Deretan Hewan Terancam Punah di Tahun 2050, Banyak Satwa dari Indonesia

21 September 2022 7:46 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi perubahan iklim. Foto: Shutter Stock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi perubahan iklim. Foto: Shutter Stock
ADVERTISEMENT
Lima kepunahan massal telah terjadi dalam sejarah Bumi, dan kini banyak ahli memperingatkan akan datangnya kepunahan massal keenam yang terjadi akibat aktivitas manusia. Beberapa ilmuwan bahkan memprediksi hampir 40% spesies hewan yang ada di Bumi saat ini bisa punah pada awal 2050.
ADVERTISEMENT
Apakah ini skenario terburuk? Apakah benar penurunan populasi hewan di Bumi akan terjadi?

Jumlah kematian meningkat

Menurut Nic Rawlence, direktur Otago Palaeogenetics Laboratory dan dosen senior DNA purba di Department of Zoology di University of Otago, Selandia Baru, kepunahan keenam adalah peristiwa yang sangat mungkin terjadi.
Kalaupun spesies tidak punah seluruhnya, kata Rawlence, maka spesies yang tidak bisa beradaptasi dengan kondisi Bumi akan cepat mengalami penurunan populasi, kepunahan lokal hingga punah secara fungsional. Krisis kepunahan saat ini mungkin belum mencapai puncaknya, tapi ini sangat sulit untuk dihentikan.
Menurut daftar merah International Union for Conservation of Nature (IUCN) ada sekitar 41.000 spesies yang saat ini masuk dalam kategori terancam punah. Beberapa di antaranya adalah hewan asli Indonesia seperti:
ADVERTISEMENT
Bayi orang utan Kalimantan berusia 5 bulan digendong induknya di Kebun Binatang Guadalajara, Meksiko. Foto: Fernando Carranza/REUTERS
Semua spesies hewan tersebut diklasifikasikan sebagai satwa terancam punah. Ini artinya mereka berisiko mengalami kepunahan yang sangat tinggi di alam liar, menurut IUCN dan World Wide Fund for Nature (WWF). Karena statusnya yang terancam punah, hewan-hewan tersebut diprediksi akan menghilang di tahun 2050.
Selain itu, masih ada spesies yang kurang dikenal juga berisiko punah. Makalah yang terbit di jurnal Biological Conservation pada 2019 menemukan bahwa saat ini spesies serangga juga terancam punah.
"Praktik berbasis ekologi yang lebih berkelanjutan perlu diadopsi secara menyeluruh sehingga bisa memperlambat atau membalikkan tren saat ini, memungkinkan pemulihan menurunnya populasi serangga, dan menjaga ekosistem vital,” kata peneliti sebagaimana dikutip Live Science.
ADVERTISEMENT
Beberapa spesies serangga yang masuk dalam kategori sangat terancam punah IUCN adalah belalang berujung putih (Chorthippus acroleucus), jangkrik semak Alpen Selatan (Anonconotus apenninigenus), kupu-kupu biru Swanepoel (Lepidochrysops swanepoeli), lebah Franklin (Bombus), dan wereng bersayap Seychelles (Procytettix fusiformis).

Terumbu karang bakal mati

Sementara di sektor makhluk laut. Menurut laporan 2018 oleh Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), lebih dari 90% terumbu karang di dunia bisa mati di tahun 2050, bahkan jika manusia berhasil mencegah suhu global naik hingga 2 derajat Celsius.
Tiga ekor gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) liar terlihat berjalan di sekitar kantong habitat Sugihan-Simpang Heran. Foto: ANTARA FOTO/Nova Wahyudi
Dalam laporan IPCC yang lebih baru disebut, kenaikan suhu global 1,5 derajat Celcius pada awal 2030 bahkan bisa membuat 99% terumbu karang di seluruh dunia mengalami gelombang panas yang lebih sering sehingga akan menghambat pertumbuhannya.
ADVERTISEMENT
Menurut laporan tahun 2022 yang terbit di jurnal Nature, dua dari lima amfibi (40,7%) terancam punah. Sementara laporan yang terbit di jurnal Biology Letters pada 2016 mengatakan bahwa pada 2050, 35% katak di daerah tropis basah Queensland, Australia, bisa terancam punah.
Faktanya, penurunan populasi amfibi ini memang sudah semakin nyata. Para ilmuwan mengakui ada banyak amfibi yang masuk kategori kekurangan data (DD) justru 85%-nya kini terancam punah.
Oleh karena itu, sangat sulit untuk menentukan jumlah pasti berapa banyak spesies hewan yang akan punah pada tahun 2050. Terlebih masih banyak spesies yang belum teridentifikasi. Yang pasti, manusia adalah satu-satunya makhluk yang telah mempercepat laju kepunahan spesies ini.
Tapi tentu saja, dari beberapa hewan yang terancam punah, ada sejumlah spesies yang mampu beradaptasi dengan perubahan iklim. Sebuah penelitian pada 2021 di jurnal Trends in Ecology & Evolution menemukan beberapa hewan yang mampu mengubah morfologi mereka untuk mengatasi perubahan iklim dengan lebih baik, salah satunya adalah burung yang paling mudah beradaptasi.
Seekor capung hinggap di ranting dekat danau di Taanayel, Lebanon. Foto: REUTERS/Jamal Saidi
Menurut penelitian tersebut, beberapa spesies burung beo Australia, dalam kurun waktu 150 tahun terakhir, telah berevolusi untuk memiliki ukuran paruh lebih besar. Ini adalah sebuah adaptasi yang mereka lakukan untuk mengatur suhu internal dengan lebih baik.
ADVERTISEMENT

Apa yang bisa dilakukan?

Pertama, kata Rawlence, perlu adanya kesadaran dari manusia dengan meningkatkan pendanaan jangka panjang untuk konservasi.
Di dunia, memang ada sejumlah organisasi dan peneliti yang memiliki misi khusus untuk memperlambat atau bahkan menghentikan perubahan iklim akibat aktivitas manusia.
Climeworks, misalnya, perusahaan berbasis di Swiss ini menjadi pelopor di bidang teknologi penangkapan karbon dioksida dan punya tujuan untuk membangun fasilitas penghilang CO2 di udara. Pabrik pertamanya dibuka di Islandia pada 2021.
Ada juga Project Drawdown yang didirikan pada 2014. Ini adalah organisasi nirlaba yang berusaha menghubungkan para ahli di seluruh dunia untuk mencari solusi dan menguji konsep untuk menghentikan gas rumah kaca di atmosfer.
Sementara Stratospheric Controlled Perturbation Experiment yang didukung Bill Gates, menilai penyemprotan debu kalsium karbonat (CaCO3) tak beracun ke atmosfer, bisa memantulkan sinar matahari, dengan demikian ini bisa mengurangi dampak pemanasan global.
ADVERTISEMENT
“Untuk menyelamatkan keanekaragaman hayati yang tersisa, kita perlu tahu bagaimana merespons perubahan iklim dan dampak manusia di masa lalu dan sekarang, sehingga kita dapat memprediksi bagaimana responsnya di masa depan yang didukung oleh strategi pengelolaan konservasi berbasis bukti,” katanya.