Cerita Peneliti Fisika LIPI soal Pertemuannya dengan Stephen Hawking

15 Maret 2018 13:28 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:10 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
L.T. Handoko dan Stephen Hawking (Foto:  Dok. LIPI dan Reuters)
zoom-in-whitePerbesar
L.T. Handoko dan Stephen Hawking (Foto: Dok. LIPI dan Reuters)
ADVERTISEMENT
Stephen Hawking, fisikawan ternama di abad 21 ini, telah mengembuskan napas terakhir di rumahnya di Cambridge, Inggris, pada Rabu (14/3) pagi waktu setempat. Sejumlah ilmuwan dunia turut berduka atas kepergiaannya.
ADVERTISEMENT
Bukan hanya para ilmuwan dunia yang pernah bertemu dengan Hawking, orang-orang yang tidak pernah menjumpainya pun turut kehilangan sosok jenius yang senantiasa bersemangat menjalani hidup di segala keterbatasannya itu. Melalui kisah hidup dan karya-karya yang ia torehkan, misalnya berupa buku-buku dan teori-teori cemerlangnya, Hawking telah sukses menginspirasi banyak orang.
Jika orang-orang yang tidak pernah menjumpai Hawking saja begitu kehilangan akan sosoknya, tentu ada kesan khusus tersendiri bagi mereka yang pernah bertemu langsung dengan ilmuwan yang mengabdikan hidupnya untuk menguak misteri alam semesta itu.
Salah satu ilmuwan Indonesia yang pernah bertemu langsung dengan Stephen Hawking adalah L.T. Handoko. Handoko adalah salah satu fisikawan teori Indonesia dengan fokus penelitian teori fisika partikel. Saat ini Handoko menjabat sebagai Deputi Bidang Ilmu Pengetahuan Teknik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).
ADVERTISEMENT
Sebelum menjadi peneliti di LIPI, Handoko pernah bekerja sebagai peneliti di Deutsches Elektronen-Synchroton (DESY), lembaga riset di Hamburg, Jerman. Saat bekerja di sanalah Handoko berkesempatan bertemu dengan Stephen Hawking.
Stephen Hawking (Foto: REUTERS)
zoom-in-whitePerbesar
Stephen Hawking (Foto: REUTERS)
Pada tahun 2000-an ada konferensi yang diadakan di DESY. Dalam konferensi tersebut Stephen Hawking hadir sebagai salah satu pemateri.
“Seingat saya dia (Hawking) bicara mengenai teori kosmologi umum dan teori lubang hitam. Tidak banyak dan tidak detail karena bicaranya saja sudah dibantu mesin,” tutur Handoko kepada kumparanSAINS, Rabu (14/3) malam.
Meski tidak sempat mengobrol atau berinteraksi dengan Hawking dalam acara tersebut, Handoko tetap menaruh rasa kagum pada sosok ilmuwan kelahiran Oxford, 8 Januari 1942 itu.
“Ya kagum aja. Kan dia ada disabilitas ya, tapi masih bisa menyampaikan ide dan teorinya. Ide dan teori yang notabene sulit,” kata pria yang pernah kuliah di jurusan Fisika ITB selama beberapa bulan sebelum akhirnya pindah ke Kumamoto University di Jepang karena mendapatkan beasiswa.
L.T. Handoko, peneliti LIPI (Foto: Dok. LIPI)
zoom-in-whitePerbesar
L.T. Handoko, peneliti LIPI (Foto: Dok. LIPI)
Pria pemegang gelar doktoral di bidang teori fisika partikel atau fisika energi tinggi dari Hiroshima University, Jepang itu menuturkan, dalam acara konferensi tersebut Hawking menyampaikan materinya dalam waktu yang relatif singkat. “Karena mungkin dia juga capek ya,” kata Handoko yang memaklumi kondisi kesehatan Hawking.
ADVERTISEMENT
Sebagaimana yang telah diketahui, sejak usia muda, tepatnya ketika berumur 21 tahun, Hawking telah didiagnosis menderita penyakit sklerosis lateral amiotrofik (ALS). Para dokter yang mendiagnosis penyakit langka tersebut, memprediksi usia Hawking hanya tinggal dua tahun lagi.
Meski penyakit langka yang menyerang saraf itu membuat Hawking tidak bisa bergerak dan bicara, rupanya Hawking tetap bisa bertahan hidup hingga usia 76, bukan 23 atau 24 tahun seperti prediksi para dokter.
Melihat langsung pemaparan dari Stephen Hawking, telah meninggalkan kesan yang kuat bagi Handoko. “Dia (Hawking) salah satu ilmuwan terbaik ya, khususnya terkait dengan teori kosmologi,” kata pria kelahiran Lawang, Jawa Timur tahun 1968 itu.
Tak hanya itu, Handoko juga terkesan dengan semangat Hawking di tengah keterbatasan kesehatan yang ada pada sang kosmolog.
ADVERTISEMENT
Penyakit ALS yang membuat Hawking tak bisa berjalan dan bicara tak membuat si jenius hilang akal. Dengan batuan seperangkat mesin yang disebut sebagai ‘kursi kehidupan’, Hawking tetap bisa beraktivitas dan berkarya.
“Selain itu dia (Hawking) ada keunikan yang lain. Dia ada disabilitas, tapi bisa terus bertahan (hidup dan berkarya),” imbuh Handoko untuk sekali lagi mengungkapkan rasa kagumnya kepada ilmuwan yang telah pergi selama-lamanya dengan meninggalkan inspirasi dan karya-karya besar di bidang sains yang mungkin juga akan dikenang selama-lamanya itu.