Desakan Kebijakan Pro-Lingkungan di Tengah Wabah

9 Mei 2020 13:12 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Sejumlah aktivis lingkungan dari gerakan Swiss Klimastreik Schweiz memegang spanduk bertuliskan "Perubahan iklim" saat demonstrasi di Zurich, Swiss. Foto: REUTERS/Arnd Wiegmann
zoom-in-whitePerbesar
Sejumlah aktivis lingkungan dari gerakan Swiss Klimastreik Schweiz memegang spanduk bertuliskan "Perubahan iklim" saat demonstrasi di Zurich, Swiss. Foto: REUTERS/Arnd Wiegmann
“Sampai ditemukannya vaksin yang efektif, kita harus hidup berdamai dengan COVID-19 untuk beberapa waktu ke depan,” ucap Presiden Joko Widodo dalam siaran pers resminya melalui akun YouTube Sekretariat Presiden, Kamis (7/5).
Pernyataan yang kemudian bikin gaduh itu lalu dijelaskan ulang oleh Deputi Bidang Protokol, Pers, dan Media Sekretariat Presiden Bey Machmudin keesokan harinya. Menurut Bey, apa yang dimaksud dengan berdamai oleh presidennya itu adalah dengan menjaga kebersihan sekaligus tetap produktif.
Beberapa hari sebelum muncul pernyataan tersebut di hadapan publik, terbit sebuah kolom opini yang ditulis oleh Rais Syuriah PCI Nahdlatul Ulama di Australia-Selandia Baru Nadirsyah Hosen di Jawa Pos berjudul “Puasa dan Hidup Damai Bersama Korona”. Sedikit berbeda dengan pemaknaan yang diberikan oleh Istana, intelektual muslim yang akrab disapa Gus Nadir ini tak cuma menekankan pada pola hidup bersih.
“Hidup baru bersama korona justru membuat hidup kita semakin bersih, lingkungan semakin dijaga, dan kita harus semakin kreatif menciptakan peluang kerja dan pola komunikasi,” tulis Gus Nadir dalam opininya itu. Perubahan yang dibutuhkan di masa pandemi ini, menurutnya, tak cuma soal kebiasaan sehari-hari tapi juga cara pandang terhadap lingkungan dan aspek ekonomi.
Hal serupa disampaikan pula oleh ahli ekonomi lingkungan dari Universitas Andalas, Yonariza. Saat dihubungi via sambungan telepon, lulusan Manajemen Sumber Daya Alam dari Asian Institute of Technology Bangkok ini melihat pandemi corona menjadi wake up call bagi umat manusia untuk semakin memperhatikan lingkungan.
“Situasi sekarang ini satu momentum yang bagus sekali untuk mengubah cara kita melihat hubungan kita dengan alam, dengan lingkungan, setelah ini,” ucapnya.
Api membakar hutan dan lahan gambut di jalan Gubernur Syarkawi, Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan, Selasa (15/10/2019). Foto: ANTARA FOTO/Bayu Pratama S
Kemunculan wabah, menurut para ilmuwan, tak lepas dari kerusakan alam yang masif di berbagai belahan dunia. Alih fungsi hutan menjadi lahan perkebunan monokultur, industri, dan tambang, tak cuma berdampak pada hilangnya habitat satwa liar. Tapi juga pada ketersediaan air bersih, kebersihan udara, dan kemampuan daya dukung tanah.
Sementara itu, hewan-hewan liar yang membawa patogen yang sebelumnya terlindungi, kini menjadi semakin terekspose karena kian banyak alih fungsi hutan yang membuatnya semakin dekat dengan manusia, bahkan berinteraksi langsung.
Penyakit yang banyak muncul saat ini tak pernah lepas dari isu lingkungan. Menurut data Program Lingkungan PBB, sekitar 75 persen penyakit menular yang ada dan menyerang manusia saat ini bersifat zoonosis—bermula pada pada binatang dan dapat ditularkan ke manusia—dan lebih dari dua pertiganya berasal dari satwa liar. Mulai dari AIDS, ebola, SARS, MERS, flu burung, penyakit lyme, dan ratusan lainnya yang muncul dalam dekade belakangan ini, mulanya dari hewan.
Sementara mutasi virus dan patogen dari satwa liar semakin cepat, buruknya kualitas udara dan air memperburuk kondisi tubuh manusia. Kemampuan paru-paru semakin lemah karena kian banyak dan lama terpapar oleh polusi udara yang dihasilkan kendaraan, cerobong pabrik dan PLTU, ataupun pembakaran sampah.
Kepala Bidang Lingkungan PBB, Inger Andersen, mengatakan bahwa aktivitas ekonomi manusia saat ini memberi beban berlebih pada alam dan lingkungan.
“COVID-19 ini merupakan peringatan yang jelas bahwa ada penyakit lain yang lebih mematikan ketika kita bermain api dengan kehidupan satwa liar dan alam,” ucapnya seperti dikutip dari The Guardian.
Andersen juga menekankan bahwa kegagalan manusia dalam menjaga kelestarian lingkungan sama halnya dengan kegagalan mereka menjaga diri sendiri—kaum homo sapiens.
Respons jangka pendek yang kini dibutuhkan adalah mencegah penyebaran lebih lanjut dan menjaga kesehatan masyarakat. “Namun dalam jangka panjang, kita justru harus mengatasi hilangnya habitat satwa liar dan keanekaragaman hayati lingkungan.”
