Hampir Menginjak Bulan, Hampir Terbang ke Antariksa

19 Juli 2019 18:44 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Setengah Abad Jejak Manusia di Bulan. Ilustrator: Argy Pradypta/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Setengah Abad Jejak Manusia di Bulan. Ilustrator: Argy Pradypta/kumparan
Sea of Tranquility, Bulan 20 Juli 1969
Armstrong: Houston, Tranquility Base here. The Eagle has landed. Capcom (Charlie Duke): Roger, Tranquility. We copy you on the ground. You got a bunch of guys about to turn blue. We’re breathing again. Thanks a lot. Armstrong: Thank you.
Kemudian Houston bersorak-sorai, bendera Amerika Serikat berukuran kecil berkibar-kibar. 400 ribu orang yang tergabung dalam Project Apollo sejak Presiden John F. Kennedy menantang ilmuwan AS untuk terbang ke Bulan pada 1961 bisa bernapas lega. Apollo 11, misi mengantarkan manusia ke Bulan untuk pertama kalinya, berhasil dijalankan. Eagle, modul bagian Apollo 11 untuk mendarat di Bulan, berhasil mendarat.
Tapi nyaris saja. Neil Alden Armstrong (kapten misi Apollo 11) dan Edwin Eugene “Buzz” Aldrin (pilot lunar module) hanya setengah menit jaraknya dari kematian manusia pertama di Bulan. Hanya 76 meter di atas permukaan Bulan, Armstrong baru menyadari bahwa lokasi pendaratan yang dipilih misi sejak di Bumi dipenuhi serakan batu besar yang tak datar. Armstrong lantas mengambil alih kendali Apollo menjadi semi-otomatis dan mengarahkannya ke tempat pendaratan baru yang lebih datar.
Armstrong dan Aldrin berhasil mendarat—6,8 kilometer dari tujuan pendaratan awal—di Sea of Tranquility. Bahan bakar di modul pendaratan mereka hanya bersisa 25 detik.
Aldrin: Okay. This one sixth G is just like the airplane. Capcom: Roger. Tranquility. Be advised there’s lots of smiling faces in this room and all over the world. Over. Armstrong: Well, there are two of them up here. Capcom: Roger. That was a beautiful job, you guys. Collins: And don’t forget one in the command module. Capcom: Roger.
Di situlah Michael Collins, awak ketiga Apollo 11 yang menemani Armstrong dan Aldrin terbang ke Bulan, “bersembunyi”. Berbeda dengan Armstrong dan Aldrin yang betul-betul mendarat dan menjejakkan kaki di Bulan, Collins harus tetap berada di command module bernama Columbia yang mengorbit sendirian di langit Bulan, menunggu Eagle kembali.
Lunar module pada misi-misi Apollo hanya didesain untuk dua orang. Satu orang lain harus tetap berada di command module untuk docking dan undocking (melepaskan sambungan) Columbia dan Eagle. Collins mengorbit pelan mengelilingi Bulan, dan akan mencoba menyelamatkan Armstrong dan Aldrin apabila peluncuran mereka dari permukaan Bulan tak sempurna dan hanya mampu terbang sampai orbit rendah Bulan.
Columbia akan mengantarkan mereka bertiga kembali ke Bumi. Dan di situlah peran utama Collins sebagai pilot Columbia: menjadi tiket pulang Armstrong dan Aldrin.
Michael Collins saat berada di simulator Kennedy Space Center. Foto: REUTERS/NASA
Tapi tak sedikit, kini, yang melupakan sosok Michael Collins. Membicarakan Apollo 11 dan pendaratan manusia pertama ke Bulan, orang kebanyakan langsung menyeru Neil Armstrong dan samar-samar mengingat Buzz Aldrin. Collins pelan-pelan kabur dari ingatan.
Collins memang tak pernah menginjak Bulan. Saat Armstrong dan Aldrin berada di permukaan Bulan selama 21 jam, Collins mengorbit Bulan—30 kali—sendirian. Dan di antara waktu tersebut, ia juga melintasi sisi jauh Bulan yang tak pernah menghadap bumi (far side of the moon). Sisi Bulan yang gelap dan menutup Bumi dari pandangannya.
Karena terhalang Bulan itu, segala macam telekomunikasi Columbia tempat Collins berada, terputus dengan segala hal. Termasuk dengan Bumi serta Armstrong dan Aldrin yang berada di sisi Bulan yang lain.
