news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Emas Bermerkuri Menggetarkan Kampung Adat Cisitu Banten

21 Mei 2018 17:55 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tuhana alias Eno (43) (Foto: Utomo P/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Tuhana alias Eno (43) (Foto: Utomo P/kumparan)
ADVERTISEMENT
Tangan Tuhana (43) bergetar. Pria yang akrab disapa Eno itu mencoba mengangkat tangannya untuk menyalami jurnalis kumparan yang menyambangi rumahnya di Desa Situmulya, Kecamatan Cibeber, Kabupaten Lebak, Banten pada Sabtu (19/5) pagi.
ADVERTISEMENT
Eno berhasil mengangkat tangannya, tapi ia mengangkatnya dengan sangat lambat dan tangan itu terlihat gemetar. Bukan cuma kedua tangan, kaki Eno pun gemetaran setiap kali coba digerakkan. Kondisi ini membuat Eno tak mampu beraktivitas normal.
“(Jalan masih) bisa sedikit-sedikit,” kata Eno. Agar dapat berjalan, badannya harus ditopang dengan tongkat.
Dengan kondisi seperti itu, Eno lebih banyak duduk dan berbaring di rumah. Untuk bergerak dan berpindah tempat, ia harus menggelesot di lantai kayu rumah itu.
Gemetaran itu dialaminya sejak belasan tahun lalu. Dokter menyebut Eno mengalami gangguan saraf berupa tremor. Ini adalah gangguan koordinasi yang membuat Eno kesulitan mengendalikan organ-organ anggota gerak tubuhnya sendiri.
Penyakit yang dideritanya bertambah parah dari tahun ke tahun. Sejak 2015, ia tak bisa lagi melanjutkan pekerjaannya menanam dan menumbuk padi.
ADVERTISEMENT
“Sekarang mah bikin kerajinan tangan enggak bisa. Ke sawah enggak bisa. Mencari kayu bakar enggak bisa,” tutur Eno dengan cara bicara yang begitu lambat dan lafal yang tak begitu jelas. Penyakit itu pun menyulitkannya berbicara. Lidah terasa keras setiap kali digerakkan.
Selain sulit bergerak dan bicara, Eno pun mengeluhkan beragam ketidaknyamanan pada tubuhnya. Bagian perut hingga dada sering terasa panas. Kepalanya kerap pusing.
Belakangan Eno ditinggal cerai oleh istrinya. Anaknya dibawa serta sang istri. Eno kini seorang diri di rumah. Ia telantar. Tak ada yang membawanya berobat ke rumah sakit.
Bangunan di Kampung Adat Cisitu (Foto: Utomo P/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Bangunan di Kampung Adat Cisitu (Foto: Utomo P/kumparan)
Eno Tidak Sendiri
Dokter Jossep Frederick William dari Yayasan Medicuss Group, lembaga yang bergerak di bidang layanan kesehatan, pernah meneliti dan memeriksa kesehatan warga di Desa Situmulya dan Desa Kujangsari, pada 2014. Salah satu warga yang William periksa kala itu adalah Eno.
ADVERTISEMENT
Saat dihubungi kumparan, Minggu (20/5) pagi, William mengatakan bahwa penyakit yang Eno derita diduga akibat paparan merkuri.
William menyebut Eno tidak sendiri. Masih banyak warga lainnya di Kampung Adat Cisitu--yang mencakup Desa Situmulya dan Desa Kujangsari--mengalami penyakit-penyakit aneh. Penyebabnya adalah intoksikasi alias keracunan merkuri. Selain Eno, William menyebut korban lainnya bernama Ocih (63).
Setelah belasan tahun mengidap penyakit serupa, Mak Ocih, demikian ia biasa dipanggil, tak mampu bertahan lagi. Ia meninggal dua bulan lalu.
Makam Ocih (63)  (Foto: Utomo P/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Makam Ocih (63) (Foto: Utomo P/kumparan)
Sewaktu masih hidup, Ocih masih bisa berjalan, namun memang tangannya terlihat terus bergetar dan sulit dikendalikan. “Kedua belah tangannya gemetar,” kata Leni, cucu Mak Ocih, saat ditemui kumparan.
Kondisi itu membuat Ocih tak bisa hidup mandiri. “Makan harus disuapin, pakai baju harus dibajuin,” tutur Leni.
