BMKG: Teluk Palu Masuk Zona Merah Tsunami Sejak 2001

8 Oktober 2018 9:47 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:05 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Dwikorita Karnawati, Kepala BMKG. (Foto: Fauzan Anangga/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Dwikorita Karnawati, Kepala BMKG. (Foto: Fauzan Anangga/kumparan)
ADVERTISEMENT
Dwikorita Karnawati memejamkan mata saat bicara tentang salah seorang pegawai Pemerintah Kota Palu yang berkuliah di kampus yang pernah ia pimpin, Universitas Gadjah Mada. Sang pegawai peneliti mengambil tema disertasi tentang likuefaksi, yakni hilangnya kekuatan dan kepadatan lapisan tanah akibat getaran gempa.
ADVERTISEMENT
“Sampai hari ini, dia belum ditemukan,” ujar Dwikorita pelan sambil membuka mata.
Sosok yang diceritakan Dwikorita, yakni pegawai peneliti yang menempuh pendidikan di UGM, belum diketahui keberadaannya. Ia menjadi satu dari ribuan orang yang hilang kala gempa, tsunami, dan likuefaksi menerjang Palu dalam sehari, Jumat (28/9).
“(Program mitigasi) belum sempat benar-benar diterapkan, sudah keburu terjadi gempa dan tsunami,” kata Dwikorita, Kepala Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) di kantornya, Kemayoran, Jakarta Pusat, Kamis malam (4/10).
Meski malam kian larut, Dwikorita meluangkan waktu untuk berbincang panjang soal bencana di Sulawesi Tengah, juga tentang kendala-kendala yang dihadapi dalam mitigasi--perkara genting yang kerap masih dianggap urusan sampingan.
Berikut petikan wawancara kumparan dengan Dwikorita Karnawati dan Kepala Bidang Mitigasi Gempa Bumi dan Tsunami BMKG, Daryono.
ADVERTISEMENT
Apakah potensi bencana di Palu sudah diperkirakan oleh BMKG?
Dwikorita: Tahun 2001, BMKG telah melakukan identifikasi melalui pemetaan zona rawan tsunami, dan memang Teluk Palu itu masuk di zona merah. Artinya, sebenarnya sudah diprediksi sejak tahun 2001.
Kemudian tahun 2010, berdasarkan data-data sejarah kegempaan yang terjadi di sekitar Sulawesi Barat atau sekitar Palu seperti Donggala, Bappenas mengadakan program untuk mengurangi (mitigasi) risiko bencana, dengan melibatkan BNPB dan perguruan tinggi--UGM Yogya dan Universitas Tadulako Palu.
Dengan telah diketahuinya bahwa Palu itu rawan gempa dan tsunami, pemerintah juga membina BPBD Kota Palu agar mampu meningkatkan kapasitas untuk menyiapkan kemungkinan menghadapi bencana gempa dan tsunami. Misalnya pelatihan rutin tentang pemetaan, dan analisis risiko bencana.
ADVERTISEMENT
Apalagi bencananya itu multi-hazard karena diperkirakan tidak hanya gempa dan tsunami saja. Sudah diperkirakan longsor juga akan terjadi. Badan Geologi saat itu juga sudah memetakan kemungkinan adanya likuefaksi.
Jadi, potensi gempa, tsunami, longsor, dan likuefaksi itu sudah terdeteksi sejak awal. Khusus likuefaksi yang meneliti Badan Geologi. Sudah ada pemetaannya, sudah menjadi kajian banyak orang.
Peta zona bahaya likuefaksi Palu dan sekitarnya. (Foto: Dok. Badan Geologi)
zoom-in-whitePerbesar
Peta zona bahaya likuefaksi Palu dan sekitarnya. (Foto: Dok. Badan Geologi)
Jadi sebetulnya sudah ada program mitigasi bencana di Palu?
Dwikorita: Persiapan mitigasi bencana di Palu sudah dimulai sejak 2010, dan BMKG sekitar tahun 2014 melanjutkan melakukan sekolah lapang gempa, yaitu melatih anak-anak SD untuk siap menghadapi bencana gempa. Kami juga mendapat bantuan dari pemerintah Selandia Baru, salah satunya mendapat seismometer portabel untuk sekolah-sekolah.
Seismometer ialah alat untuk mengukur dan merekam getaran gempa bumi, baik kekuatan, lama, arah, maupun jarak gempa.
ADVERTISEMENT
Jadi beberapa sekolah sudah dipasangin seismometer, dan anak-anak SD dilatih untuk mengoperasikan dan membaca data seismometer. Supaya anak-anak itu sejak dini dilatih agar mulai waspada bahwa gempa itu bisa terjadi di sana.
Dalam pelatihan itu juga diberi tahu bagaimana cara untuk menyikapi gempa--sebelum kejadian, saat kejadian, dan setelah kejadian.