Collins bahkan tak menyaksikan Armstrong menginjakkan kaki untuk kali pertama ke Bulan sembari melafalkan bidal yang kini diingat semua orang—That's one small step for man, one giant leap for mankind. Collins tengah berada di sisi lain Bulan.
Sendirian di far side of the moon, Collins menjadi manusia “...paling kesepian di jagat.”
Setidaknya, begitulah anggapan mereka yang ada di Bumi. Collins sendiri, berkali-kali ditanyai hal ini, menjawab tak merasa kesepian. Ia justru separuh mencemooh.
“Tuan Collins, bukankah Anda adalah manusia paling kesepian di sepanjang sejarah manusia yang sendirian di belakang Bulan yang lengang di orbit yang senyap itu? Bukankah Anda benar-benar kesepian?” kata Collins sinis, dalam wawancaranya dengan The New York Times.
Padahal, ujar Collins, “Di belakang Bulan aku sendirian, tapi tak kesepian. Kalau kau hitung, ada tiga miliar plus dua orang di satu sisi, dan aku sendirian di sisi lainnya.”
Ia mengaku tak terlalu memikirkan kondisinya yang sendirian. “Jauh dari perasaan kesepian atau ditinggalkan, aku sangat merasa menjadi bagian dari apa yang terjadi di permukaan Bulan. Eksplorasi ini dirancang untuk tiga orang, dan aku menganggap peranku yang ketiga sama diperlukannya dengan dua orang yang lain,” ujar Collins dalam biografinya, Carrying The Fire: An Astronaut’s Journeys (2019).
Malahan, ada perasaan nyaman bisa sendirian setelah tiga hari penuh bersama dua orang dewasa di dalam Columbia yang sempit. “Aku berada di tempat yang nyaman dengan pemandangan yang mengesankan. Aku malah sempat bikin kopi panas,” seloroh Collins.
Menurutnya, cukup banyak hal yang ia lakukan di dalam Columbia sendirian tanpa harus menjadi melankolis soal kesendirian. “Aku gugup memikirkan semua ceklis pekerjaan yang harus kukerjaan dengan benar-benar tepat. Karena inilah puncaknya. Aku tidak boleh bermain-main. This was it.
Michael Collins di modul komando, menunggu dua rekannya yang turun ke Bulan. Foto: AFP/NASA
Saat mengorbit, yang Collins doakan hanyalaah kesuksesan Armstrong dan Aldrin melakukan tugas di permukaan Bulan dan kembali ke orbit untuk docking dengan Columbia. Ia masih bisa menjemput dua rekannya itu apabila mereka hanya mampu terbang sampai orbit rendah Bulan. Namun, apabila Eagle gagal lepas landas sama sekali, Collins tak bisa berbuat apa-apa. Collins tak ingin pulang sendirian.
Ditanya bagaimana bila Armstrong dan Aldrin tak mampu kembali mengorbit dan docking dengan Columbia, Collins menjawab tanpa ragu.
“Aku tak akan bunuh diri. Aku akan pulang sendirian. Dan mereka (Armstrong dan Aldrin) tahu itu. Aku tak perlu mendiskusikannya dengan mereka, dan mereka tak perlu mendiskusikannya denganku. Tentu, itu tidak akan menjadi perjalanan pulang yang menyenangkan,” kata Collins.
“Aku akan ditandai (sebagai orang yang meninggalkan kedua rekan) seumur hidupku, dan aku tahu itu,” ujarnya dalam kesempatan lain saat diwawancara The Guardian.
Collins-Armstrong-Alrin, termasuk ratusan ribu orang di NASA, sadar betul bahwa kemungkinan sukses misi mereka hanya 50 persen. Ketika itu, Bulan adalah semesta yang benar-benar berbeda. Tak heran Presiden AS Richard Nixon sampai membuat rancangan pengumuman untuk berjaga-jaga apabila misi Apollo 11 gagal kembali ke Bumi.
“Nasib telah menahbiskan bahwa mereka yang pergi ke Bulan untuk menjelajah dengan misi damai, akan tetap tinggal di Bulan untuk beristirahat dengan damai,” tulis naskah pidato tersebut. Nixon tak pernah jadi membacanya. Untung saja.