ADVERTISEMENT
Tak hanya orang dewasa, banyak pula ditemui anak-anak di wilayah itu diduga terkena penyakit akibat paparan merkuri. Salah satunya adalah Kamelia (8) atau yang akrab disapa Amel.
Nur Aeni (28), ibu kandung Amel, menuturkan perkembangan Amel sejak bayi terlihat lambat. Di usianya yang kini menginjak sewindu, Amel belum juga bisa berbicara.
Tak hanya sulit bicara, Amel sebelumnya juga sulit bergerak dan berjalan meski pada usianya kala itu seharusnya Amel sudah bisa berjalan. Nur Aeni akhirnya membawa Amel menjalani pengobatan. Belakangan Amel mulai bisa berjalan dan bergerak dengan lincah seperti anak seusianya.
Aeni dan Amel (Foto: Utomo P/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Aeni dan Amel (Foto: Utomo P/kumparan)
William yang pernah memeriksa Amel, mengatakan bocah perempuan itu mengalami gangguan koordinasi dan gangguan emosi. Gangguan itu juga diduga akibat terpapar merkuri.
ADVERTISEMENT
Medicuss, lembaga yang didirikan William, melakukan penelitian di Kampung Adat Cisitu bersama dengan BaliFokus, lembaga swadaya yang bergelut pada peningkatan kualitas kesehatan masyarakat.
Dari hasil penelitian tahun 2014, terindentifikasi 37 orang dari 140 warga yang diperiksa, diduga keracunan merkuri.
Peneliti dan penasihat senior BaliFokus yang terlibat dalam penelitian itu, Yuyun Ismawati, mengatakan dari puluhan orang yang pada 2014 telah diduga terkena penyakit akibat merkuri itu, banyak yang telah meninggal. Ocih adalah salah satunya.
Jumlah warga yang diduga keracunan merkuri (Foto: Dok. BaliFokus)
zoom-in-whitePerbesar
Jumlah warga yang diduga keracunan merkuri (Foto: Dok. BaliFokus)
Ratusan Pengolahan Emas Liar di Kampung Adat Cisitu
Medicuss dan BaliFokus tak segan menyebut mereka sakit dan meninggal akibat terpapar merkuri. Sebab, di wilayah Kampung Adat Cisitu memang telah dirambah oleh ratusan usaha pengolahan emas ilegal dan bermerkuri.
ADVERTISEMENT
Warga menyebut alat pengolahan emas yang berada di dekat rumah-rumah dan sawah-sawah mereka itu sebagai gulundung. Gulundung atau tromol adalah tong baja untuk memisahkan mineral emas dari batuan pembawanya.
Cara mengolah emas dengan gulundung tidaklah susah. Pertama, batuan perlu dihancurkan terlebih dahulu. Dahulu warga menghancurkannya secara manual, tapi kini sudah menggunakan penghancur otomatis.
Batuan yang telah dihancurkan (Foto: Utomo P/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Batuan yang telah dihancurkan (Foto: Utomo P/kumparan)
Setelah batuan hancur, mereka memasukkan serpihan batu ke dalam gulundung, bersama air dan air raksa alias merkuri. Tujuannya untuk mengikat mineral emas di dalamnya.
Kemudian, mereka menyalakan mesin yang membuat gulundung itu berputar. Dari putaran inilah, larutan raksa pengikat emas terpisahkan dengan larutan lumpur batuan.
Larutan raksa mereka ‘pijit’ alias tekan sehingga terbentuk gumpalan batuan emas bermerkuri. Batuan ini perlu dibakar terlebih dulu agar merkuri dan zat-zat pengotor lainnya menguap sehingga dihasilkan emas yang bisa mereka jual.
Gulundung di tempat pengolahan emas (Foto: Utomo P/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Gulundung di tempat pengolahan emas (Foto: Utomo P/kumparan)
Kurniawan (19), bukan nama sebenarnya, memperagakan secara khusus kepada kumparan cara mengolah emas dengan menggunakan gulundung seperti yang telah dijelaskan di atas. Kurniawan adalah salah seorang warga yang menjadi pekerja di salah satu pengolahan emas liar di Cisitu.
