjadi pada 1 Januari 2020 lalu.
Menurut Herizal, curah hujan harian tertinggi di wilayah Jabotabek per tahunnya, mengindikasikan adanya tren kenaikan dengan intensitas 10 hingga 20 mm per 10 tahun. Hasil ini diperoleh dari data 43 tahun terakhir.
Jika dibandingkan dengan kondisi iklim 100 tahun lalu, curah hujan ekstrem yang acap kali menjadi pemicu banjir di Jakarta, seperti yang terjadi pada 2014, 2015 dan 2020, telah mengalami peningkatan 2 hingga 3 persen. Hasil tersebut ditunjukkan melalui analisis statistik ekstrem data series 150 tahun Stasiun Jakarta Observatory BMKG. Dengan demikian, hal tersebut menandakan bahwa hujan-hujan besar yang dulu jarang terjadi, kini lebih berpeluang kerap hadir pada kondisi iklim saat ini.
Ilustrasi perubahan iklim. Foto: Pixabay
Analisis meteorologis pada 1 Januari 2020 pagi hari menunjukkan curah hujan tinggi tidak dipengaruhi oleh penguatan aliran monsun Asia dan indikasi jalur daerah konvergensi massa udara atau pertemuan angin monsun intertropis (ITCZ) tepat berada di atas wilayah Jawa bagian utara. ITCZ lantas memicu pertumbuhan awan yang sangat cepat, tebal, dan masif akibat penguapan dari lautan sekitar Pulau Jawa yang sudah menghangat dan menyuplai kelimpahan massa uap air bagi atmosfer di atasnya.
ADVERTISEMENT
Sejarah curah hujan ekstrem dan banjir Jakarta
Berdasarkan analisis beberapa kejadian banjir besar yang pernah melanda Jakarta pada masa lalu, seperti yang terjadi pada 1918, 1979, 1996, 2002, 2007, 2013, 2014, dan 2015, pemicunya selalu dikaitkan dengan curah hujan ekstrem yang berlangsung 1 hingga 2 hari.
Selain fenomena meteorologis yang membentuknya, besaran dampak banjir juga dikaitkan dengan wilayah di mana curah hujan tinggi tersebut terkonsentrasi. Intensitas curah hujan ekstrem yang berlangsung 1 hingga 2 hari sendiri dapat berkontribusi sekitar 30 persen dari total curah hujan pada bulan tersebut.
“Beberapa aspek fenomena meteorologis yang biasanya menyertai curah hujan tinggi di Jakarta, dapat sebagai penyebab individual atau kombinasi antar beberapa fenomena atmosfer sekaligus, di antaranya: ITCZ, MJO, Suhu Muka Laut lebih hangat, penguatan aliran monsun lintas ekuator, La Nina, dan Seruakan dingin Asia (cold surge),” terang Herizal.
ADVERTISEMENT
Penyebab banjir Jakarta
Penyebab banjir di Jakarta sejatinya bukan hanya masalah curah hujan ekstrem dan fenomena meteorologis, ada beberapa faktor lain seperti besarnya limpahan air dari daerah hulu, berkurangnya waduk dan danau tempat penyimpanan air banjir, permasalahan menyempit dan mendangkalnya sungai akibat sedimentasi dan penuhnya sampah, rendaman rob akibat permukaan laut pasang, serta faktor penurunan tanah (ground subsidence) yang meningkatkan risiko genangan air. Meski begitu, curah hujan ekstrem memang paling dominan sebagai penyebab banjir di Jakarta.
BMKG mengimbau agar semua pihak dan masyarakat tetap waspada terhadap peluang curah hujan tinggi yang masih mungkin mengingat puncak musim hujan diprakirakan akan terjadi pada bulan Februari hingga Maret, selain juga masih terdapat peluang fenomena gelombang atmosfer ekuator/Madden-Julian Oscillation (MJO) dan seruak dingin yang dapat terjadi sebagai variabilitas iklim di musim hujan kali ini. BMKG mendefinisikan puncak musim hujan sebagai periode di mana akumulasi curah hujan mencapai jumlah tertinggi pada suatu dasarian untuk tiap zona musim.
ADVERTISEMENT
Pemerintah dan masyarakat diharapkan terus meningkatkan kesadarannya terhadap lingkungan dan semua persoalan yang menjadi penyebab banjir Jakarta, dan secara umum terhadap risiko bencana terkait iklim dan cuaca (hidrometeorologi) di masa mendatang.