Kru Apollo 11, Michael Collins, kini. Foto: REUTERS/Joe Skipper
Nasib jugalah yang membawa Collins menjadi begitu dekat sekaligus begitu jauh dengan Bulan. Berkebalikan dengan ketakutannya menjadi orang yang terus ditandai seumur hidup karena meninggalkan dua temannya, ia justru dilupakan banyak orang yang lebih mengingat Armstrong dan Aldrin yang benar-benar turun ke Bulan.
“Aku tahu aku berbohong dan bodoh apabila berkata aku mendapat jatah kursi terbaik di antara tiga orang dalam Apollo 11. Tapi aku bisa berkata sejujur-jujurnya, bahwa aku sangat senang mendapat jatah kursi yang aku dapatkan,” ujar Collins.
Ia tak punya masalah dengan menjadi “astronaut ketiga di Apollo 11” yang legendaris tersebut. Baginya, menjadi “the forgotten astronaut” saja sudah cukup melelahkan. Setelah pulang dari Bulan, ia dan kedua rekannya harus melakoni tur dunia, bersalaman dengan jutaan orang di 25 negara yang mereka kunjungi dalam 38 hari. Belum lagi, wawancara demi wawancara yang tak pernah berhenti selama 50 tahun terakhir terasa sangat menguras energi.
“Jauh lebih mudah untuk tidak berbicara dengan segerombolan jurnalis yang akan menghajarku luar dalam untuk tahu tentang segala sesuatu,” kata Collins kepada The Atlantic. Ia sendiri tak menolak saat diberi label “grumpy man” (laki-laki pemarah) oleh salah seorang kru media NASA. Ia menjelaskan—di umur yang waktu itu sudah 78 tahun—akan “...mudah terganggu karena banyak hal. Banyak hal yang terjadi di masyarakat membuatku jengkel.”
Karena alasan yang sama, ia tak meneruskan karier di NASA. Padahal, bila mau, Collins bisa saja benar-benar menjejakkan kaki di Bulan lewat misi Apollo 17. Collins menolaknya. Ia bilang pada Deke Slayton, Kepala Kantor Astronaut di NASA, bahwa ia tak mau lagi menjadi astronaut setelah misi Apollo 11. Menurutnya, tetek-bengek astronaut sudah terlalu jauh mengasingkan dia dari keluarganya.
Maka tak heran Collins menjadi satu-satunya orang dari misi Apollo 11 yang kehidupan pribadinya relatif tak tercela setelah tahun-tahun misi Apollo berlalu. Padahal, Aldrin jatuh pada jurang alkoholisme dan depresi, sementara Armstrong menjadi penyendiri dan menghindari dunia luar. Keduanya juga bercerai. Sementara Collins terlindung dari cahaya publisitas yang membutakan, berhasil menghindari trauma dan tetap bertahan dengan Patricia Collins yang ia nikahi pada 1958 hingga saat ini.
Kini, 88 tahun, Collins sudah cukup puas dengan hidupnya. Soal fakta bahwa ia tak pernah turun ke Bulan secara langsung di Apollo 11 dan ia tak mengambil kesempatan mendarat di Bulan sungguhan lewat Apollo 17, menurutnya tak jadi soal. “Aku tak punya penyesalan sedikit pun,” katanya.
Pesawat ulang-alik Challenger sebelum meledak. Foto: Getty Images
Cape Canaveral, Florida, Amerika Serikat 28 Januari 1986
Hanya 73 detik setelah lift-off, pesawat ulang-alik Challenger dengan misi STS-51-L meledak di udara. Tujuh kru di dalam pesawat tersebut tewas. Salah satunya adalah Christa McAuliffe, seorang sipil yang bekerja sebagai guru SMA.
Kematian tragis kru pesawat tersebut, yang disiarkan live secara nasional di televisi Amerika Serikat, menimbulkan trauma mendalam bagi publik negeri itu. Mantan astronaut NASA Leroy Chiao menilai, NASA terlalu percaya diri usai berhasil menerbangkan pesawat ulang-alik sebanyak 24 kali sejak 1981 lewat pesawat ulang-alik Columbia (beda dengan command module Apollo 11).
“Seperti ada ‘demam peluncuran’ saat itu, yaitu berlomba-lomba agar penerbangan selalu tepat waktu dan menerbangkan sebanyak-banyaknya pesawat ulang-alik,” ujar Chiao.
