Gumpalan Air Panas di Laut Selandia Baru Ancam Kehidupan Biota Laut

5 Januari 2020 20:19 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Panorama Awakino di Selandia Baru Foto: Shutter Stock
zoom-in-whitePerbesar
Panorama Awakino di Selandia Baru Foto: Shutter Stock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Sebuah area di Samudra Pasifik, tepatnya di dekat Pulau Selatan Selandia Baru, mengalami perubahan suhu cukup cepat. Pemanasan air laut di daerah tersebut mencapai 5 derajat Celcius, meningkat dari suhu rata-rata 15 derajat Celcius, menjadi 20 derajat Celcius.
ADVERTISEMENT
Selandia Baru telah mengalami gelombang panas air laut ekstrem dalam dua musim panas ke belakang, di mana suhu air mengalami kenaikan hingga 3 derajat Celcius.
“Ini wilayah terbesar yang mengalami pemanasan di atas rata-rata yang pernah terjadi di Bumi,” ujar James Renwick, seorang ilmuwan di Victoria University di Wellington, Selandia Baru, kepada The Guardian.
Anjing laut leopard. Foto: jodeng via pixabay
“Kenaikan suhu laut secara global sebenarnya tidak terlalu tinggi, antara satu hingga dua derajat Celcius, dan itu saja sudah bisa menjadi masalah yang cukup besar. Tapi di Selandia Baru, kenaikan mungkin mencapai 4 derajat Celcius, atau bahkan lebih dari itu. Saya tidak punya penjelasan untuk itu,” sambungnya.
Area panas dengan luas diperkirakan mencakup 1 juta kilometer persegi itu dapat dilihat dalam gambar satelit berbentuk gumpalan merah. Lantas, dari mana gelombang panas laut berasal?
ADVERTISEMENT
Sejak 1981, suhu air di lepas pantai Selandia Baru mengalami kenaikan antara 0,1 hingga 0,2 derajat Celcius per dekade. Namun, suhu air di sana tiba-tiba melonjak cukup drastis, atau mengalami gelombang panas laut. Kondisi semacam ini biasanya terjadi pada saat cuaca tertentu, salah satunya ketika laut menyerap lebih banyak panas dari biasanya.
Ubur-ubur dan ganggang hijau di pantai Ris di Douarnenez, Brittany. Foto: AFP/FRED TANNEAU
Menurut Renwick, penyebab utama pemanasan di Selandia Baru tak lain karena antisiklon yang terjadi di wilayah tersebut. Antisiklon sendiri adalah fenomena cuaca ekstrem, di mana atmosfer dan udara di suatu wilayah menjadi kencang, menahan angin di dekatnya hingga menyebabkan kondisi di wilayah tersebut tenang dan terhenti, sehingga tak ada angin yang dapat mendinginkan air.
“Mungkin lapisan lautan yang sangat tipis telah memanas. Ironisnya, selama beberapa minggu tak ada angin untuk mendinginkannya,” ujar Renwick.
ADVERTISEMENT
Perubahan iklim bisa membuat gelombang panas semakin buruk. Sebab laut menyerap 93 persen gas rumah kaca yang ada di Bumi. Jadi logikanya, ketika pemanasan global semakin parah, maka panas di darat dan di laut akan tumbuh semakin kuat.
ilustrasi Selandia Baru Foto: Shutterstock
“Dunia yang memanas akan berdampak buruk, dan ini akan menjadi gelombang panas yang permanen,” ujar Hillary Scannel, seorang ahli kelautan di Washington University, kepada The Washington Post.
Dampak gelombang panas laut setidaknya telah dirasakan di beberapa wilayah. Seperti peristiwa ‘The Blob’ pada 2014 lalu, ketika gelombang laut melanda Samudra Pasifik yang meliputi Alaska, Hawaii, dan California. Akibatnya, sejumlah populasi anjing laut, ganggang, dan karang menghilang.
4 tahun kemudian, gelombang panas serupa terjadi di wilayah yang sama. Gelombang itu membunuh ekosistem karang di Kepulauan Hawaii, dan membuat singa laut terdampar di pantai California. Kala itu suhu lautan naik 3 derajat Celcius dari biasanya.
ADVERTISEMENT
Begitupun gelombang panas yang sekarang terjadi di Selandia Baru. Gumpalan merah yang ditunjukkan di gambar satelit bisa mengancam spesies ikan yang hidup di sana. Ekosistem bawah laut lainnya juga berisiko terdampak air panas. Meningkatnya temperatur air laut bisa mengancam pertumbuhan spesies zooplankton air dingin yang merupakan makanan utama ikan-ikan di lautan.
Ikan dan hiu berpotensi meninggalkan habitat aslinya, bermigrasi mencari perairan yang lebih dingin. Seperti pada 2018, ketika jenis ikan kerapu langka dari Queensland, Australia, ditemukan di Selandia Baru yang berjarak hampir 3.200 kilometer.
Bagaimanapun, pemanasan global adalah tanggung jawab manusia. Jika tidak dari sekarang, maka tidak menutup kemungkinan pada 2050 nanti iklim global akan semakin parah dan berdampak terhadap kelangsungan hidup hewan, tumbuhan, dan manusia.
ADVERTISEMENT