Pemerintah daerah juga sudah mulai menyiapkan dan sudah paham daerah mana yang rawan. Cuma barangkali belum sempat mengesekusi (mitigasi). Karena rencana tata ruang masih harus perlu proses untuk ditata kembali. Buktinya masih ada bangunan di pinggir pantai, padahal itu masuk zona merah.
Kalau melihat kondisi sekarang, tampaknya rencana itu belum sempat benar-benar diterapkan, keburu terjadi gempa dan tsunami.
Pesisir Palu pasca-gempa dan tsunami. (Foto: AFP/Jewel Samad)
zoom-in-whitePerbesar
Pesisir Palu pasca-gempa dan tsunami. (Foto: AFP/Jewel Samad)
Apa hal terpenting yang perlu segera dilakukan ketika gempa datang?
ADVERTISEMENT
Dwikorita: Apabila ada guncangan gempa yang kuat di pantai, langsung saja cari tempat yang tinggi.
Mitigasi bencana tidak dengan satu cara saja. Ada beberapa alternatif kemungkinan atau skenario, antara lain ada istilah blue line seperti di Aceh. Jadi membuat garis biru di tempat yang cukup tinggi. Kemudian masyarakat mendapat sosialisasi, jika ada gempa, langsung lari melompati garis biru itu.
Kalau sudah masuk ke garis biru, bisa aman tak kena tsunami. Jadi masyarakat tidak sekadar diajari mendengarkan peringatan dini, karena peringatan dini baru bisa diberikan--kalau di Indonesia--3-5 menit, sementara realitanya tsunami itu bisa datang di menit pertama.
Selain itu, kami melatih pemda. Konsepnya, kami tidak mengajari mereka, tapi memberdayakan daerah untuk mampu mengelola masyarakatnya. Judul programnya Local Government Empowerment in Disaster Risk Reduction.
Pengungsi di Kantor Wali Kota Palu mandi setelah air bersih mulai lancar. (Foto: AFP/JEWEL SAMAD)
zoom-in-whitePerbesar
Pengungsi di Kantor Wali Kota Palu mandi setelah air bersih mulai lancar. (Foto: AFP/JEWEL SAMAD)
Apakah pelatihan mitigasi itu berjalan lancar, atau ada kendala di lapangan?
ADVERTISEMENT
Dwikorita: Kami tidak menyalahkan, karena ini sudah ada upaya, tapi belum berhasil. Barangkali kurang rutin. Artinya pelatihan harus rutin.
Yang kami amati, salah satu kendalanya, ketika ada pegawai pemerintah daerah yang sudah kami latih, dia dipindah posisi. Jadi saat terjadi bencana, dia sudah digantikan orang baru yang belum mengikuti pelatihan.
Kadang tampaknya keberadaan BPBD belum dianggap vital di beberapa daerah. Karena ya itu, kalau stafnya sudah ikut pelatihan dan terampil, pada saat dia menerapkan hasil pelatihan ke masyarakat, dia diganti posisi dan pindah. Sementara orang baru belum dapat pelatihan. Nanti begitu yang bari ini dilatih dan sudah bisa, dia pindah lagi.
Ada juga daerah yang dulu menganggap BPBD tidak penting. Jadi yang ditaruh di situ adalah orang yang mendapat sanksi. Tapi ini tidak semua daerah. Semoga saja saat ini sudah berubah.
Tim SAR mengevakuasi korban yang tertimbun reruntuhan Hotel Roa Roa di Palu. (Foto: ANTARA FOTO/Basri Marzuki)
zoom-in-whitePerbesar
Tim SAR mengevakuasi korban yang tertimbun reruntuhan Hotel Roa Roa di Palu. (Foto: ANTARA FOTO/Basri Marzuki)
Daerah mana saja yang saat ini memiliki potensi bencana alam relatif tinggi?
ADVERTISEMENT
Dwikorita: Tidak hanya Palu. Palu itu salah satu pilot area, karena potensi (bencana) ada di beberapa tempat. Pilot area yang lain ada di Padang dan Bengkulu.
Namun kami menyadari untuk benar-benar mengeksekusi (rencana mitigasi), kami kurang cepat. Padahal kecepatan sangat penting. Dan itu yang kami tidak berhasil.
Pemerintah daerah bersama pusat harus segera bergerak cepat, terutama untuk daerah-daerah yang belum mengalami gempa dan tsunami.
Daryono: Saat ini kami melihat aktivitas di Banda tinggi, juga di lempeng laut Maluku antara Halmahera dan Manado, dan di selatan Jawa serta barat Bengkulu.
Kemudian Kota Bandung dekat dengan zona sesar Lembang, Yogya dekat sesar Opak, Padang dekat sesar Sumatera, Gorontalo dilintasi patahan Gorontalo, utara Bali Lombok NTB NTT Flores dilintasi patahan Flores, Sorong dilewati alur sesar Sorong.