Duka di Amerika Serikat sulit padam. Musababnya adalah kematian McAuliffe—yang menjadi astronaut lewat program “Teacher in Space”—yang disaksikan langsung oleh keluarga dan anak perempuannya di dekat tempat peluncuran di Cape Canaveral, Florida. Kematian astronaut-astronaut NASA sebelumnya yang berasal dari militer memang tragis, tapi kematian seorang guru SMA memberi derajat yang berbeda buat masyarakat.
Sementara itu, di Jakarta, seorang dokter cum astronaut perempuan berusia 34 tahun yang mendengar kabar kecelakaan itu, dibungkus duka mendalam. Buat Pratiwi Pujilestari Sudarmono, McAuliffe adalah sahabat dekatnya. Keduanya teman sekamar saat Pratiwi datang ke Houston pertama kali untuk mengikuti seleksi astronaut NASA.
“Christa itu temen saya. Jadi satu ruangan. Kan setiap astronaut punya kamar-kamar sendiri saat kerja di sana,” ujar Pratiwi mengenang kawan lamanya itu. “Kami latihan sama-sama. Ukuran bajunya sama, helmnya sama. (Kami) itu deket banget.”
Pratiwi berduka tapi tak begitu yakin dengan implikasi selebihnya. Padahal, meledaknya Challenger akan mengubah nasibnya. Tragedi yang merenggut nyawa sahabatnya itu juga kemudian merenggut mimpinya untuk menjadi astronaut pertama Indonesia. Namun saat itu, Pratiwi belum tahu.
Astronaut Indonesia, Pratiwi Sudarmono dan Taufik Akbar. Foto: Twitter/@aisoffice
Jalan Pratiwi menjadi astronaut sebenarnya tak diduga-duga. Berawal dari rencana pembelian satelit Palapa B3 oleh pemerintah Indonesia guna memperlancar arus informasi pada Pemilu 1987, NASA menawarkan pemerintah Indonesia untuk mengikutsertakan salah satu warganya sebagai awak di pesawat ulang-alik Columbia yang akan meluncurkan satelit tersebut pada 1986.
Saat itu, tahun 1985, BJ Habibie yang menjadi Menteri Negara Riset dan Teknologi menunjuk Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia sebagai penyelenggara seleksi calon astronaut dari Indonesia. Ketua LIPI Doddy Achdiat Tisna Amidjaja ketika itu, menurut cerita Pratiwi, membuka dua jenis seleksi untuk astronaut Indonesia. Pertama adalah seleksi orang, dan kedua adalah seleksi program riset.
“Nah, yang research program itulah yang saya ikut. Saya diminta sama UI (Universitas Indonesia). ‘Ikut, masukkan. Kalau nggak, gimana? Mosok universitas segini gedenya kalah sama yang lain yang masukin,’” ujar Pratiwi menirukan perintah seleksi untuknya. Ia, seorang dokter yang baru saja lulus pendidikan doktoral untuk bidang mikrobiologi di Jepang, menurut saja.
Pada akhirnya, terdapat lima proposal program riset yang disetujui NASA. Pratiwi bercerita soal kegundahan Doddy. Ketua LIPI itu bingung ketika program yang lolos memerlukan keahlian akademik yang mumpuni, sementara seleksi orang meloloskan tentara-tentara. “Masa dikerjain tentara-tentara itu? Gimana caranya?” tanya Pratiwi sambil tertawa.
Setelah itu, barulah Pratiwi mendaftar dan mengikuti serangkaian seleksi. “Ya biasalah, Indonesia zaman Soeharto, ya (pakai) Surat Keterangan Kelakuan Baik, sertifikat P4. Selain tes IQ, tes Bahasa Inggris, dan tes-tes lain yang menjadi persyaratan untuk menjadi astronaut,” ujar Pratiwi menahan senyum.
Hasilnya, empat orang disaring dari 200-an peserta seleksi. Satu adalah seorang wartawan, satu seorang kapten Angkatan Udara, satu teknisi telekomunikasi, dan satu lagi mikrobiologis Pratiwi Sudarmono. Pratiwi dan Taufik Akbar, insinyur telekomunikasi tersebut, lolos dan diterbangkan ke Amerika Serikat.
Astronaut Indonesia, Pratiwi Sudarmono dan Taufik Akbar. Foto: Twitter/@aisoffice
Mulai Oktober 1985, Pratiwi bergabung dengan enam orang lain yang telah tiba terlebih dahulu. Mereka adalah Michael L. Coats, John Blaha, Robert C. Springer, Anna L. Fisher, James F. Buchli (kelimanya berkebangsaan Amerika Serikat), dan Nigel R. Wood (berkebangsaan Inggris). Pratiwi, seperti Wood, berperan sebagai payload specialist sementara Taufik menjadi cadangan Pratiwi. Mereka akan terbang dengan pesawat ulang-alik Columbia dengan misi STS-61-H.
