Gerhana Bulan Total Bisa Tunjukkan Tingkat Polusi Langit

31 Januari 2018 8:57 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:12 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Kaldera Gunung Tambora (Foto: Wikimedia Commons)
zoom-in-whitePerbesar
Kaldera Gunung Tambora (Foto: Wikimedia Commons)
ADVERTISEMENT
Kaldera raksasa yang ada di Gunung Tambora saat ini merupakan buah letusan dahsyat dua abad silam. Gelegar akbar Tambora pada 10-11 April 1815, telah memangkas sepertiga tinggi gunung tersebut dan membentuk kaldera berdiameter enam kilometer dengan dalam sekitar satu kilometer itu.
ADVERTISEMENT
Saat itu Tambora seolah merasa sangat mual sehingga memuntahkan begitu banyak isi perutnya. Akibat dari letusannya itu, debu-debu vulkanik yang sangat tebal menutupi langit hampir seluruh dunia.
Setahun berselang setelah terjadinya letusan gunung yang berada di Pulau Sumbawa itu, tepatnya pada 10 Juni 1816, terjadilah gerhana Bulan total.
Ilustrasi gerhana bulan (Foto: Dok. Observatorium Bosscha)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi gerhana bulan (Foto: Dok. Observatorium Bosscha)
Biasanya saat terjadi gerhana Bulan total, Bulan akan tampak berwarna merah darah sehingga disebut juga sebagai blood moon. Namun, hal itu tidak terjadi pada saat gerhana di tahun 1816 itu.
Pada saat itu, Bulan justru tampak sangat gelap. Bahkan, gerhana Bulan total pada tahun itu disebut-sebut sebagai gerhana paling gelap dalam sejarah.
“Gerhana Bulan yang terjadi setelah letusan itu, itu menjadi gelap karena atmosfernya ini dikotori oleh debu-debu letusan gunung berapi, terutama pada ketinggian di stratosfer,” tutur Thomas Djamaluddin, kepala Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), saat ditemui kumparan (kumparan.com) di kantornya.
ADVERTISEMENT
Ketika debu dari letusan gunung berapi ini masuk ke stratosfer, lapisan atmosfer pada ketinggian sekitar 20 kilometer dari permukaan Bumi, biasanya debu tersebut akan bertahan lama berada di sana.
Thomas Djamaluddin, Kepala LAPAN. (Foto: Mulki Razqa)
zoom-in-whitePerbesar
Thomas Djamaluddin, Kepala LAPAN. (Foto: Mulki Razqa)
“Ketika (debu) bertahan lama di stratosfer, itu yang kemudian berdampak (pada) hamburan cahaya Matahari dan juga pembiasan cahaya Matahari ke (Bulan) purnama itu. Itu yang menyebabkan kemudian gerhana pada saat itu menjadi sangat gelap sekali,” papar Thomas.
Thomas menjelaskan, ini menunjukkan bahwa ketika gerhana Bulan total tampak sangat gelap, tidak berwarna merah darah, itu menunjukkan adanya banyak debu di atmosfer Bumi.
Ya, ternyata dalam hal ini, perubahan warna Bulan saat gerhana, bisa menjadi indikator tingkat kandungan debu yang ada di atmosfer Bumi. Dengan kata lain, gerhana Bulan bisa menunjukkan kandungan debu polusi di langit.
ADVERTISEMENT
Menurut Thomas, sebelum adanya teknologi canggih seperti radar dan lidar, gerhana digunakan oleh para ahli astronomi untuk meneliti kondisi atmosfer.
Salah satu contohnya adalah gerhana yang tak menimbulkan warna merah darah pada Bulan setelah terjadinya letusan Gunung Tambora.
Gerhana bulan. (Foto: Muhammad Iqbal/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Gerhana bulan. (Foto: Muhammad Iqbal/kumparan)
Selain Tambora, letusan Gunung Krakatau juga pernah menyebabkan warna Bulan saat gerhana Bulan total jadi tak berwarna merah darah. Saat terjadinya gerhana di tahun 1883, Bulan justru tampak berwarna kebiruan.
Warna kebiruan pada Bulan pasca letusan Krakatau ini muncul karena atmosfer Bumi dipenuhi oleh debu dan abu vulkanik berukuran lebih dari 0,7 mikrometer yang menghamburkan warna merah. Hal serupa juga menjadi penyebab warna gelap pada Bulan pasca letusan Tambora.
ADVERTISEMENT
“Gerhana menjadi sangat hitam gelap karena atmosfer Bumi ini tidak lagi membiaskan cahaya Matahari, atau (justru) menghamburkan cahaya merah dari Matahari tersebut,” terang Thomas.
Dalam kondisi normal atau dalam kondisi atmosfer bersih tanpa debu, saat gerhana Bulan total terjadi, sebagian cahaya Matahari yang terhalang oleh Bumi akan dihamburkan sekaligus dibiaskan oleh atmosfer Bumi.
Proses terjadinya gerhana Bulan (Foto: NASA)
zoom-in-whitePerbesar
Proses terjadinya gerhana Bulan (Foto: NASA)
Gelombang pendek cahaya Matahari dihamburkan sehingga menyebabkan langit tampak berwarna biru. Adapun gelombang panjang dari cahaya itu diteruskan atau dibiaskan oleh atmosfer hingga jatuh atau menyentuh Bulan sehingga menyebabkan Bulan tampak berwarna merah.
“Bahkan sering disebutnya merah darah sehingga disebut blood moon. Itu (jika) dalam kondisi atmosfernya bersih,” ujar Thomas.
Kondisi sebaliknya, yakni saat atmosfer sedang dikotori oleh debu-debu, akan membuat Bulan tampak berwarna gelap, biru, atau bahkan hitam.
ADVERTISEMENT
Keadaan inilah yang kemudian dimanfaat oleh para ilmuwan di zaman dahulu untuk meneliti kondisi dan komposisi atmosfer Bumi.
“Tapi penelitian seperti itu sekarang sudah jarang dilakukan karena sudah banyak alat-alat (canggih) yang lain,” kata Thomas.
Kepala Lapan Thomas Djamaluddin (Foto: Joseph Pradipta/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Kepala Lapan Thomas Djamaluddin (Foto: Joseph Pradipta/kumparan)
Menurutnya, penelitian dengan menggunakan gerhana Bulan seperti itu sudah tidak banyak lagi dilakukan kecuali bagi amatir-amatir karena mereka menganggap hal itu sebagai fenomena yang menarik.
LAPAN sendiri, ujar Thomas, tidak akan melakukan penelitian terhadap gerhana Bulan total 31 Januari ini, tapi akan memberikan edukasi publik dengan mengadakan acara pengamatan bersama yang disertai dengan pemberian penjelasannya.
Tujuannya, agar semakin banyak masyarakat yang memahami ilmu astronomi, khususnya terkait penyebab dan proses terjadinya fenomena alam yang satu ini.
ADVERTISEMENT