ADVERTISEMENT
Dalam geologi, sesar ialah fraktur (retakan/patahan) atau diskontinuitas dalam volume batuan akibat gerakan massa batuan.
Tapi dalam ilmu gempa itu juga banyak ketidakpastiannya. Jadi ketika ada peningkatan aktivitas gempa, tidak serta-merta berarti akan ada gempa besar. Malah bisa jadi daerah yang sepi gempa, sedang mengalami akumulasi energi dan suatu saat akan keluar sebagai gempa dengan kekuatan signifikan.
Sehingga kalau ada ramalan bahwa zona megathrust (tumbukan besar) akan pecah menjadi gempa, itu baru dugaan. Tidak bisa dipastikan kapan. Atau kalau di zona gempa banyak isu akan ada gempa lebih besar, akan ada tsunami lagi, itu tidak memiliki dasar sains yang kuat dan sudah pasti hoaks.
Zona subduksi dan sesar di Indonesia. (Foto: Dok. Badan Geologi)
zoom-in-whitePerbesar
Zona subduksi dan sesar di Indonesia. (Foto: Dok. Badan Geologi)
Apa kesulitan mengedukasi masyarakat soal pentingnya mitigasi bencana?
ADVERTISEMENT
Dwikorita: Sulit kalau daerah tersebut belum pernah mengalami (gempa atau tsunami). Tantangannya lebih berat lagi. Pengalaman kami tuh sampai kayak ngemis-ngemis agar mereka mau mendengar. Padahal kami mau membantu.
Daryono: Tidak semudah membalik tangan, sehingga kita memang harus lebih serius lagi dalam upaya mitigasi. Apalagi kota-kota besar kita banyak yang memiliki risiko tinggi terhadap gempa bumi. Jadi masyarakat harus diedukasi sekaligus aktif belajar dan mencari pemahaman sendiri. Perlu proaktif mempelajari bahaya gempa, termasuk menyiapkan tempat tinggal supaya aman.
Di Indonesia ada gap cukup lebar antara high tech earthquake monitoring dengan (kesadaran) masyarakat. Ada teknologi canggih, dalam waktu 3-4 menit sudah bisa menentukan parameter gempa. Indonesia juga punya banyak ahli gempa. Di ITB, UGM, UI, ITS. Paper literasi gempa juga sudah banyak.
ADVERTISEMENT
Tapi setiap terjadi gempa kuat, korban terus berjatuhan. Kalau kita lihat di Jepang dan Selandia Baru, gempa-gempa magnitudo 7 itu hal biasa, dan korbannya sedikit, rumah juga cuma retak-retak.
Ini harus diperbaiki, gap antara scientific high tec dan literasi-pakar gempa dengan kesadaran masyarakat.
Kalau mitigasi hanya jadi formalitas, maka sampai kapan pun, setiap terjadi gempa, korban akan terus berjatuhan, dan ke depan akan semakin banyak. Karena orang semakin banyak, bangunan juga semakin banyak.
Hotel Roa Roa di Palu yang terdiri dari 8 lantai, ambruk akibat gempa. (Foto: AFP PHOTO / Jewel Samad)
zoom-in-whitePerbesar
Hotel Roa Roa di Palu yang terdiri dari 8 lantai, ambruk akibat gempa. (Foto: AFP PHOTO / Jewel Samad)
Apa teknologi yang dimiliki Indonesia untuk mendeteksi tsunami?
Dwikorita: Pakai pemodelan komputer yang kita sebut Indonesia Tsunami Early Warning System. Lewat ini, kami memonitor 28 negara, nggak hanya Indonesia. Apa yang kami pakai itu adalah modelling mathematic, numerical modelling.
ADVERTISEMENT
Jadi saat pemodelan itu dibuat tahun 2008, ada 4.500 skenario model tsunami yang mungkin terjadi di Indonesia. Sehingga saat terjadi gempa, sensor-sensor yang membentuk segitiga itu mengirimkan sinyal masuk ke mesin BMKG, di komputer, di artificial intelligence-nya.
Dari situ, diketahui pusat gempanya di mana, kekuatannya berapa, kedalamannya berapa. Lalu informasi itu dicocokkan dengan sekian ribu model tsunami.
Jadi peringatan dini di BMKG berbasis pemodelan numeris, bukan buoy. Buoy itu bukan alat peringatan dini tsunami yang dikeluarkan BMKG.
Pada 2012, BPPT mengkaji bagaimana kalau buoy itu dipasang, dan memang beberapa ada yang sudah dipasang. Buoy itu sifatnya merekonfirmasi apakah tsunami yang diprediksi BMKG benar-benar terjadi.