Menurut cerita Pratiwi, seharusnya pesawat Columbia yang akan mereka tumpangi berangkat pada 28 Januari 1986—slot yang kemudian dipakai Challenger dan mengalami kecelakaan.
“Jadi Christa itu harusnya Oktober. Enggak tahu kenapa, ada senator yang mau ikut joyride atau gimana, akhirnya dia ke tempat saya ke Januari, saya dipindah ke Juni akhir,” ujar Pratiwi kepada kumparan, Rabu (17/7), di Departemen Mikrobiologi Fakultas Kedokteran UI, Cikini, Jakarta Pusat.
Usai tragedi Challenger, NASA membatalkan semua penerbangan menggunakan pesawat ulang-alik sampai setidaknya tiga tahun. Waktu tersebut digunakan untuk investigasi kecelakaan, dengar pendapat, desain ulang solid rocket booster oleh insinyur NASA, dan sebagainya.
Bahkan, dalam penerbangan pesawat ulang-alik pertama tahun 1988 usai tragedi Challenger, tidak ada warga sipil yang diikutkan. Semua yang terbang adalah astronaut senior. Kesempatan terbang Pratiwi dan payload specialist lain macam dirinya terkatung-katung. Sementara, satelit-satelit diluncurkan dengan roket tanpa awak.
Meski begitu, Pratiwi tetap kembali ke Amerika Serikat, berlatih, dan melanjutkan penelitian Indonesian Space Experiment (INSPEX) seperti biasa. Sepengetahuannya, ia masih memiliki kesempatan untuk terbang.
Hingga krisis ekonomi menerjang Indonesia pada 1997. Habibie, yang saat itu Menristek, menilai program astronaut Pratiwi tak sesuai dengan kebijakan pengencangan ikat pinggang pemerintah Indonesia yang tengah dilanda krisis ekonomi.
“Jangan dipikir saya latihan jadi astronaut di sana itu gratis. Mahal sekali,” kata Pratiwi.
Meski ditawari NASA, bukan berarti pengeluaran atas keterlibatan Pratiwi dan Taufik sebagai astronaut ditanggung sepenuhnya oleh Amerika Serikat. Indonesia harus membayar. Jumlahnya pun, untuk nilai saat itu, cukup besar, yaitu Rp 1 miliar per orang per tahun.
“Meskipun, saya di sana tuh nggak nganggur juga. Saya kan di space lab Johnson Space Center. Space biology lab itu yang menyelenggarakan penelitian ground research-nya itu (datanya) dari mereka yang meneliti di luar sana, sebagai perbandingan,” kata Pratiwi.
Astronaut Indonesia, Pratiwi Sudarmono, bersetia di bidang mikrobiologi. Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
Semenjak 1997, Pratiwi dan Taufik sepenuhnya fokus berkarier di Indonesia. Pratiwi sempat menjadi Wakil Dekan Fakultas Kedokteran UI selama 10 tahun. Banyak hal yang ia sesali, tapi terbang ke luar angkasa bukanlah satu yang mengganggu pikirannya. Ia lebih memikirkan studi yang selama ini menjadi pusat kariernya.
Ia sadar perjuangannya telah berubah. Tak lagi berusaha terbang ke angkasa yang tak hingga, Pratiwi menemukan semesta lain—yang sama-sama tak berujungnya—di molekul bakteri di ujung mikroskop.
Pratiwi kemudian bercerita bagaimana ia masih meneruskan penelitian mikrobiologinya tentang infeksi bakteri tifus dan tuberkulosis. Namun, ia gagal menutupi kegundahan akan progres penelitian yang tak secepat harapannya.
“Penelitian soal itu (penyakit infeksi) kan gede banget sedunia. Itu harganya sudah ngehabisin—kali—lebih dari satu pesawat luar angkasa. Nggak jadi-jadi juga,” katanya. Wajahnya terlihat lelah. Di ruangan hanya selebar 2 x 3 meter itu, ia tak beristirahat untuk mencari vaksin dari penyakit yang sudah puluhan tahun ia ‘lawan’.