Foto udara kondisi lahan hutan Taman Nasional Sebangau yang telah terbakar di Palangka Raya, Kalimantan Tengah, Kamis (19/9/2019). Foto: ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A
Menurut Koordinator Kampanye Walhi, Ode Rakhman, pemerintah saat ini tak menunjukkan sikap dan kesadaran akan adanya relasi antara pandemi dengan kerusakan lingkungan hidup. “Di tengah pandemi saja, DPR dan pemerintah masih melanjutkan pembahasan RUU Cipta Kerja,” ucap Ode kepada kumparan.
Tak cuma itu, Ode juga mengkhawatirkan rencana pemerintah yang akan menyulap lahan gambut menjadi sawah, terlebih jika mengingat kegagalan program serupa pada tahun-tahun dahulu. “Belum lagi rencana perluasan lahan sawah 300 ribu hektare yang mengorbankan ekosistem gambut dan abai pada kondisi faktual krisis agraria saat ini.”
Senada dengan Ode, Yonariza turut mengkhawatirkan sikap pemerintah dan DPR yang tetap melanjutkan pembahasan omnibus law RUU Cipta Kerja. “RUU itu menjadi ancaman bagi keutuhan sosial masyarakat Indonesia, juga keutuhan lingkungan sumber daya alam negara kita.”
Omnibus law RUU Cipta Kerja yang bermasalah sejak proses awalnya dikhawatirkan akan semakin mengeksploitasi tak hanya sumber daya manusia Indonesia, tapi juga sumber daya alam, tanah, beserta segala kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.
Kemudahan perizinan, hilangnya batas ruang terbuka hijau suatu daerah, hingga keringanan sanksi bagi perusak lingkungan, menjadi salah satu persoalan dalam aturan sapu jagat yang akan mengubah 80 undang-undang itu.
Infografis Menolak Omnibus Cipta Kerja Foto: kumparan
Terlebih, menurut Yonariza, seharusnya kemajuan suatu negara kini tak lagi diukur dari pertumbuhan ekonomi semata. “Pembangunan yang hanya mengandalkan ekonomi cenderung tidak berkelanjutan. Sekarang waktunya kita untuk mulai berpikir menyeimbangkan semua aspek pembangunan baik ekonomi, sosial, dan lingkungan.”
Ukuran Produk Domestik Bruto (PDB) sebagai tolak ukur terbaik kemajuan negara kini semakin sering ditantang. Alat ukur lain yang bisa digunakan dan harusnya mendapatkan tempat lebih luas misalnya Indeks Pembangunan Manusia yang mengukur perbandingan harapan hidup, angka melek huruf, pendidikan, dan standar hidup warga negara.
Alternatif lainnya adalah Genuine Progress Indicator yang menggabungkan ukuran kesejahteraan manusia, ketimpangan pendapatan, dan keuntungan non-pasar seperti kesehatan masyarakat serta pengurangan kerusakan lingkungan.
Untuk mewujudkan hal tersebut, menurut Yonariza, selain dengan mengubah cara pandang terhadap pembangunan ekonomi dan lingkungan, ada baiknya kembali pada kearifan lokal.
“Kebijakan yang diturunkan kemudian adalah kebijakan-kebijakan yang tidak bias hanya mengejar pertumbuhan, tapi harus mengedepankan aspek kelestarian dan kearifan. Dan mestinya juga memberikan prioritas yang lebih utama kepada masyarakat Indonesia.”
Sementara Ode menuturkan bahwa alternatif pertama yang dibutuhkan adalah dengan mengevaluasi semua perizinan tambang yang ada. “Terutama yang abai terhadap kondisi sosial, lingkungan hidup, dan tidak terbukti telah berkontribusi pada kesejahteraan rakyat.”
Selain itu, kebijakan yang melindungi petani juga mesti dibuat, sebab tantangan selanjutnya di masa pandemi ini adalah krisis pangan. “Perlu dikeluarkan kebijakan yang melindungi petani dengan corak pertanian lokal (alih-alih industri pertanian besar) dan menghentikan produk pupuk kimia secara berlebih.”
Terakhir, menurut Ode, pemerintah juga harus secara bertahap mulai beralih dari penggunaan energi kotor seperti batu bara. “Harus mulai masuk pada fase transisi energi, menggunakan energi bersih terbarukan serta memperbaiki sistem transportasi massal,” pungkasnya.”
Anak-anak mengikuti aksi damai Deklarasi Darurat Iklim di Taman Aspirasi, Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta (29/11/29). Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
Masa krisis seperti yang disebabkan oleh pandemi corona COVID-19 saat ini selalu menimbulkan urgensi pergeseran prioritas. Mengutip CSIS Commentaries yang ditulis oleh Asisten Profesor Ekonomi dari Sonoma State University, Puspa Amri dkk, sebagian orang berharap masa setelah pandemi ini menjadi kesempatan untuk mengedepankan pembangunan yang lebih berkelanjutan.
Meski begitu, ada sejumlah keraguan yang timbul, sebab akan ada banyak pihak yang gencar mendorong pemulihan ekonomi dengan cepat alih-alih pembangunan yang lebih ramah lingkungan. Kebijakan untuk mengatasi masalah-masalah deforestasi hutan, polusi, dan krisis iklim yang kemudian mempengaruhi ketersediaan pangan, membutuhkan dukungan publik yang kuat.
“Tanpa masyarakat sipil yang kuat yang terus-menerus memberi tekanan kepada pemerintah untuk menjaga komitmennya terhadap lingkungan, kemampuan untuk melaksanakan reformasi ini di semua tingkat pemerintahan menjadi tidak pasti,” tulis Puspa.
***
Simak panduan lengkap corona di Pusat Informasi Corona
Yuk, bantu donasi untuk atasi dampak corona.