Buoy menginformasikan, sudah sampai sini loh tsunaminya. Misalnya tsunami jaraknya 100 kilo, lalu ketika sudah berjalan 50 kilo, di situ ada buoy. Buoy lantas menginformasikan, awas, ini tsunami sudah berjalan 50 kilo. Masih 50 kilo lagi ke pantai, jadi ada waktu (untuk menyelamatkan diri). Di situ ada rekonfirmasi.
ADVERTISEMENT
Namun sebelum tsunami berjalan, komputer sudah memberi tahu terjadi tsunami--awas terjadi tsunami, diperkirakan tsunami paling lambat datang pukul sekian. Artinya, sebelum jam tersebut, bisa saja tsunami terjadi.
Buoy, alat rekonfirmasi tsunami. (Foto: Pixabay)
zoom-in-whitePerbesar
Buoy, alat rekonfirmasi tsunami. (Foto: Pixabay)
Jadi, banyak yang salah paham, seakan-akan buoy memberikan peringatan dini. Padahal peringatan yang dini itu dengan perhitungan matematis pemodelan tadi.
Buoy kadang-kadang sudah tidak ada gunanya. Karena kalau alat itu memberi tahu ada kenaikan, ya sudah sampai dong tsunaminya, sudah enggak bisa lari. Makanya yang kami ajarkan, apabila ada gempa, segera lari ke atas.
Dan mitigasi lebih penting lagi. Agar kalau suatu waktu terjadi (tsunami), kita sudah siap dengan jalur evakuasi, sudah siap untuk naik ke atas, sudah otomatis tahu apa yang akan dilakukan tanpa mendengar peringatan dini. Karena, misalnya, peringatan dini baru diberikan 5 menit, padahal tsunaminya datang dalam 2 menit.
ADVERTISEMENT
Jadi harus ada jalur evakuasi vertikal yang cepat di pantai, dan tata ruang ditata. Jangan membangun bangunan-bangunan penting yang mengundang banyak orang berkumpul di tepi pantai.
Pesisir Palu usai dilanda gempa dan tsunami. (Foto: AFP/Ola Gondronk)
zoom-in-whitePerbesar
Pesisir Palu usai dilanda gempa dan tsunami. (Foto: AFP/Ola Gondronk)
Bagaimana soal sesar aktif di dekat Jakarta yang dapat memicu gempa?
Dwikorita: Ada catatan sejarah sekitar tahun 1600, 1800, juga di zaman VOC, bahwa Jakarta mengalami gempa bumi yang merobohkan bangunan-bangunan VOC. Artinya, gempa itu kuat.
Tapi kita tidak tahu sumber gempanya di mana, apakah di laut atau dekat Jakarta, karena saat itu belum tercatat lewat seismometer. Oleh karena itu kami sedang menyiapkan dan memasang sensor-sensor gempa.
Daryono, Kepala Bidang Mitigasi Gempa Bumi dan Tsunami BMKG. (Foto: Jafrianto/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Daryono, Kepala Bidang Mitigasi Gempa Bumi dan Tsunami BMKG. (Foto: Jafrianto/kumparan)
Daryono: Dari sejarahnya, ada gempa besar di Jakarta. Tahun 1699 sudah terjadi gempa merusak Jakarta. 1700 pernah, 1800 pernah. Dan akan terjadi lagi suatu saat nanti.
ADVERTISEMENT
Yang paling signifikan itu dari jalan megathrust selatan--Jawa Barat dan Selat Sunda. Tapi juga terancam oleh sesar Baribis, sesar Lembang, dan sesar Cimandiri di Sukabumi.
Yang perlu diingat, banyak sumber gempa yang justru di ‘belakang’ rumah kita sendiri, yang dekat dengan permukiman penduduk. Ia mudah dibangkitkan oleh sesar aktif itu. Tapi kita terlalu euforia dengan megathrust, dan melupakan yang dekat. Kalau megathrust kan di laut, di Samudra Hindia sana.
Pekerja kantoran keluar dari ruangan saat Jakarta digoyang gempa yang berpusat di Banten, 23 Januari 2018. (Foto: Istimewa)
zoom-in-whitePerbesar
Pekerja kantoran keluar dari ruangan saat Jakarta digoyang gempa yang berpusat di Banten, 23 Januari 2018. (Foto: Istimewa)
Persiapan pemasangan sensor gempa untuk Jakarta sudah sejauh mana?
Dwikorita: Diharapkan sebelum akhir tahun ini sudah bisa dipasang alat itu--beberapa sensor untuk mendeteksi gejala-gejala awal. Jangan sampai ada hal-hal yang membahayakan nantinya.
Sejarah Tsunami Jawa (Foto: Basith Subastian/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Sejarah Tsunami Jawa (Foto: Basith Subastian/kumparan)
------------------------
Ikuti laporan mendalam Negeri Seribu Gempa di Liputan Khusus kumparan.
ADVERTISEMENT