“Sudah berapa puluh kali saya membimbing S3, sudah berapa puluh saya membimbing magister, dan yang meneliti kan bukan saya saja, tapi sedunia, (tapi) kembali ke square one lagi, kembali ke square one lagi,” ujar Pratiwi pelan, tercekat.
“Pusing saya, sudah tua. Sekarang saya rasanya mau give up saja,” katanya, yang semoga saja tidaklah sungguh-sungguh.
Rizman A. Nugraha. Foto: Facebook/@Rizman A Nugraha
Orlando, Florida, Amerika Serikat 1 November 2013
Di ketinggian langit Orlando, Florida, Amerika Serikat, Rizman berteriak sekencang-kencangnya. Sedikit takut, mungkin, tapi ia terlihat senang luar biasa. Bersama pilot instruktur, ia menaiki SIAI Marchetti SF.260, pesawat latihan militer yang kerap digunakan untuk penerbangan akrobatik.
Beberapa manuver dasar terbang taktis ia rasakan sejak lepas landas di Di Kissimmee Jet Center, Orlando, termasuk terbang parabolik, manuver spiral, dan manuver lain macam low and high Yo-Yo sehingga ia bisa merasakan efek fisiologi 4G—empat kali kekuatan gravitasi Bumi.
Awal November enam tahun yang lalu, Rizman Adhi Nugraha tengah mengikuti seleksi Axe Apollo Space Academy. Bersama dua orang Indonesia lainnya, Rizman masuk dalam 110 orang dari seluruh dunia yang lolos seleksi untuk program itu. Total lima hari ia ikut seleksi, dari merasakan g-force menggunakan pesawat akrobatik, tes zero gravity menggunakan pesawat vomit commet, hingga tes fisik macam halang-rintang, push-up, sit-up, sampai skipping puluhan kali.
Di hari terakhir, namanya masuk dalam 20 besar mereka yang lolos seleksi. Ia menerima sebuah plakat bertuliskan “Future Astronaut” yang dikeluarkan oleh Space Expedition Corporation—perusahaan yang kemudian berganti nama menjadi XCOR—yang seharusnya menerbangkannya ke luar angkasa pada 2015.
Seharusnya.
Rizman A. Nugraha, pemenang kompetisi calon astronaut dari salah satu merek parfum laki-laki. Foto: M. Fadli Rizal/kumparan
Rencananya, Rizman dan 19 orang lainnya akan terbang menggunakan pesawat ulang-alik XCOR Lynx Mark II pada Desember 2015. Ia bakal terbang hingga ketinggian 100 kilometer di atas permukaan tanah, sebuah ketinggian yang—dalam plakat yang ia terima tertulis—“...internationally and scientifically classified as ‘space’.”
Rencana perjalanannya ke luar angkasa tersebut sungguh menyenangkan. Ia terbang berwisata tanpa misi, dan gratis pula. Ia hanya perlu datang seleksi, diterima, menjalani latihan, menunggu beberapa waktu sebelum jadwal keberangkatan, dan akhirnya terbang ke angkasa.
“Terbangnya kurang lebih satu jam. Waktu untuk menembus atmosfer bumi itu 10 menit kayaknya, saking kencengnya. Nanti melayang di luar atmosfer kurang lebih sekitar lima menit doang. Sisanya perjalanan, turun (ke Bumi) 40 menit,” ujar Rizman saat berbincang dengan kumparan.
Jalur Rizman menjadi calon astronaut, menurutnya, tak susah-susah amat. Ia hanya perlu mendaftar via web dan menukarkan poin yang terdapat dalam kaleng parfum sehingga mendapat jumlah paling tinggi.
“Jadi besar-besaran poin di situ. Kalau nggak salah, gue dulu cuma beli 11 kaleng (parfum),” ujar Rizman. Mengingat harganya yang sebatas Rp 40 ribuan, tiket menjadi ‘future astronaut’ Rizman hanya berkisar Rp 440 ribu.
Awalnya, Rizman tak begitu niat mendaftar kompetisi untuk menjadi astronaut tersebut. Dia berhitung, bila kalah pun, parfum yang telah ia beli toh akan ia pakai. Sementara bila menang, bayangan melihat Bumi ciptaan Tuhan dari luar angkasa sungguh terasa menyenangkan.
Apalagi, ada kesempatan untuk bertemu Aura Kasih.
