Gempa 6,6 Magnitudo di Banten Akibat Megathrust Selat Sunda, Apa Itu?

14 Januari 2022 18:01 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi gempa bumi. Foto: Inked Pixels/shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi gempa bumi. Foto: Inked Pixels/shutterstock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Gempa kuat mengguncang wilayah Banten dan dampak getarannya terasa hingga Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi (Jabodetabek), dan Bandung, Jawa Barat, pada Jumat (14/1) sore. Berdasarkan laporan BMKG, pusat gempa 6,6 magnitudo ini berada di 52 kilometer barat daya Sumur, Banten. Tepatnya, di laut selatan Ujung Kulon.
ADVERTISEMENT
Kepala Bidang Mitigasi Gempa Bumi dan Tsunami BMKG, Daryono, menjelaskan gempa terjadi karena sumber sesar naik dan megathrust Selat Sunda.
"Mekanisme sumber sesar naik (thrusting) berasosiasi dengan sumber gempa megathrust Selat Sunda," jelas Daryono dalam keterangan tertulisnya.
Megathrust bisa diartikan sebagai gerak sesar naik yang besar. Indonesia sendiri memiliki setidaknya 16 zona megathrust yang tersebar di berbagai daerah dan berpotensi menimbulkan tsunami, salah satunya adalah segmen Megathrust Selat Sunda.
“Daerah-daerah inilah yang bisa menyebabkan gempa bumi besar, potensi gempanya kira-kira bisa di atas 5 hingga 10 magnitudo, dan tidak lebih dari tiga puluh menit, itu bisa menimbulkan tsunami,” ujar Widjo Kongko, ahli tsunami dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), pada Oktober 2018 silam.
ADVERTISEMENT
Khusus gempa 6,6 magnitudo di Banten yang terjadi Jumat (14/1) sore barusan, Daryono sendiri telah memastikan gempa tersebut tidak berpotensi tsunami.
Tsunami sendiri pada umumnya disebabkan oleh pergeseran megathrust yang bisa menimbulkan gempa dengan magnitudo besar. Berdasar Buku Peta Gempa, megathrust Jawa di wilayah Selat Sunda diperkirakan memiliki potensi gempa berkekuatan hingga 8 magnitudo.
Dengan potensi guncangan tersebut, contoh skenario terburuknya adalah, berdasarkan kajian awal dari simulasi model komputer yang dipaparkan Widjo, gempa diikuti tingginya gelombang tsunami dalam jangka 30 menit hingga 3 jam, dan mampu menerjang seluruh kawasan pantai selatan Jawa, termasuk Jakarta.
“Artinya, seluruh pantai selatan itu kalau gempa buminya besar, bisa menyebar ke mana-mana tsunaminya. Bisa sampai ke Aceh, Bali. Cuma mungkin ada yang 0,5 meter, 2 meter, 4 meter, 5 meter. Semakin dekat ke (pusat gempa), bisa sampai 10 meter atau mungkin 15 meter,” ujar Widjo.
ADVERTISEMENT

Pemodelan Potensi Tsunami Dampak Gempa Megathrust Selat Sunda

Tsunami di Selat Sunda dapat dipicu oleh erupsi gunung api dan gempa tektonik yang bersumber di zona megathrust. Berdasarkan catatan sejarah, tsunami akibat erupsi Gunung Krakatau pada 1883 mampu menjangkau Pantai Jakarta karena tinggi tsunami di sumbernya lebih dari 30 meter, sedangkan tsunami akibat runtuhnya lereng Gunung Anak Krakatau pada 2018 lalu lebih kecil sehingga tidak sampai di Pantai Jakarta.
Ilustrasi Tsunami. Foto: Shutter Stock
Untuk mengetahui apakah tsunami akibat gempa megathrust Selat Sunda dapat mencapai Jakarta, maka diperlukan pemodelan tsunami. Pemodelan tsunami akibat gempa 8,7 magnitudo yang bersumber di zona megathrust Selat Sunda yang dilakukan BMKG menunjukkan bahwa tsunami dapat sampai di Pantai Jakarta.
Hasil pemodelan menunjukkan bahwa tsunami sampai di Pantai Jakarta dalam waktu sekitar 3 jam setelah gempa, dengan tinggi 0,5 meter di Kapuk Muara-Kamal Muara dan 0,6 meter di Ancol-Tanjung Priok.
ADVERTISEMENT
Pemodelan tsunami diukur dari muka air laut rata-rata (mean sea level). Dalam kasus terburuk, jika tsunami terjadi saat pasang, maka tinggi tsunami dapat bertambah. Selain itu, ketinggian tsunami juga dapat bertambah jika pesisir Jakarta sudah mengalami penurunan permukaan (subsiden).
Pemodelan tsunami memang memiliki ketidakpastian (uncertainty) yang sangat tinggi. Hal ini disebabkan karena persamaan pemodelan sangat sensitif dengan data dan sumber pembangkit gempa yang digunakan. Beda data yang digunakan maka akan beda hasilnya, bahkan jika sumber tsunaminya digeser sedikit saja, maka hasilnya juga akan berbeda. Inilah sebabnya selalu ada perbedaan hasil di antara pembuat model tsunami.