Gunung Es Raksasa Sebesar Kota Surabaya Pecah di Antartika

7 Juni 2024 8:24 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Gunung es raksasa A-83 di Antartika pecah.  Foto: ESA/Copernicus Sentinel
zoom-in-whitePerbesar
Gunung es raksasa A-83 di Antartika pecah. Foto: ESA/Copernicus Sentinel
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Gunung es raksasa berukuran 380 km persegi, atau lebih besar dari kota Surabaya (350 km persegi), pecah dari Rak Es Brunt di Antartika pada 20 Mei 2024 lalu. Potongan ini disebut A-83, menjadi gunung es ketiga yang pecah di kawasan yang sama dalam empat tahun terakhir.
ADVERTISEMENT
Gunung es pertama, A-74, pecah memisahkan diri dari lapisan es pada 2021. Sementara itu, gunung es yang lebih besar bernama A-81 pecah pada 2023.
Detik-detik gunung es ini memisahkan diri dari daratan es raksasa tertangkap oleh dua satelit pengamat Bumi, yakni satelit Copernicus Sentinel-1 milik ESA dan satelit Landsat 8 milik NASA yang keduanya menyediakan pencitraan radar dan data termal.
Pusat Es Nasional AS menyebutnya A-83 berdasarkan kuadran Antartika tempat gunung es pertama kali terlihat. Karena Brunt terletak di Laut Weddell bagian timur, gunung esnya diberi tanda ‘A’, sedangkan nomornya diberikan secara berurutan.
Peta Antartika memperlihatkan lokasi Gunung Es A-83 di Lapisan Es Brunt. Foto: NASA
Pemantauan lapisan es menggunakan satelit memungkinkan para ilmuwan melacak dampak perubahan klim di wilayah terpencil seperti Antartika. Para ilmuwan dapat memantau bagaimana lapisan es mempertahankan integritas strukturalnya sebagai respons terhadap perubahan dinamika es dan peningkatan suhu atmosfer dan lautan.
ADVERTISEMENT
Sedangkan peristiwa lahirnya gunung es disebabkan oleh melemahnya es di McDonald Ice Rumples dan meluasnya 'Retakan Hallowen' di lapisan es.
Misi Copernicus Sentinel-1 sendiri mengandalkan pencitraan radar untuk menghasilkan gambar daratan es sepanjang tahun, baik siang maupun malam. Hal ini penting dilakukan, terutama selama musim dingin terjadi, ketika hampir tidak ada sinar Matahari di Antartika selama enam bulan (peristiwa dikenal sebagai Malam Antartika). Sedangkan misi Landsat 8 mengandalkan pencitraan termal untuk membantu para ilmuwan mengkarakterisasi ketebalan lapisan es.
Gunung es raksasa A-83 yang pecah di Antartika. Foto: ESA/USGS
Seperti yang terlihat dalam gambar di atas, es yang lebih tipis tampak lebih hangat karena suhunya mendekati perairan terbuka, sedangkan es benua lebih tebal ditandai dengan warna lebih gelap. Perbedaan suhu antara lautan dan lapisan es juga membantu para ilmuwan mengidentifikasi di mana letak garis kelahiran gunung-gunung es sebelumnya.
ADVERTISEMENT
Beruntung, gunung es A-83 tidak mengancam Stasiun Penelitian Halley VI milik Survei Antartika Inggris, sebuah tempat penelitian internasional yang mengamati cuaca bumi, atmosfer, dan luar angkasa. Meski letaknya masih di wilayah Rak Es Brunt, stasiun ini dipindahkan pada 2017 ke pantai Caird setelah lapisan es bagian luar dianggap sudah tidak stabil.
Hilangnya es Antartika di Kutub Selatan yang terus berlanjut merupakan salah satu indikasi paling jelas dari kenaikan suhu global dan ini bisa menjadi pertanda mengerikan untuk seluruh makhluk hidup di dunia. Selain berkontribusi terhadap kenaikan permukaan air laut, banjir pesisir, dan cuaca ekstrem, hilangnya es di kutub menyebabkan tambahan radiasi Matahari yang diserap lautan, sehingga menyebabkan suhu Bumi semakin meningkat.
ADVERTISEMENT