“Waktu itu, karena masih muda, ngelihat ada tiga cewek (model iklan parfum)nya: Aura Kasih, Vicky Shu, Tyas Mirasih. Waktu itu gue pingin lihat Aura Kasih gimana sih. Enggak ada tuh pingin menang, yang penting ketemu Aura Kasih,” kata Rizman, tak bisa menahan tawa.
Kepalang lolos menjadi future astronaut satu-satunya dari Indonesia, perhatian masyarakat Indonesia mau tak mau berhamburan terhadap Rizman. Ia tak biasa dan malu menjadi perhatian banyak orang.
“Kayak enggak nyaman gitu maksudnya, tapi mau gimana lagi,” katanya.
Rizman Nugraha (berdiri, ketiga kiri). Foto: Facebook/@Rizman A Nugraha
Hingga kabar kurang menggembirakan—atau dalam hal ini, ketiadaaan kabar—dirasakan pada akhir 2015. XCOR, perusahaan yang sejatinya menjadi kendaraan Rizman terbang ke luar angkasa, tak lagi memberikan update soal perkembangan pembangunan pesawat ulang-aliknya.
“(Biasanya) update-nya masuk email gue terus. Jadi dikasih tahu ini lagi mau apa, ujian mesin apa, mesin jetnya. Trus ada info mereka menggalang dana, nyari future astronaut, orang kaya yang mau ngerasain sensasi ke luar angkasa,” kata Rizman. Sepengetahuannya, harga tiket ke luar angkasa untuk astronaut wisata tersebut berkisar Rp 2,5 miliar.
Rencana menjadi orang Indonesia pertama yang ke luar angkasa menjadi makin tak jelas di tahun 2016. Ia sudah sempat memperpanjang kontrak akan statusnya sebagai future astronaut di akhir 2015. Namun, karena hingga akhir 2016 rencana terbang tersebut makin tak jelas, ia kembali menanyakan nasibnya ke perusahaan penyedia program.
“Daripada kelamaan nggak ada kabarnya, berhubung ini ada kompensasinya, ya gue ajuin aja,” kata Rizman. Akhir 2016, ia mengajukan kompensasi karena ketidakjelasan keberangkatan ke luar angkasa seperti yang dijanjikan. Ditanya soal jumlahnya, Rizman menjawab pendek malu-malu, “Ratusan.” Kini kompensasi itu sudah berbentuk rumah di Depok, Jawa Barat.
Jawaban soal ketidakjelasan rencana terbangnya ke luar angkasa menjadi jelas pada akhir 2017. XCOR, perusahaan yang menyediakan pesawat ulang-alik untuk Rizman dan 19 rekannya terbang, jatuh bangkrut. Bahkan, seperti dilaporkan LA Times, sebanyak 282 orang yang telah membayar sebesar USD 100 ribu, menuntut XCOR untuk mengembalikan uang mereka.
Bagi Rizman sendiri, meski telah menerima kompensasi, ia tetap merasa sedikit kecewa dengan nasibnya yang tak jadi ke luar angkasa. “Nyesel sih ada, misalkan gue bisa, kan jadi histori buat Indonesia. Hilang kesempatan gue buat melihat ciptaan Allah dari luar,” ujar Rizman.
Ia berpendapat, meski hasil riset yang dilakukan astronaut luar negeri juga bisa dinikmati masyarakat dunia, Indonesia tetap harus memiliki asronaut sendiri. “Nyesel juga. Harusnya (saya) bisa jadi contoh buat anak mudanya juga,” katanya.
“Tapi ya sudahlah,” ujar Rizman, yang kini bekerja sebagai programmer di salah satu perusahaan konsultansi perekrutan pegawai di daerah Jakarta Selatan. Perhatiannya tak lagi ke luar angkasa, melainkan tertuju buat istri dan dua anaknya.
Setengah Abad Manusia Menginjak Bulan. Foto: Indra Fauzi/kumparan
Cikini, Jakarta, Indonesia 18 Juli 2019
Gedung Planetarium yang terletak di kawasan Taman Ismail Marzuki, Cikini, sepi. Ramai pengunjung biasanya diisi mereka yang berusia belasan. Namun apa boleh dikata, musim sekolah sudah datang lagi.
Maka, Kamis (18/7), ruang pertunjukan Planetarium menyisakan banyak bangku kosong. Dari 380 kursi yang tersedia, hanya 80 dihempas pantat pengunjung. Sisanya lengang, terlipat, dan kedinginan. Beberapa kulit kursi yang sintetis itu malah koyak—mungkin karena ulah jahil tangan bocah-bocah yang lepas dari sekolah pada jam belajar.