ADVERTISEMENT
Ketika ditanya mengapa pengolahan emas di sini menggunakan merkuri, Kurniawan hanya menjawab, “Soalnya kalau enggak pakai merkuri, nggak dapat emasnya.”
Di Cisitu, merkuri yang biasa disebut juga sebagai kuik ini mudah didapatkan oleh para pengolah emas. “Ada agennya,” kata Kurniawan.
Kurniawan sendiri sebenarnya sudah tahu bahwa penggunaan merkuri berbahaya bagi kesehatan dan telah dilarang. Namun ia berdalih tidak ada cara lain untuk mendapatkan emas selain menggunakan merkuri.
Kurniawan (19) saat menghancurkan batuan (Foto: Utomo P/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Kurniawan (19) saat menghancurkan batuan (Foto: Utomo P/kumparan)
Getaran Akibat Pengolahan Emas dengan Merkuri
Kurniawan mengatakan pengolahan emas di tempatnya bekerja aktif selama 24 jam non-stop. Begitu pula tempat-tempat pengolahan emas lainnya yang ada di Kampung Adat Cisitu.
Sekali memutar satu rangkaian gulundung, Kurniawan perlu waktu sekitar tujuh jam. Jadi dalam sehari ia biasa menyalakan mesin untuk memutar gulundung sebanyak tiga kali.
ADVERTISEMENT
Ketika dinyalakan, mesin diesel dan gulundung-gulundung yang berputar olehnya terdengar seperti bunyi mesin komidi putar atau bianglala di pasar malam. Hanya saja, getaran mesin diesel dan gulundung ini tidak hanya terdengar saat malam, tapi juga subuh, pagi, siang dan sore. Bergetar seharian penuh.
Yoyo Yohenda (46), sekretaris Lembaga Adat Kasepuhan Cisitu, mengatakan pengolahan emas yang mulai marak dilakoni oleh warga di kampungnya sejak 2003 ini memang telah menggerakkan perekonomian warga setempat. Akan tetapi, pengolahan emas dengan merkuri ini telah menimbulkan banyak penyakit aneh di masyarakat.
“Sebelumnya (sebelum tahun 2003) tidak ada penyakit-penyakit seperti itu,” kata Yoyo merujuk pada penyakit Eno, Ocih, Amel dan lainnya.
Wilayah Kampung Adat Cisitu (Foto: Utomo P/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Wilayah Kampung Adat Cisitu (Foto: Utomo P/kumparan)
Kaitan antara munculnya penyakit-penyakit baru di Kampung Adat Cisitu dengan penggunaan merkuri ini tak bisa dibantah. Pada Agustus 2013 lalu, BaliFokus bersama Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) pernah meneliti kandungan merkuri dalam udara di wilayah Kampung Adat Cisitu.
ADVERTISEMENT
Hasilnya, dari 30 titik lokasi yang diukur, tujuh di antaranya memiliki kandungan merkuri dalam udara dengan kadar lebih dari 10.000 ng/m3, yang artinya masyarakat yang tinggal di lokasi tersebut harus dievakuasi. Selain itu, sembilan lokasi lainnya memiliki kandungan merkuri dalam udara dengan kadar lebih dari 1.000 ng/m3 yang berarti masyarakat di sana harus siap-siap dievakuasi.
Sebab, jika udara dengan kadar merkuri yang tinggi ini terhirup oleh warga setempat, maka merkuri akan masuk ke dalam tubuh. Dampaknya buruk bagi kesehatan. Pada ibu yang sedang hamil, merkuri dapat menyebabkan anak lahir dengan kondisi IQ rendah dan mental terbelakang.
Jika terhirup langsung, merkuri ini dapat menyebabkan penyakit tremor, gangguan motorik, saraf, ginjal dan paru-paru, hingga gangguan sistem pencernaan dan peredaran darah.
ADVERTISEMENT
Eno yang mengalami tremor sebagaimana disebutkan di atas adalah contoh yang paling nyata. Seperti halnya gulundung-gulundung merkuri yang terus bergetar setiap kali mesin pemutarnya menyala, tangan dan kaki Eno pun bergetar tak kalah kerasnya.
Gulundung di tempat pengolahan emas (Foto: Utomo P/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Gulundung di tempat pengolahan emas (Foto: Utomo P/kumparan)