Pukul 13.00 WIB, ketika wartawan kumparan masuk ke Gedung Planetarium, seorang petugas perempuan dengan ramah menanyakan apakah ia ingin menonton pertunjukan. Ia menunjukkan bagaimana cara beli tiket.
“Biasanya penuh, (banyak yang datang) sama rombongan. Ini udah mulai masuk sekolah kayaknya,” ujar petugas itu. Label nama di dadanya bertuliskan Susi Priyanti.
Kemudian tiket masuk pertunjukan diberikan—yang ternyata harus dibayar dengan Kartu Jakarta alias JakCard.
“Harus pakai JakCard? Nggak bisa dengan e-money lain?” tanya wartawan tadi ke petugas loket.
“Betul,” jawab petugas. Kepalang tanggung, wartawan itu pun membelinya. Harga kartu Rp 20 ribu, sudah berisi saldo Rp 30 ribu. Maka uang Rp 50 ribu keluar dari dompet. Harga tiket pertunjukannya sendiri hanya Rp 12 ribu.
Di dalam gedung pertunjukan, cuaca lumayan dingin. Tempat yang menyenangkan untuk menyelinap dari terik Jakarta. Tempat duduk yang empuk dan alunan deret musik instrumental yang populer pada awal 2000-an tak bisa dikeluhkan.
Namun setelah pertunjukan dimulai, rasa kecewa merambat. Beberapa tayangan di layar setengah bola itu terpotong. Pada satu adegan yang menerangkan tata surya, misalnya, matahari tak terlihat penuh. Ia terpotong sepertiga bagian. Petugas yang menarasikan secara live pertunjukan siang itu, sampai meminta maaf.
Belakangan, Planetarium memang menjadi perbincangan cukup ramai. Ia disebut-sebut terancam tak bisa menggelar pertunjukan karena alat yang sudah uzur dan rawan rusak. Pertunjukan yang mestinya bisa dilakukan tujuh kali sehari apabila alatnya baru atau tidak bermasalah, kini hanya dua kali sehari. Terakhir kali pertunjukan di Planetarium tayang tujuh kali sehari ialah tahun 2011-2012.
Untungnya, kata Kepala Satuan Pelaksana Teknik Pertunjukkan dan Publikasi Planetarium dan Observatorium Jakarta, Eko Wahyu Wibowo, teknisi bekerja keras untuk mengatasi hal tersebut. Ia bilang, mulai Agustus nanti, Planetarium kembali berusaha menayangkan pertunjukan tiga kali sehari, yaitu pukul 09.00, 12.00, dan 15.00 WIB.
Untungnya lagi, kata Eko, pemberitaan masif beberapa waktu terakhir tak dinyana membawa kabar gembira buat pencinta Planetarium.
“Kemarin sudah bertemu dengan pihak PT. Jakpro (BUMD DKI Jakarta), bahwa Planetarium segera akan dimodernisasi dalam revitalisasi dua tahap. Akan dimulai Juni 2020 dan selesai Juni 2021. Sehingga, Juni 2021 lahir kembali Planetarium Jakarta yang modern,” ujar Eko.
Warga mengamati Bulan dari teleskop milik Planetarium Jakarta. Foto: ANTARA/M Risyal Hidayat
Bagi sebagian orang, planetarium memang berkesan. Gara-gara nonton soal planet dan tata surya di sana, bisa jadi mereka ingin jadi astronaut! Itu terlepas dari soal bisa tidaknya mimpi tersebut diwujudkan oleh orang Indonesia.
Di sisi lain, Kepala Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) Thomas Djamaluddin memandang kebutuhan Indonesia saat ini bukan menerbangkan manusia ke antariksa, termasuk Bulan.
“Program keantariksaan kita saat ini, dengan keterbatasan anggaran dan SDM, difokuskan pada penguasaan teknologi yang memberikan manfaat secara langsung,” ujar Thomas.
Ia menyadari banyak usul untuk mengirim astronaut dari Indonesia. Namun, menurutnya, keinginan itu tak lebih dari rasa nasionalisme ketimbang karena adanya manfaat nyata. Padahal, program itu dirasa kurang praktis pula menelan biaya teramat mahal.
Itu sekarang. Berpuluh tahun ke depan, siapa tahu?